***Conqeror Chocolate***
Karena cinta itu tulus, hingga romeo bersedia menyerahkan nyawanya atas sebuah cinta. Tidak perduli jika pun pada akhirnya dapat bertemu atau tidak, karena romeo yakin tuhan akan tetap meyatukan cintanya meski di alam yang berbeda.
Sebuah rahasia kehidupan bukan manusia yang menciptakannya. Melainkan tuhan yang berhak menentukkan. Kapan, di mana dan bagimana, semua itu tuhan yang akan menciptakan. Momen-momen indah atau sekalipun menyakitkan, tuhan juga lah yang berhak memutuskan. Manusia hanya berhak menjalani, mengikuti serta memahami.
Tidak semua momen menyakitkan itu adalah kutuk. Karena setelah luka, tuhan selalu berjanji akan membalutnya dengan suka. Kendati bahagia itu indah, tapi tidak selamanya indah itu bahagia. Taman bunga sekalipun memiliki masa untuk menampilkan keindahannya. Lalu setelah itu ia akan gersang, mati, dan baru akan tumbuh indah kembali. Sama halnya dengan cinta, ia akan tumbuh, mekar, layu, lalu setelahnya setelah akar semakin kuat, maka dia akan bertahan dan tak akan layu kembali.
Poros yang berputar seumpama juga dengan sebuah waktu. Seperti katrol, ada saat ia berada di bawah, di samping, lalu di atas kembali. Mereka memiliki masa yang tidak akan sanggup manusia pahami.
Tapi tuhan memahaminya, karena jika tidak berputar manusia tidak akan pernah berubah dan akan selalu berdiri di tempat yang sama. Seandainya saja seorang yang kaya mencuri, ia pasti akan jatuh miskin. Lalu setelahnya dihujat dan berakhir dengan bertaubat. Semua proses akan membuatnya lahir kembali menjadi pribadi yang baru. Dan itulah kehidupan. Dimana di dalamnya terdapat cinta yang tulus. Cinta yang mampu membuat seorang penjahat berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Sama seperti pria ini. Ia juga telah merasakan semua proses untuk dapat bahagia. Ia telah jatuh dan hancur. Lalu setelah itu tuhan menghadirkan cinta yang tulus yang kembali membuatnya hidup. Tapi,—— semua tidak seperti yang ia bayangkan. Semua bayangan kebahagiannya sirna hanya dengan satu ungkapan menyakitkan.
Dari arah yang berbeda, dalam hembusan angin yang lemah, pria ini terus berlari cepat. Ketukan-ketukan sepatu yang kasar menunjukkan jika ia tengah mencari sesuatu yang berarti. Seperti seseorang atau bisa juga sebuah ruangan. Kepalanya sesekali berpaling ke kiri dan kanan. Ia juga tidak memperdulikan pakaiannya yang berantakan, rambutnya yang basah, dan pandangan aneh dari setiap orang yang ia lewati. Tidak ada yang mampu mempengaruhi kesadaran pria ini selain detak pada tubuhnya. Sakit bukan lagi yang ia rasakan, cengkraman yang begitu kuat bahkan membuat pria ini merasakan mati di setiap detik yang berdetak. Hanya dengan sehelai kemeja putih serta dasi navy yang terpasang asal, ia terus berlari menyusuri marmer yang bersih.
Arahnya hanya satu, sebuah pintu di bagian atas bangunan. Lorong-lorong serta tangga yang ia lewati tidak sama sekali diperhatikannya. Sekalipun ia akan terjatuh atau terpeleset pria ini sama sekali tidak perduli. Pria ini nampak seperti manusia tolol. Kaca-kaca ruangan sesekali menampilkan tingkah bodohnya. Lift tersedia di setiap lantai, namun pria itu jelas-jelas menikmati waktu dengan berlari tergesa-gesa.
Hingga ia tiba pun di lantai yang sejak awal ia tuju, matanya hanya tetap tertuju lurus. Ia bahkan mengabaikan dua pria yang berdiri sejak tadi menunggu kehadirannya. Membuat kedua pria itu mendengus dan hanya mampu menghela nafas. Pria tampan itu begitu kacau. Ia telah berlari sejak tiga puluh menit yang lalu dan tidak lagi seperti pria tampan pada umumnya.
Dan ketika langkah itu mulai mendekat, bogem bersiap untuk menanyakan hasil pemeriksaan dokter. Karena yang ia ketahui, selama hampir satu jam ia menunggu, pria itu telah lebih dulu menemui sang dokter sebelum tiba di lantai ini. Tapi belum sampai suaranya pada ujung lidah, bogem kembali harus mendengus ketika kimbum mengangkat tangannya untuk menghentikan laju kalimat yang hampir terlontar. Sementara jilguk hanya diam tanpa berani mengucapkan tanya. Ia tahu kimbum dalam kondisi yang tidak baik. Bertanya hanya akan membuat sepupunya itu murka, dan jilguk lebih memilih menyelamatkan nyawanya, dan berdoa untuk kesembuhan soeun.
Dan memang seperti itulah keadaan kimbum. Saat ini tidak ada yang ingin pria ini bahas. Hatinya remuk, pikirannya kacau, dan ia tidak ingin jika nantinya hanya akan menjadikan kedua pria itu sebagai pelampiasan kemarahannya. Membiarkan kedua sahabatnya itu diam, kimbum kembali melangkah mendekati pintu di hadapannya. Setengah jam yang lalu ia harus merasakan serangan jantung ketika salah seorang karyawannya menyampaikan berita mengejutkan. Ia juga menghentikan rapat dan berlari ke tempat ini tanpa perduli bahwa rapat yang tengah berlangsung itu adalah rapat besar yang mempertaruhkan nama perusahaannya. Lebih baik ia kehilangan uang ratusan juta won dibanding kehilangan nafasnya. Ia masih dapat mencari dan mengumpulkannya pundi-pundinya dengan cara lain, tapi nafasnya? Meski hingga ia menjual semua hartanya ia tidak akan mampu membeli kembali nafasnya.
