Paris terkadang menyenangkan diwaktu yang tepat. Ibu kota negara perancis itu bukan hanya terkenal dengan menara effielnya, tapi juga pusat mode dunia. Siapa yang tidak mengetahuinya ? Sebut saja Louis Viutton, Chanel, Hermes, Mont Blanc, mereka menguasai pasar eropa.
Kau berkantong tebal, kau akan menikmati duniamu. Anggap saja begitu, karena paris menyediakan apa yang kau inginkan. Dan jangan lupakan paris adalah kota tujuan turis paling populer di dunia, dengan 30 juta pengunjung asing setiap tahunnya.
Cukup menyenangkan bagi sebagian orang berkantong tebal untuk menikmati liburan. Namun kota indah itu tak bermakna bagi seorang kim jhin ae. Otaknya cukup tersumbat karena udara dingin, ditambah kekonyolan siwon yang menahannya disini. Menyediakan ragam makanan tanpa memahami perasaan berkecamuknya.
Hotel mewah, makanan berkelas percuma dengan semua itu. Ia bahkan berkunjung hanya karena adik kecil kesayangannya, dan siwon seolah memancing tanduk iblisnya menyembul dari permukaan keras kepalanya.
Bosan menunggu jhin ae memilih mendudukkan tubuhnya di sisi kanan sang suami. Melempar pandangan jengah,
"Kenapa kita masih saja di sini ?! Ayolah siwon, soeun membutukanku." gerutu jhin ae. Tangannya dengan cepat menutup laptop siwon dengan gerakan kasar tanpa perduli benda itu akan rusak, atau pekerjaan sang suami hilang karena belum sempat untuk disimpan.
Siwon menghela nafas dalam membalas tatapan sengit jhin ae. Hamil memang selalu merepotkan dengan kesensitifannya. Bukan kesal hanya lelah menghadapi tingkah kekanakan jhin ae yang mulai berlebihan.
"Tenanglah, sahee ajhumma meminta kita menunggu. Kurasa kimbum bisa menangani soeun." jawabnya, jemarinya menggapai segelas teh tanpa membalas gerutuan sang istri. Mereka baru tiba satu jam yang lalu dan kini bahkan cukup malam dipukul 24.00 am setelah memilih penerbangan pukul 05.00 pagi kemarin.
"Tapi soeun akan berbicara bodoh saat ia sedang tak sadar." jhin ae meraup cangkir yang digenggam jemari sang suami dan meneguk kasar. Siwon menyebalkan ketika telah bergulat dengan pekerjaan bodohnya. Jika soeun sampai bertemu minjae itu akan menjadi masalah yang mengerikan.
Soeun begitu merindukan pria tua angkuh itu, tapi jhin ae telah terlanjur mengatakan suasana membaik setelah pernikan. Ia berbohong agar soeun tak terus menanyakan kabar sang appa. Lebih bodohnya ia lupa sang appa masih berada di paris.
Seluas apapun daratan perancis, tuhan pasti akan menemukan seorang ayah dan seorang putri. Itu bukan rumusan fisika, tapi itu adalah sebuah rumus tuhan yang biasa disebut, Takdir !
"Tenang saja. Semua kan baik-baik saja."
Tak banyak yang bisa ia ucapkan. Menentang jhin ae mungkin akan berakhir dengan kebisuan sepanjang malam, dan percayalah siwon lebih memilih jhin ae memukulnya dibanding mendiaminya.
Siwon bergerak, memindah laptop ke atas meja, lalu menarik lembut pergelangan sang istri melanjutkan dengan mengusap sayang wajah jhin ae. Wanita hamil selalu bertambah tingkat kecerewetannya, siwon tak masalah, hanya pikiran yang menumpuk akan sedikit mengganggu janin, itu kata dokter kandungan jhin ae.
Hotel ini tampak mulai sepi, waktu menunjukkan pukul 12.30 am dan itu waktu para manusia untuk beristirahat. Siwon tersenyum saat mendengar dengkuran halus jhin ae. Mengecup lembut rambutnya dan memindahkan perlahan ke atas ranjang. Cemas memang selalu membuat manusia lupa akan kantuk dan lelah. Namun ketika kenyamanan dirasakan maka tubuh akan menyerah dengan seketika.
