.
.
.
.
Waktu tak akan pernah mampu diulang.
»¢¢«
너는 살아남지 못할거야.
neoneun sal-anamji moshalgeoya.
Mencintaimu bukan bertahan.
숨을 쉬고 있었고 나는 말문이 막혔다.
sum-eul swigo iss-eossgo naneun malmun-i maghyeossda.
Nafas masih berhembus dan aku tetap terdiam.
이 길의 끝은 내가 찾지 못한다.
i gil-ui kkeut-eun naega chaj-ji moshanda.
Ujung jalan ini tak ku temukan.
나는 끊임없이 논스톱을 수색했다.
naneun kkeunh-im-eobs-i nonseutob-eul susaeghaessda.
Aku mencari, terus dan tanpa henti.
당신은 거기에있어, 어둠 속에서 여전히 서 있습니다.
dangsin-eun geogieiss-eo, eodum sog-eseo yeojeonhi seo issseubnida.
Kau di sana, berdiri diam di bawah gelap.
그와 나는 인물을 만질 수 없었다.
geuwa naneun inmul-eul manjil su eobs-eossda.
Bersama dia, dan aku tak mampu menyentuh sosok.
이 바람이 속삭 였고 말할 시간이었습니다.
i balam-i sogsag yeossgo malhal sigan-ieossseubnida.
Angin ini bisikkan dan waktu mengucapkan.
웃음을 터뜨리는 눈물 만들기는 슬픔에서 사라졌습니다.
us-eum-eul teotteulineun nunmul mandeulgineun seulpeum-eseo salajyeossseubnida.
Membuat tangis, bersahut tawa menghilang duka.
그는 거기에 있지 않습니다.
geuneun geogie issji anhseubnida.
Dia di sana bukan aku.
너는 나를 풀어 주지만 나는 여전히 달린다.
neoneun naleul pul-eo jujiman naneun yeojeonhi dallinda.
Kau biarkan aku jauh, namun ku masih terus berlari.
여보, 몇 초만 기다려주세요.
yeobo, myeoch choman gidalyeojuseyo.
Sayang, beri aku waktu lebih dari sekedar detik.
어둠 속에서도 발을 들여다 보자.
eodum sog-eseodo bal-eul deul-yeoda boja.
Biarkan kaki melangkah mendekati sosok, meski dalam gelap.
가지 마, 제발 내버려 두지 마.
gaji ma, jebal naebeolyeo duji ma.
Jangan pergi, ku mohon jangan biarkan aku sendiri.
여기 나는 감히하지 않습니다.
yeogi naneun gamhihaji anhseubnida.
Di sini aku tidak berani.
내 눈은 볼 수 없다
그림자는 아름다운 빛이 아니다.
nae nun-eun bol su eobsda,
geulimjaneun aleumdaun bich-i anida.
Mataku tak mampu melihat, bayang bukan cahaya yang indah.
그래서 거기 머물러 라.
geulaeseo geogi meomulleo la.
Jadi, tetaplah di sana
앞으로 봐, 내가 돌아올거야.
ap-eulo bwa, naega dol-aolgeoya.
Nantikan, aku akan kembali.
lirik: vihaphupy
Sebuah dongeng mengatakan cinta sejati mampu membangkitkan putri tidur dari kematiannya. Juga ada yang mengatakan ia mampu menghilangkan dua nyawa dalam satu waktu yang serupa. Romeo dan juliet, mungkin tuhan menerima pilihan keduanya yang memilih mengakhiri kisah dan lari dari rasa sakit. Tapi entahlah, manusia tidak ada yang pernah mengetahuinya. Semesta bukanlah alam yang mampu di pahami. Ratusan manusia mempelajari, tapi tak satupun dapat memaknai. Siapa yang mengetahui kapan dan di mana bencana akan terjadi? Tak ada yang tahu. Air mengalir, udara tersebar, angin berhembus, terik bersinar dan semua adalah kuasanya. Sama seperti kisah, salju, lagu, luka..... dan ia masih terus berlari.