Namun semua terasa brengsek ketika ia baru menapaki bangunan ini. Bukan pintu ini yang ia tuju pertama kali, melainkan pintu lain yang membuatnya hancur seketika. Pria ini ingin memukul sesuatu, ia begitu ingin marah, namun kimbum tidak bisa. Ini bukan waktu untuknya menghancurkan segala yang ada dihadapannya. Ada hal yang lain yang menantinya dan kimbum memilih mempersiapkan diri untuk menghadapi itu.
Menahan kecamuk di hatinya, perlahan kimbum mengangkat tangannya dan meraih kenop pada pintu. Membukanya perlahan, dan ia hampir terjatuh karena hantaman yang menghujam jantungnya. Kimbum melihatnya, sesosok tubuh lemah yang membuat setetes air matanya terjatuh begitu saja. Jarum pada jam masih terus berputar dan menciptakan irama yang menyedihkan.
Pria ini mendekat, mencoba untuk menggapai sosok tubuh yang begitu dicintainya. Meski air mata itu terus membanjiri kedua pipinya, ia masih terus melangkah. Semakin jauh kedua kakinya melangkah, semakin hancur pula hati pria ini. Bukan pada menit yang ia pertaruhkan, tapi pada waktu yang begitu kejam. Sejauh ini kimbum berusaha menahan isakannya menatap sosok cantik yang kini lebih ringkih dari terakhir kali ia menatapnya.
Seinci demi seinci ia melangkah, merasakan degub jantung yang tidak berirama sembari terus menahan nafasnya. Beberapa menit yang lalu ia masih memeluk wanita itu. Melukiskan gerakan-gerakan menggoda, memancing desah yang begitu dirindukan dan menciptakan tawa yang menyenangkan. Tapi kini, apa lagi yang bisa pria ini katakan? Semua pujian bahkan tak mampu lagi untuk ia lontarkan. Ada perasaaan gamang ketika jemari tangannya menyentuh lembut surai yang tergerai. Tidak ada suara yang menyapa kecuali detak-detak mesin yang menggema.
Berapa lama dalam satu tahun detik itu berdetak? Mungkin jutaan kali. Tapi setiap kali hembusan menerpa udara, kimbum juga tidak pernah tahu berapa lama waktu yang ia habiskan untuk sekedar mencari tahu siapa sesungguhnya istrinya itu. Ia hanya diam, menikmati romansa seperti pria tolol yang kehilangan sebagian kecerdasan. Ini seperti irama dalam kehancuran yang dimainkan oleh para setan jahanam.
Sekali lagi kimbum menghembuskan nafasnya. Tiap kali matanya menangkap kerut samar pada dahi soeun, tiap kali itu pula ia membiarkan setes cairan bening merembes di permukaan kulit pipinya. Mengusap perlahan, kimbum menyapukan ibu jarinya pada dahi soeun yang perlahan menitikkan peluh. Ada isakan ketika pria ini kembali mengingat setiap kalimat yang dilontarkan dokter beberapa menit yang lalu. Seperti berada di ruang tertutup, kimbum menganggkat sebelah tangannya, lalu mencengkram kuat dadanya yang terasa begitu menyesakan.
"Depression sir,"
"Apa maksudmu?"
"Maaf, tapi apa anda tidak mengetahui jika nona kim tidak diperkenankan untuk hamil?"
"Aku tidak membutuhkan pertanyaan mu!! Aku membutuhkan pejelasan!!"
"Baiklah, maafkan saya. Tapi tuan kim, istri anda mengalami depresi berat sejak kecil. Selama ini kami menganjurkan nona kim mengkonsumsi chocolate untuk mengurangi kadar depresinya. Namun saat ini saat ini saya menemukan kembali detak tidak biasa pada jantungnya. Serupa seperti ketika ia kehilangan saudaranya, dan ini berbahaya."
"Chocolate?"
"Ya tuan, kadar chocolate yang tinggi membantunya untuk tenang. Sejak kecil kami dilarang memberikan obat penenang padanya."
"Lalu apa hubungan depresi itu pada kehamilan istriku?"
"Bukan karena depresi itj tuan kim. Saya tidak tahu sudah berapa lama anda menikah dengan nona muda kim, tapi sejak empat bulan yang lalu nona kim telah divonis mengidap hepatitis B."
"Kau gila?!"
"Maaf tuan, tapi selama empat bulan ini nona muda kim telah menjalankan pengobatannya."
"Jadi, anda tidak tahu?"
Ketika nada bukan lagi musik yang lembut, pria ini mengerang dengan tatapan mata memerah. "BRENGSEK!!!!" teriaknya. Kimbum mengacak rambutnya kasar, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kursi di sisi kiri ranjang. Hancur sudah segala pertahanannya. Pria ini menjerit dan mengisak keras sembari memukul-mukul sisi ranjang meluapkan rasa sakit dan tidak terima di dalam hatinya. Air matanya terus mengalir deras, membuat dua pria yang masih berada di luar menekan hati menahan isakan. Ranting kecil pada tanaman mawar dalam pot terasa tertawa ketika kimbum semakin keras memukul sisi ranjang soeun.
"Kenapa? Kenapa kau lakukan ini padaku? kenapa kau menutupinya?!" jeritnya pilu. Ia selalu berada di sisi wanita ini. Setiap waktu yang mereka habiskan ia selalu berusaha untuk memahami. Seberapa banyak pun soeun menghindari ia juga selalu mencoba untuk mempercayai. Tapi bagaimana bisa semua orang melakukan ini padanya?
Brengsek! Pria ini menangis lebih keras. Membiarkan isakan-isakan lukanya mengalun bersama detakan-detakan mesin yang mengudara. Kenyataan yang entah sejak kapan telah merobek segala kepercayaannya serta membuatnya benci, muak dan ingin memukul keras setiap otak menusia yang selama ini menipunya mentah-mentah. Ruangan ini di dominasi warna putih dan bau menyengat, tapi bagi kimbum tidak ada yang mempengaruhi rasa sakitnya, kecuali nafas kecil yang terdengar membising dalam pendengarannya.
Ada Soeun di sana, di atas ranjang putih yang bersih. Namun semakin ia menatapnya, kimbum merasa wanita itu seperti sedikit menjauh dan siap pergi kapan saja. Sial! Pria ini sekali lagi berjengit. Dan ratusan kata sial yang ia lontarkan tak berpengaruh pada bangunnya sosok ringkih itu.