Dan itulah yang dirasakan siwon, lelap sang istri turut membuat tubuhnya menyerah dan ikut terlelap, meraih mimpi dan membawa kepada hari yang lebih baik.
****©©©****
Korea melembab, tanah dan batang basah karena hujan yang sempat mengguyur. Hal yang cukup menghilangkan rasa semangat disiang hari. Seperti bangunan ini, suasana yang sepi dan tegang lebih mengiringi rasa. Sang wo menggeleng lucu melihat tingkah menggemaskan sang istri, waktu baru menunjukkan pukul 13.00.pm, dan sahee terus saja menggerutu tak jelas seraya menggenggam ponselnya
Dan ketika ponsel itu berbunyi nyaring, jemari sahee dengan cepat menjawabnya.
"Dia berada di paris?!" teriak sahee pada permukaan ponselnya. Membuat sang wo mengernyit, lalu mematikan saluran televisi yang tengah ditatapnya.
Mereka memang tengah menikmati secangkir teh diruang besar keluarga. Rasa dingin yang menelusup selalu berhasil menciptakan rasa malas. Seandainya soeun berada disana, sang wo yakin kedua wanita itu hanya akan sibuk membahas mode-mode terbaru.
"Ne eomma. Apa kimbum sudah kembali?" jawab jhin ae di ujung sana. Sahee dapat merasakan aura kemarahan sang putri, namun apa daya semua seolah telah disuratkan oleh tuhan. Minjae dan gadis itu muncul disaat yang bersamaan, dan menyerang satu titik yang sama.
"Belum, soeun jatuh sakit." jawab sahee menyendu. Pupil matanya mulai memgeluarkan cairan air mata dikedua pipi rentanya. Gadis manja itu, apa kimbum bisa menanganinya ?.
"Jeongmal?"
"Ne tapi tak perlu berkunjung. Soeun tak sedang dalam keadaan baik. Kimbum sedang menenangkannya."
sahee menghapus air matanya, menarik nafas dalam menenangkan gemuruh detak jantungnya. Kimbum memang sempat menghubungi kepulangannya yang ditunda karena sakitnya soeun.
"Arrasseo."
"Pastikan gadis itu tidak menemui kimbum."
"Ne..."
Di ujung sana hyerim kembali menghela nafasnya kasar. Pendengarannya terlalu tajam untuk mendengar parau nada suara sang eomma. Dua tahun tak pernah bertemu dan hati tak pernah mampu lupa. Seorang ibu dan anak pastilah memiliki ikatan batin yang sama.
Sang wo tertikam mendengar setiap kalimat sahee. Gadis, dan ia yakin pada siapa itu ditujukan. Seseorang dimasa kelam kimbum yang begitu dibencinya. Sial ! Ia salah mengatur strategi, bukan mendekatkan ia justru menjerumuskan kedua anaknya pada lembah kehancuran.
Tak perlu memutar otak terlalu lama, sang wo sigap beranjak pada ruang kerjanya, meraih ponsel dan segera memerintah bawahannya untuk menyusul kimbum ke paris. Keadaan akan semakin runyam jika kimbum tidak segera membawa soeun kembali.
Soeun akan meringkuk dibawah atap rumah sakit jiwa jika terus bertahan tanpa kehangatan. Dan demi apapun itu sang wo tak ingin hal itu terjadi.
Sedang sahee memilih membiarkan sang wo dalam kecemasannya. Ia masuk kedalam kamar dan langsung menjerit pilu membayangkan sang menantu cantik. Soeun begitu ringkih, sementara sang putra begitu dingin. Akan bagaimana soeun tanpa diriny ?
Oh sahee menggeleng membayangkan pikiran buruknya sendiri. Tak menyadari bahkan putra tampannya itu telah melaksanakan kewajiban utamanya.
No comments:
Post a Comment