Dunia ini kejam, sangat kejam dan aku tak ingin berada di dalamnya. Lari seperti dua kaki tak lelah untuk menghindari. Pria ini benci pada sang ayah. Ia juga benci pada sang ibu. Namun seluruh kebencian juga tertuju pada takdir dirinya sendiri. Tuhan tidak adil, hidupnya bukan untuk mengabdi. Pria ini ingin bebas, seperti burung di langit. Seperti singa di hutan, dan seperti ikan di laut. Bolehkah ia mengakhiri?
"Hah" lagi dan lagi ia menghela nafasnya kuat, mengacak rambut yang basah, lalu menghapus jejak air sialan yang memalukan. Air mata, bahkan pria kecil ini muak pada tangis kekanakannya. Kadang kala otak berkata, Larilah! Namun hati justru menolak hingga luka itu tercipta. Delapan tahun begitu menyebalkan ketika ia berusaha menolak ingatan. Diusia ini, kebanyakan manusia sepantarannya hanya akan bermain mengenal dunia. Tapi pria ini? Sekali lagi dunia mencemooh. Ia ingin lahir seperti manusia pada umumnya, menikmati hidup bukan dengan lembaran bodoh di atas meja, ataupun manusia tolol sejenisnya.
Pernah ia berpikir, bisakah dirinya kembali ke dalam rahim sang ibu? Tapi sedetiknya pria ini memilih memukul otak bodohnya, karena jelas itu impossible! Namun, kembali air mata sialan ini menetes. Lelah, pria ini coba melangkah mendekati taman sepi yang hanya diselimuti putih, dan itu salju yang beku. korea buruk, pria kecil ini menyukai bayern dan suatu saat ia pasti menapakinya. Frauenkirche, ia selalu mengidamkan menapaki kaki mengelilingi bangunan gereja yang dibangun sekitar abad 12 itu. Dimana ia juga dapat menikmati pemandangan sekitar kota. Sangat menyenangkan, terlebih jika ia kelak memiliki kekasih.
Namun lagi-lagi pria ini mendengar nafasnya berhembus kasar. Kini seperti orang tolol ia memilih sebuah kursi batu dan menempelkan bokong dengan pasrah. Coat ini tidak melindungi. Kemeja putih dan jas tolol ini juga tidak membantu. Di sana, di ujung jalan yang tak terlihat pria ini yakin sepuluh pria berbadan besar pasti tengah mencarinya. Tapi ia sunggh tidak perduli. Pria ini letih, berkas-berkas itu benar-benar membuatnya muak.
Hidup ini indah, dan noona sinting dengan segala ucapannya. Perlahan dan manik matanya menyamar. Tapi pria ini mampu melihatnya. Seorang gadis kecil namun tampak begitu sinting. Ia memakai sebuah dress kecil, tanpa coat dan tanpa lengan. Benar-benar bodoh! Pria ini tidak berniat mendekati, tapi ekor matanya memperhatikan langkah sang gadis yang justru semakin mendekat.
"Oppa? Apa yang sedang kau lakukan?"
"Menanam padi!"
Kalimat itu ketus dan pria ini sangat menyadari. Persetan! suasana hati tidak mendukung untuk dirinya menjawab lembut pertanyaan bodoh sang gadis. Meski ia sadar gadis itu akan menangis, namun pria ini hanya menutup rapat ke dua pelupuk matanya. Berharap waktu akan berputar dan tangisan itu tak menusuk saluran pendengarannya. Tapi alih-alih mendengar tangisan ia justru mendengar sebuah kikikan. Ia jelas tidak tuli, dan benar apa yang dirinya dengar. Gadis itu tertawa, ke dua matanya bahkan ikut menyipit ketika dua ujung bibir itu merekah dengan indah.
cantik!
Pria ini menggumam dalam diam. Ia sadar telah menjadi gila. Bayangkan, bocah berusia delapan tahun yang bahkan kencing saja orang-orang mengatakan ia belum lurus, barani-beraninya untuk jatih cinta. Tapi senyum itu nyata, dan pria kecil ini menyukai wajahnya. "Kenapa kau tertawa?" Mencoba menghilangkan malu pada sudut hati, pria ini menegur dengan sedikit keras. Tapi sekali lagi sang gadis kembali tertawa.