Seberapa banyak lagi yang ia tidak ketahui? Seberapa banyak lagi kenyataan yang soeun tutupi? Brengsek! Persetan dengan kata sabar. Kimbum bahkan siap menghancurkan mereka yang akan terus menutup bibir di balik rasa cintanya.
Bertahun-tahun ia menderita. Bertahun-tahun ia membenci cinta, dan ketika soeun hadir semua orang justru menipunya dengan kejam. Semua orang bermain-main dengan hatinya. Kimbum merasa ia seperti manusia bodoh yang menjadi boneka. Dirinya hidup seperti dalam puzzle yang tidak terpecahkan. Soeun begitu misterius dan sang woo seolah tidak ingin dirinya mengetahui apapun tentang soeun.
Sejak awal kehadiran soeun, kimbum selalu merasa seperti telah mengenal wanita ini. Hatinya mengatakan mereka pernah begitu intim, pernah begitu dekat. Namun setiap kali ia mencoba mencari jawaban, saat itu juga sahee atau pun sang woo akan berusaha menutupi dengan segala alasan tolol. Belaian rambut itu, pias wajah itu, juga alunan manja soeun, kimbum tahu ia pernah melihat dan mendengarnya. Tapi di mana?? Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Selalu kalimat ini yang ingin kimbum tanyakan. Bahkan ketika malam itu ia menceritakan kisah masa lalunya, soeun mengatakan hal yang hingga kini menjadi pertanyaannya.
Lagi Kimbum mengusap surai soeun yang lebih teracak. Rambut itu masih halus seperti beberapa jam yang lalu, namun ada dingin yang menjadi perusak dalam kehangatannya. Soeun tidak pernah seperti ini. Wanita itu begitu hangat seperti permadani tebal yang mahal. Kimbum selalu mengingatnya, ketika ia sendiri, ketika dirinya sakit, soeun akan selalu memeluknya. Helaian itu adalah tempat favoritnya. Tempat dimana dirinya selalu menyembunyikan diri dari rasa lelah.
Soeun akan selalu menjadi tempatnya pulang dan tujuannya untuk bernafas. Setelah hati itu hancur dan soeun mengembalikannya kembali, tidak ada lagi tempat yang tersisa untuk wanita laiinnya. Hanya soeun yang memilikinya. Setiap hembusan nafas yang ia hembuskan, hanya soeun yang memilikinya.
Tapi hari ini, ketika ia merasa kebahagian telah seutuhnya tuhan berikan, tubuh mungil yang selalu wangi ini justru terasa dingin dan jauh. Membuat kimbum semakin tak mampu menahan isakannya. Setiap suara yang telinganya tangkap membuat denyutan-denyutan tersendiri dalam setiap tarikan nafasnya. Membuat setiap detik yang berdetak menjadikannya semakin rapuh dan hancur.
"Bangun sayang, dan jelaskan padaku." dan terus seperti itu. Semakin jauh pikirannya melayang, maka semakin jauh khayalan buruk yang kimbum bayangkan. Pria ini masih tetap sama, mengecupi lembut dahi yang berkeringat.
Dahi soeun begitu dingin. Penghangat yang terpasang tidak membuat wanita mungil menjadi hangat dan nyaman. Kimbum hanya biarkan tubuhnya merunduk sembari menangkup wajah soeun dan menatapnya sayang. Selama beberapa detik pria ini ingin kehangatan yang ia miliki meresap pada kulit wajah soeun yang pucat. Tiap lirihan yang ia lontarkan selalu ada isak yang mengiringinya. Hembusan udara yang menerpa wajah tegangnya membuat sepasang manusia yang berniat masuk dari balik pintu mencengram dada kuat-kuat menahan isakan yang mencoba keluar.
"Ku mohon. Kau membuatku takut sayang." terus kimbum mengisak tapi soeun tetap seperti ini. Wanita itu diam dan hanya menyisakan nafas halus yang membuat kimbum semakin ketakutan. Soeun hanya tertidur. Obat bius yang dokter berikan bekerja dengan maksimal. Pria ini tahu istrinya berada dalam alam mimpi yang indah. Tapi percayalah yang ada di benaknya hanyalah soeun yang berniat pergi kapan saja. Air matanya yang tumpah bahkan tidak sekalipun mampu ia bendung.
Mendekat hingga tak berjarak, kimbum mengangkat tangannya yang menangkup lalu diarahkan mengusap kecil-kecil rambut soeun yang halus sembari melontarkan bisikan-bisikan kecil yang manis. Soeun begitu cantik. Bahkan meski mata itu terpejam, kimbum masih dapat menikmati kecantikan wanita yang dicintainya ini. Tapi sebanyak apapun pria ini bicara, hanya suara wanita itu yang Kimbum inginkan. Meski hanya sebuah senyum atau kalimat,—— bum-ah, maka hatinya yang remuk akan sedikit terbentuk karena kepercayaan.
Tapi jika seperti ini, pria ini merasa seperti hembusan nafasnya telah berada di ujung jurang dan siap melayang meninggalkan raganya. Kebungkaman soeun menjadi momok menakutkan bagi kimbum. Ia takut soeun tidak lagi akan membuka matanya. Kimbum takut soeun tidak akan menjawab kembali setiap pertanyaannya.
Tidak, kimbum menggeleng dengan keras ketika pikiran-pikiran bodoh mulai merayapi kecerdasannya. Soeun akan baik-baik saja, batinnya lemah. Kembali secara perlahan kimbum menggapai jemari soeun, mengangkatnya, lalu mengecupnya dalam.
Bukankah ia memiliki banyak kekayaan? Ya, itu benar. Jadi soeun akan pulih karena ia akan membawa wanita itu berobat ke negara manapun. Dan demi tuhan ia akan pastikan soeun akan selalu berada di sisinya. Tidak perduli dirinya akan jatuh miskin atau dunia akan mencemoohnya, kimbum akan pastikan tuhan tidak akan mampu memisahkannya dari soeun.
Menghela nafasnya, kimbum mencoba rasakan belaian udara yang berbau menyengat merasukinya rongga pernapasannya. Dengan berbaring di sisi kanan soeun yang lemah, Kimbum bisa bayangkan betapa sakitnya soeun selama ini. Tubuh mungil ini terlihat begitu kurus. Pipi soeun yang chuby kini jelas lebih menirus.
Bodoh! Caci kimbum pada dirinya sendiri. Ia memang begitu tolol. Setiap hari wanita ini terus berada di dekatnya tapi dirinya justru tidak mengetahui apapun. Kimbum menangis lebih keras. Tubuh soeun yang terbaring menjadi saksi kehancurannya. Pria ini semakin mencengkram tangan Soeun lebih erat ketika semakin dalam kenyataan membawanya pada sebuah ingatan yang begitu menghancurkan kewarasannya.
"Kita tidak dapat mempertahankan janin itu tuan. Janin itu harus diangkat sebelum memperburuk kondisi ibunya."
"Apa maksudmu memperburuk?"
"Kemungkinan terburuknya, anda bisa saja kehilangan keduanya."
Air hujan itu indah seperi jatuhan salju dari atas awan. Seperti lukisan abstrak yang tak pernah pudar ditelan zaman. Putih, bening, dan curahan yang terjatuh bagai biola pengantar tidur. Suaranya yang besar sama seperti hentakan keras penabuh drum. Ada berapa kisah tentang luka dan penghianatan? Atau kisah cinta juga perselingkuhan? Mungkin ada ratusan dan yah itu semua memang benar. Indahnya ilalang bagai hamparan hijau di padang rumput.
Jika ada domba di sana mungkin wanita itu akan bahagia ketika melihatnya. Kimbum ingin membawa soeun ke sana. Ke sebuah padang yang luas dimana terdapat ratusan domba memenuhinya. Apakah keinginan itu begitu muluk? Apa memang tidak ada kesempatan untuknya membahagiakan wanita mungil itu?
Semakin besar detakan yang berbunyi maka semakin besar pula isakan pilu yang bibirnya lontarkan. Kimbum bangkit dari tidurnya, berteriak keras, lalu menjauh dari ranjang yang sunyi.
Kenapa harus begini?
Kenapa tuhan begitu tega mempermainkan kisah cinta mereka?
Kimbum mengerang dengan keras. Emosi pria ini tidak lagi terkendali, dan dua orang di balik pintu segera berlari ketika Kimbum berteriak dengan amarah lalu berlari menghancurkan semua barang yang terpajang. Gelas, kursi, meja, dan vas tidak lagi berada di tempatnya. Serpihan kaca bertebaran di mana-mana sementara kimbum terus berusaha menghancurkan benda yang tertangkap matanya.
Sang woo segera mendekati. Persetan dengan barang-barang itu karena mereka dapat menghanguskan rumah sakit ini jika saja mau. Sang woo adalah pemiliknya dan ia tidak perduli jika memang harus menghancurkan para dokter bodoh yang telah membongkar semua kenyataan yang telah selama ini mereka sembunyikan.
Tapi saat ini bukan hal itu yang utama. Para dokter itu bisa kapan saja ia hancurkan, tapi tubuh itu,—— kimbum, mereka sangat mengkhawatirkannya. Kimbum terlihat menyedihkan dan putranya itu hanya terus mengeram sembari sesenggukan. Membuat sahee yang berdiri di sudut pintu terdiam kaku. Wanita tua itu seolah kehilangan kesadarannya dan merasa seperti sebagian nafasnya menghilang secara tiba-tiba.
Namun kimbum menyadari kehadiran kedua orang tuanya. Sejak tadi pria ini mengetahui bahwa beberapa orang tolol memperhatikan kekacauannya. Bibir itu sengaja dibungkam agar mereka sadar, bahwa mereka telah menghancurkannya sebanyak dua kali. Tidak ada lagi semangat pria ini untuk bertahan. Semua sudah hancur seperti hatinya yang tak lagi berbentuk. "Kenapa kalian lakukan ini padaku? Apa salahku?!" hardik kimbum keras. Pelukan sang woo di tepis begitu saja. Membuat sang woo terkejut dan memandang kimbum sakit. Dada kimbum naik turun memperlihatkan kesesakan nafasnya. Mata pria ini tidak lagi melembut. Semua kelembutannya telah terhisap udara ketika sang woo hadir dan menyadarkannya kembali pada semua penipuan yang telah pria tua itu lakukan.
Tidak ada yang berani menjawabnya. Bogem dan jilguk memilih menutup pintu dan menahan lontaran di ujung lidah. Mereka tidak pantas untuk ikut campur lebih jauh. Kimbum begitu buruk, dan menyelanya hanya akan semakin membuat suasana bertambah runyam.
Tapi suasana yang menjijikan ini semakin membuat amarah kimbum memuncak. Kebungkaman sahee begitu sangat menyakiti hatinya. Wanita itu adalah ibunya, tapi sahee justru tega bersekokongkol untuk mempermainkan hatinya.
"Katakan eomma!!" sekali lagi kimbum menghardik. Persetan dengan keterkejutan sahee, kimbum hanya ingin sebuah jawaban.
Pria ini menatap dengan kejam. Tidak perduli manusia yang tengah di lihatnya adalah seorang ibu, kimbum tetap menatapnya dengan kejam. Hati itu terlanjur terluka dan tidak percaya. Permainan sahee dan sang woo selama ini begitu buruk dan tidak pantas di matanya.
Mereka yang membawa soeun ke hadapannya, tapi mereka jugalah yang berniat membawa pergi soeun dari sisinya. Kimbum tahu ia yang lebih bodoh dari seekor keledai. Tapi bagaimana bisa kedua orangtuanya membiarkannya hidup dalam ketololan. Setiap malam ia menikmati tubuh lembut istrinya, namun selama itu juga ia tidak pernah mengetahui bahwa waktu yang ia miliki bersama Soeun tidak lebih hanya beberapa detik yang bagaikan seorang iblis pencabut nyawa.