"Kau lucu oppa. bagaimana bisa menanam padi dimusim salju?"
Oh shit! ini sungguh memalukan. Pria ini mendengus kasar lalu melangkah pergi meninggalkannya. Berada di dekat sang gadis membuat otak cerdasnya tumpul. Pria ini merasa seperti tolol yang idiot. Dan, ayolah ia terkenal di mana pun kakinya ia tapaki. Banyak orang mengatakan dirinya adalah dewa tampan yang sempurna. Tahukah bahwa setiap hari ia bahkan harus membawa pulang puluhan chocolate dari para gadis kecil yang bodoh? Tapi jangan harapkan untuk memakan, menatapnya saja pria ini tidak berminat.
"Kenapa pergi?"
Masih terdengar suara kecilnya. Tapi sekali lagi tak ada niat pria ini untuk berhenti. Ia tidak ingin gadis itu menjadi bagian dari gadis-gadis sinting yang akan terus mengusik kehidupanya. Karena cukup satu orang saja, dan itu cukup sang ibu!
"Maukah menemaniku?"
Lagi gadis itu bertanya riang, dan kali ini pria ini tercekat melihat sang gadis telah berada di hadapanya. Entah kapan gadis ini mendekat, tapi mungkin ia yang tolol berhenti tanpa menyadari. Angin menyapu dengan lembut dan anak-anak rabutnya berkibar dengan indah. Wajah itu begitu berbeda, ia seperti jelmaan dewi yang cantik. Bertubuh mungil, namun dengan kulit tubuh yang menyerupai susu. Demi tuhan, jantung pria ini berdebar ketika kedua tangan lembut gadis itu memeluk erat lengan kanannya.
"Aku sibuk!" Hanya dua kata, dan pria ini tak berniat menambah sambungan. Sudah cukup! Ia akan semakin gila jika gadis ini terus melakukan tindakan-tindakan aneh yang semakin memancing detak jantung sialannya.
"Begitu? tapi aku tak memiliki teman." Namun gadis ini justru menjawab dengan begitu lirih, dan pria ini justru merasa iba. Ini hal bodoh, seumur hidup bahkan menemani seorang pria pun ia tak sudi. Tapi kini kakinya bahkan telah berjalan bersisian. Gadis itu masih memeluk lengannya, dan pria ini hanya menatap lurus jalan putih yang mereka lewati. Sepanjang jalan ini hanya terdapat rumah-rumah besar yang pria ini tebak adalah salah satu diantaranya adalah kediaman si mungil. Itu terbukti. Lihat dress itu bukan dress murahan. Hanya dengan memandangnya pria ini tahu ia memiliki harga yang fantasatis. Lalu, cara berbicaranya, lembut dan begitu anggun. Orang bodoh sekalipun tahu hanya anak-anak terdidik yang mampu melakukannya. Gadis ini seperti dirinya sendiri.
Terus waktu berjalan namun keduanya hanya berjalan lambat, menikmati beku dan coat yang ia miliki berpindah pada si mungil bersamaan dengan sebatang chocolate dan setangkai balon. Setelah toko dan melewati sebuah restoran, entah mengapa pria ini ingin mengajak sang gadis menikmati Losatta. Toko kecil milik teman sekolahnya. Hanya berisikan baran-barang seorang gadis.
Hingga waktu mengingatkan, dan kini semua terasa tidak adil. Saat pria ini menginjakkan kaki di sebuah rumah besar yang dimana berada beberapa pria besar yang segera meyambutnya.
"Nona, anda dari mana saja?" Seorang pria bertubuh tegap segera menegur. Dan pria ini bersikap angkuh ketika beberapa diantaranya menatap dirinya dengan tatapan penuh intimidasi.
"Jangan menatapnya Dain, dia temanku."
"Tuan muda akan membunuhku jika beliau tahu anda melarikan diri."
"Aku hanya bermain. Kau berlebihan."
Dan lagi-lagi pria ini mengembangkan senyum di dalam hati. Getaran jelas tak tertampik, ketika kaki melangkah jauh, rasa sakit menyergap seiring tubuh yang menghilang.
"Aku belum mengetahui nama mu." Batinnya.
No comments:
Post a Comment