Beberapa hari yang lalu soeun sakit dan bahkan soeun memang selalu mengadu sakit. Tapi kimbum tidak pernah berpikir bahwa soeun memiliki penyakit yang berbahaya. Tolol! Kini kimbum mengerti apa yang selama ini wanita mungil itu coba sembunyikan darinya. Kimbum begitu merasa tidak berdaya meski hanya untuk berpikir. Sejauh apapun ia mencoba untuk menelisik, tidak ada sesuatu pun yang dapat otaknya pikirkan. Renungannya melalang buana tak tentu arah, membuat kimbum merasa seperti manusia idiot yang tak berguna.
Sementara sahee mengisak penuh luka. "Maafkan eomma kimbum. Eomma bersalah." lirihnya tertahan. Kedua tangannya meraih kimbum, mencoba untuk merengkuh tubuh kekar putranya itu. Kimbum begitu kacau, tak ada sosok tampan dan tegas yang begitu kentara dalam sikapnya. Pakaian pria itu begitu buruk, bukan seperti layaknya seorang direktur muda yang cerdas. Kemeja putih yang digunakannya begitu kusut serta acak-acakan. Dasi yang tersampir hanya terpasang jauh dari titik lehernya.
Sahee menangis kuat melihat putranya begitu mengenaskan. Ini memang salahnya. Sampai hati mereka melukai pria ini lagi. Sekali lagi ia harus melihat putranya hancur karena keadaan yang memaksanya untuk terluka. Dulu pria itu terpaksa hancur karena mereka menghalangi kisah cintanya. Kini mereka juga justru melakukan hal yang sama, berniat memisahkan dua orang yang begitu saling mencintai.
Ya Tuhan, tapi ini juga bukan kemauannya. Sejak dulu sahee begitu ingin mengutarakan segalanya. Tapi apa dayanya ketika soeun melarang dan sang woo menyetujui? Ia dituntut diam oleh kedua orang itu. Dan harus menahan hati ketika melihat benih cinta itu menguat di dasar hati sang putra.
Sahee juga masih mengingat semua kalimat cinta kimbum yang mengudara ketika malam itu soeun tak sadarkan diri. Ia adalah seorang ibu, dan sahee tahu kimbum begitu mencintai soeun. Namun soeun bukan seperti wanita pada umumnya. Wanita mungil itu tidak memiliki usia yang panjang. Tuhan memutuskannya hanya hidup untuk sementara. Maka dari itu sahee selalu berusaha mewujudkan setiap impian kecilnya.
Dulu mereka hanya berharap kecil pada kemungkinan cinta kimbum. Mereka berpikir tidak akan lama dan kimbum akan meninggalkan soeun. Wanita itu hanya ingin menikah sebelum akhirnya ia akan pergi. Jadi tidak ada masalah jika kimbum akan melakukannya. Semua memang terjadi, angin juga mendukung dalam semua permaian mereka. Tapi ternyata tuhan memiliki kehendak yang lain.
Kimbum mencintai soeun, dan sang woo berusaha memisahkan dengan menutupi penyakit itu. Kedua orang itu, sang woo dan soeun telah memutuskannya, jika saja soeun tidak bertahan lebih lama, maka sang woo akan mengirimkan gadis itu kembali ke jepang. Menyembunyikannya dari kimbum agar pria itu tidak terluka kembali.
Sahee mengisak lebih sakit. Soeun begitu mencintai kimbum. Wanita itu tidak pernah berniat mempermainkan hati. Hanya saja ia memang tidak memiliki waktu yang banyak. Soeun takut meninggalkan kimbum. Wanita mungil itu takut menyakiti kimbum karena pergi begitu saja. Ada masa dimana mereka pernah memiliki satu rasa yang tak tersampaikan. Hingga keadaan memisahkan hingga waktu tak membiarkan pria itu bertemu dengannya. Dan kini ketika semua usaha berhasil dicapai, pria itu bahkan terancam kehilangan untuk yang kedua kalinya.
Tapi kimbum tidak lagi mau perduli. Dengan satu kali hentakan tubuh lemah itu di dorong hingga sang woo harus berlari dan menangkap tubuh istrinya yang hampir limbung karena perlakuan putranya. "Aku tidak butuh kalimat itu, katakan apa salahku?!" Hardikan itu begitu membekas dan sahee hanya mampu mengisak dalam dekapan sang woo yang hangat.
Tapi apapun yang dikatakan sahee, kimbum pun tidak lagi mampu mempercayai. Pria ini berdiri dengan tegap, lalu menatap kedua orang tuanya dengan tajam disertai hiasan rahang kokoh yang mengeras. Isakan wanita tua itu juga tidak lagi mampu meredakan setiap kecamuk yang ia rasakan. Sahee dan sang wok sudah keterlaluan. Meski sahee memeluknya dengan ringkih, namun kimbum tak lagi mampu menghapus luka yang mendera tulang-tulangnya. Dua tahun dirinya terluka karena permainan cinta. Dan kali ini lagi-lagi kimbum merasa Tuhan mempermainkannya. Dirinya begitu mencintai soeun dan bagaimana bisa Tuhan berniat mencuri wanita itu dari sisinya? Tidakkah tuhan begitu jahat?
Di sisi lain sang woo melepas dekapannya secara perlahan. Melangkah mendekati, ia lalu mendekap buah hatinya yang begitu menyedihkan. Ini kesalahannya. Kimbum hancur seperti ini karena keegoisannya. Jika saja sejak awal ia mengatakan segalanya, kimbum mungkin tidak akan pernah melukai hatinya seperti ini. Pria itu lelaki yang baik. Seumur hidupnya kimbum tidak pernah melukai wanita. Itu juga yang membuatnya bersedia menikahi soeun agar tidak melukai sahee.
Sang woo merasa begitu buruk ketika mengulang kembali kilasan masa lalu. Tapi lagi-lagi ia hanya tidak mempunyai daya. Segala sikap soeun, senyum dan sorot mata wanita itu begitu mempengaruhi setiap organ dalam tubuhnya. Wanita itu malaikat yang sempurna dalam kehidupannya. Sejak pertemuan pertamanya dulu bersama soeun, sang woo tak pernah mampu menolak segala keinginan soeun.
Kini setelah semuanya terbongkar, sang woo yakin kimbum tidak akan pernah membiarkan soeun mengandung lebih lama. Vas yang berserakan, mesin jantung yang begitu berisik, serta surat surat yang berserakan adalah saksi semua kejadian yang berlangsung. Pria itu bukan lagi putranya yang tegas. Kimbum telah berubah menjadi pria dingin yang arogan. Akan ada ambisi uang yang dilakukannya seperti dua tahun yang lalu. Dimana pria itu menyewa beberapa mafia teri untuk menghancurkan jong si karena kepergian gyuri.
Dan kini, semua tidak akan berubah. Sang woo yakin kimbum akan melakukan apapun untuk mempertahankan soeun di sisinya. Wanita itu bukan wanita biasa, soeun adalah wanita lembut yang lucu. Setiap untaian kalimat yang dilontarkannya, akan selalu membuat setiap orang memiliki cinta yang lebih untuknya.
Sang woo masih ingat, dulu ketika pertama kali ia bertemu oleh sosok mungil itu, ia telah jatuh cinta hanya dengan satu kalimat yang terlontar dari bibir mungilnnya. Pria ini menginginkan soeun yang mungil untuk berada di dekatnya. Memilikinya secara utuh untuk memberikannya kepada kimbum sebagai kado manis di hari natal. Tapi semua menjadi kenyataan dimana kini ia memang berhasil memberikan soeun sebagai kado permintaan maaf.
"Maaf nak. Appa mohon tenanglah. Kau membuat hatiku sakit " tapi, tuhan juga berniat merebut kadonya. Isakan pria ini menjadi satu dengan lirihan sahee di sudut ranjang. Tangan wanita itu bersidekap menekan jantung yang bergemuruh kuat. Namun kimbum sekali lagi menepis dekapan sang woo.
Matanya yang tajam memerah dengan genangan air memenuhi pelupuk matanya. Sang woo hanya terdorong beberapa langkah. Ia tidak terjatuh tapi sahee merosot menatap perbuatan putranya.
Kimbum keterlaluan! Biar bagaimana pun sang woo adalah ayahnya, dan bukan dengan begini caranya meluapkan kemarahannya. Pria tua itu tidak bersalah, ia hanya mencoba mengabulkan satu permintaan kecil putri manisnya itu dan sahee paham apa yang dirasakan pria itu. Umur tidak membuatnya berubah, sang woo masih seperti dulu. Penuh dengan simpati dan cinta untuk keluarganya.
Soeun memang bukan terlahir dari benihnya tapi wanita itu adalah cinta pertama sang woo yang begitu dilindunginya. Cinta pertama yang dalam artian, pria itu menyukai seorang gadis mungil yang cantik, menempatkan posisinya setara dengan hyerim putri kandungnya. Karena jika bukan soeun yang hadir mungkin sang woo tak pernah akan ada. Jika bukan soeun, mungkin kedua anaknya tak akan memiliki ayah. Jika bukan soeun mungkin sang woo tak akan pernah mengantar hyerim tepat di depan altar. Jika bukan soeun, mungkin hingga saat ini kimbum tetap akan menjadi sampah yang tak berguna. Dan jika bukan soeun, mungkin sang woo tidak akan pernah mengerti arti dari terluka. Ada banyak yang mereka rasakan dan soeun adalah segalanya. Sesuatu yang tak dapat mereka jabarkan dengan mudah karena berbagai alasan yang tak dapat mereka bocorkan.
Sahee menangis ketika kimbum menatap dengan geram. Tak ada suara yang terlontar, namun kepalan pada tangan kanannya jelas menunjukkan tingkat emosinya. Sahee ingin memeluk putranya itu, namun bergerak satu langkah pun wanita ini tak mampu. Mereka hanya terpisah beberapa jarak tapi kimbum terasa jauh dan tak tergapai. Pria itu terlihat sama seperti dua tahun yang lalu. Hembusan udara yang hangat terasa beku di tangan rentanya. Manik yang terluka hanya menatap tanpa berani melangkah mengikis jarak untuk memberi sebuah penjelasan yang mampu diterima.
Sedang perlahan di tempatnya berdiri kimbum merosot menyentuh marmer. Pandangannya perlahan kosong. Ia sama sekali tidak mengerti. Orang tuanya tidak lagi mampu untuk dirinya pahami. Sang woo, pria itu hanya menatap dengan luka yang tercipta di manik matanya.
Sementara sahee hanya terus menangis mendekap lukanya seorang diri. Keduanya tidak beranjak untuk mencoba menjelaskan. Kimbum hanya ingin penjelasan. Penjelasan yang masuk akal untuk dimengerti oleh otaknya yang tumpul. Dia telah menjadi bodoh, pria ini tak lagi mampu mencari tahu sesuatu yang tak ia ketahui. Di balik air mata yang tertumpah pria ini tahu ada lebih dari banyak yang sang woo dan sahee sembunyikan dari dirinya.
Sekarang setelah awal yang tuhan berikan. Kimbum melemahkan kepalan tangannya, lalu menatap kosong kedua cinta dihadapannya. Menyakitkan, hanya itu yang bisa ia rasakan. Pria ini masih menangis, bahkan sengguk yang terlontar dari bibirnya begitu kentara menandingi detak jantung pada mesin. Membuat sang woo dan sahee bungkam tak dapat melakukan apapun. Dihadapan mereka hanya ada sorot mata yang kosong, dan keduanya menyesal telah melukai pria tampan yang berstatus putranya itu. Lelaki itu tidak lagi murka tapi kediamannya lebih terasa menyakitkan dengan sengukkan tanpa dayanya. Sahee mencoba melangkah, namun langkah kembali terhenti ketika tangan yang terjatuh tak berdaya perlahan terangkat meminta untuk diam dan tak mendekat.
Kimbum tahu sahee hanya berniat melindungi soeun. Pria ini tahu sang woo tidak memiliki maksud yang jahat. Tapi mengapa harus mereka yang menutupi kelemahan istrinya? Kenapa mereka harus diam dan menjalani hari dengan biasa saja? Hingga membuatnya diam dan membiarkan soeun hidup dalam rasa sakit yang tak berujung.
Dia tidak pernah ada ketika soeun mengerang, dia tidak ada ketika soeun ketakutan, lalu apa gunanya ia menjadi seorang suami. Bagaiman jika soeun tidak terselamatkan? Tidak! Bahkan Kimbum tidak tahu apa kesalahannya? Apa alasan dibalik mereka berbohong?
Setelah ini, apapun alasannya itu bukan lagi musuhnya. Tapi detik yang berdetak akan menjadi musuh utama yang akan dimusnahkan nya. Tidak perduli ia mampu atau tidak, kimbum akan mengusahakannya. Sudah cukup dua tahun dirinya terpuruk. Setelah semua yang dirinya alami, tahap demi tahap yang ia jalani, kimbum tidak akan biarkan waktu bertindak sesukanya lagi. Pria ini tidak akan biarkan soeun pergi. Wanita itu akan selalu berada di sisinya. Sekalipun hanya jasad tanpa nyawa, kimbum akan pastikan soeun akan selalu bersamanya.
Banyak waktu yang telah terukir dalam kehidupannya. Suara, desah nafas dan lantunan rengekan soeun telah menjadi makanan tersendiri bagi kimbum. Lalu bagaimana jika soeun tak lagi dapat melakukannya? Tidak! Membayangkannya saja telah membuat kimbum merasa mati dan tak berdetak.
Pria ini menutup matanya sejenak lalu kembali menajamkannya. Menghembuskan nafasnya secara kasar, kimbum lalu mengepalkan kembali kedua tangannya. Ia sudah membuat keputusan, dan tidak akan kimbum biarkan seorang pun menghalangi keputusannya.
"Janin itu, aku bersumpah akan menghancurkannya!!"
"Tidak!!!"
Namun nyatanya udara tidak memberikan kesempatan baginya untuk mencoba. Tuhan rupanya memilih memberikan kesempatan bagi kematian untuk membayangi. Lengkingan kecil yang bersahut menjadi luka yang semakin dalam. Membuat kimbum semakin mengepalkan tangannya sekuat yang dirinya bisa. Urat-urat kebiruan terlihat begitu mencuat, namun wanita yang kini telah duduk dengan tatapan mata terluka itu membuat kimbum seketika lemas dan semakin tak mampu berpijak.
Ya Tuhan, apa sebegitu kejamnya kau melukai wanita itu? Sang woo jelas melihatnya, di sana,— putranya telah menggeram dengan tatapan mata yang begitu memerah. Namun dihadapannya soeun membalas tatapan dengan air mata yang mengiringinya. Mereka semua sama-sama terluka, tapi wanita itulah yang jauh lebih terluka dibanding setiap tawa dan air matanya. Mungkin kimbum tidak mengerti, tapi sekali lagi sang woo tercekat ketika kimbum berdiri, lalu melangkah mendekati soeun bersama dengan bibir yang terbuka siap untuk berbicara.
"Apa yang kau katakan?" lirihnya kecil, bahkan begitu tidak terdengar. Soeun tahu kimbum terluka, jadi perlahan ia menutup matanya mencoba untuk menyiapkan hati jika saja kimbum memakainya.
"Ulangi,—— ulangi kembali kim so eun!!!!" Setelahnya, wanita ini menahan nafas ketika lengkingan keras kimbum benar-benar menyapa kedua pendengarannya. Soeun terus menutup matanya meski kimbum menggoncang kasar bahu letihnya. Bibirnya tetap terkatup, dan soeun membiarkan teriakan itu sayup-sayup menyentik dan menyentuh hatinya yang terluka.
Biarkan seperti ini. Kimbum memukulnya pun soeun tidak perduli. Ini semua kesalahannya. Ia yang sudah memaksa sahee dan sang woo untuk menipu pria itu. Kimbum tidak boleh salah paham lalu menyalahkan kedua orang tuanya. Ini semua hasil pemikirannya, dan soeun tidak akan biarkan kedua orang tua baik itu menanggung semua kesalahannya. Dia sudah terbiasa dimaki, ia sudah terbiasa merasakan pukulan, jadi jika sekalipun kimbum akan menceraikannya soeun pun akan menerimanya.
Rasa sakit tidak lagi mampu wanita ini rasakan. Mata kimbum yang memancarkan luka dan kekecewaan membuatnya merasa pedih dan tak berguna. Dia memang manusia kotor yang licik, mempertaruhkan tubuhnya hanya untuk cinta yang tak akan mampu untuk digapainya.
Soeun meraih tangan kimbum, meremas nya dengan kuat lalu menciumnya dengan lembut. Tangan itu tidak lagi lembut seperti beberapa jam yang silam. Soeun dapat merasakannya. Disana, kimbum menyimpan amarah yang besar. Gemuruh jantung wanita ini lebih keras dibanding hentakan kaki kuda, tapi soeun mengabaikannya. Ia menikmati setiap luka dan perih yang menyentak di sudut hatinya.
Pria ini baik, kimbum bukan lah pria jahat seperti yang sahee katakan. Ia hanya pernah terluka dan itu bukan alasan untuk membencinya. Soeun hanya terlalu hina, ia tidak tahu diri mencintai seorang pria tampan, sementara bahkan nyawa saja dirinya tak miliki. Ia hanya makhluk lemah, manusia berpenyakitan yang berharap dapat memeluk cintanya dengan erat. Bodoh! Nyatanya Tuhan tidak pernah mengizinkannya bertindak lebih jauh. Hanya menunggu waktu, dan wajah tampan itu tidak akan lagi mampu untuk direngkuhnya.
"Kau lebih memilihnya dibandingkan aku?" tanya kimbum. Ia melirihkan suaranya dan menatap soeun dengan pandangan kecewa yang mendalam. Kimbum tidak melepaskan genggaman lembut soeun, tapi di relung hatinya kimbum menginginkan menarik soeun ke dalam dekapannya dan membawa wanita ini pergi sejauh yang ia mampu.
Baru beberapa hari yang lalu ia membayangkan betapa indahnya jika dirinya dan soeun memiliki buah hati. Kimbum berpikir semua akan baik-baik saja dan sesaat ketika dokter menyatakan bahwa wanita kecil kesayangannya itu hamil kimbum begitu merasa bahagia. Pria ini hampir berteriak untuk memperlihatkan bagaimana buncahan kebahagiannya itu.
Tapi semua hanya kebohongan. Apa yang pria ini bayangkan tidak serupa dengan yang Tuhan inginkan. Hanya sepersekian detik ketika Kimbum berniat berlari menyongsong tubuh istrinya, dokter menjatuhkannya dengan kalimat yang begitu menyakitkan. Maaf, itu kalimat terakhir yang ia dengar. Brengsek! Bukankah dunia ini kejam padanya? Dulu mereka merenggut gyuri darinya, lalu setelah hatinya membaik dan ia berfikir hanya akan hari tua yang diinginkan, mereka justru ingin merenggut soeun dari sisinya. Tidak, tidak! Kimbum tidak akan bisa kehilangan soeun. Mata itu, bibir itu, wajah itu, demi tuhan ia akan gila jika Tuhan merenggut cintanya dari sisinya.
"Bukan begitu bum-ah, tapi——"
"Lalu apa? Kau ingin mengatakann apa?!!"
Soeun menangis. Isakan yang sejak tadi ditahannya kini mengalun dengan indah. Membuat sang woo dan sahee bersidekap menahan sakit yang menggerogoti. Mereka tidak mampu mengusik, hanya memberi waktu dan sang woo berharap kimbum mampu mengubah keputusannya. Kehilangan calon cucu bukan sesuatu yang diinginkannya. Dia juga memang menginginkan hadir nya seorang cucu, tapi jika harus mempertaruhkan nyawa soeun lebih baik ia tidak memiliki cucu. Daun dan ranting bergerak lembut di balik kaca yang tinggi. Mereka begitu bebas dan lepas. Dan sang woo berharap soeun juga dapat merasakannya.
Dan di tempatnya duduk soeun hanya mampu menatap kimbum dengan sakit. Tenggorokan itu belum pulih dan kepalanya masih begitu terasa sakit. Tapi tatapan kimbum dihadapannya membuatnya tak merasakan hidup yang lebih berarti. "Ku mohon kimbum. Aku menyayanginya, aku menginginkannya." karena ia ibunya. Tidak ada yang bisa soeun lakukan kecuali menjaga janin kecilnya ini. Bukan karena ia tak menyayangi kimbum, tapi demi Tuhan bahkan pria itu adalah seluruh kehidupannya. Selama ini ia hanya seorang diri. Hidup dalam kegelapan dan rasa sakit. Kimbum lah yang telah mengubah segalanya.
Pria itu membawanya menikmati hidup, memberikan kasih sayang yang selama ini ia cari, dan menjadi teman dalam kesakitannya. Berpisah dengan kimbum adalah hukuman paling menyakitkan, tapi mengorbankan anaknya bukanlah pilihan yang dipilih soeun. Ia sudah pernah merasakan terbuang dan soeun tidak ingin anaknya merasakan hal yang sama.
Itu sangat menyakitkan.
Dimana setiap hari ia hanya seperti seonggok mayat yang tak berguna. Berteman dengan bangunan, serta binar mata kepedihan. Soeun ingin anaknya bahagia. Seperti kebahagiaan yang selama ini dirinya rasakan dari ketulusan kimbum. Rasa sakit ini bukan lah hal yang menyedihkan. Ia sudah terbiasa merasakan hal yang bahkan lebih sakit dari ini. Soeun yakin ia akan mampu melewatinya. Selama kimbum bersamanya dan tidak pergi dari sisinya soeun berjanji akan bertahan demi janin itu. Hingga anak itu lahir, dan jika Tuhan memang tidak memberinya waktu yang lebih lama, maka soeun akan menerimanya.
Setelah ini pun Soeun berjanji, ia akan mencari cinta pertama itu. Lalu setelahnya, soeun akan memberikan bayi itu sebagai permintaan maafnya kepada kimbum. Soeun tahu cinta itu hanya sepersebagian saja untuknya. Nama itu masih tersemat di dalam sana. Di setiap malam soeun tahu kimbum memimpikannya dan tidak akan lebih lama lagi soeun menahan kimbum berada di sisinya.
Tapi sang woo tahu apa yang ada dalam pikiran menantunya itu. Soeun memang manusia mungil berkepala batu, tapi setiap sisi di hatinya tidak pernah tersentuh noda. Ada sesuatu yang coba wanita itu lakukan dan sang woo tahu kimbum menyadarinya. Pria itu tidak akan pernah membiarkan soeun berlaku semaunya tanpa memikirkan perasaannya.
Soeun masih menggenggam kuat kedua tangan kimbum menunggu jawaban dari putranya itu. Tapi sekali lagi Tuhan mempermainkan wanita itu. Sang woo menghela nafasnya ketika kimbum justru melangkah pergi tanpa sebuah jawaban. Pria itu hanya sempat menatap dengan luka, lalu membuang wajahnya seolah tidak berniat menatap soeun sebelum akhirnya ia pergi.
Sementara soeun kembali terisak. Sang woo tahu wanita mungil ini dilanda bimbang dan takut. Tapi ia juga tidak tahu harus melakukan apa? Karena kebungkaman kimbum adalah jawaban yang begitu jelas. Ia ayahnya dan ia yang merawat kimbum hingga dewasa. Sikap pria itu yang tidak banyak bicara ketika murka adalah sebagian dari sikap kerasnya. Jadi meski kimbum hanya diam, sang woo tahu kimbum tidak mampu membantah. Namun sang woo juga yakin kimbum tidak akan biarkan soeun bebas begitu saja. Soeun tidak akan lagi mudah berpergian. Sang woo yakin kimbum juga akan mengukung soeun untuk selalu berada dalam jangkauan penjagaannya.
Mendekati soeun, sang woo lalu memeluknya dengan erat. Biarlah, karena dengan ini setidaknya semua dapat kembali baik. Mawar yang menatapnya adalah saksi janji pria ini. Kelak, pada saatnya nanti sang woo akan pastikan soeun akan mendapatkan kebahagiaan nya. Setelah ini ia akan mencari rumah sakit besar yang akan menangani soeun. Terbongkarnya semua pada kimbum juga bukan sebuah kesalahan, karena dengan ini mereka akan dengan mudah membawa soeun berobat tanpa harus bersembunyi.
No comments:
Post a Comment