Langit telah pekat dalam putaran waktunya. Suhu semakin meningkat mana kala angin berhembus semakin cepat. Ruangan ini terang, bohlam memiliki watt yang tinggi untuk membantu seorang pria mempelajari beberapa berkas yang tersaji. Wajahnya datar, namun segar dengan rambut yang masih sedikit basah. Jemarinya bergerak, membalik beberapa halaman dengan sesekali bibir menyesap kopi hitam buatan sahee. Pria ini fokus, tidak berucap, seutuhnya mengabaikan sosok cantik di sisi kanannya.
Hatinya sedang kesal, dan pria ini tidak ingin menghardik kasar hanya karena tak mampu mengendalikan emosi. Lagi pria ini menghela nafas sembunyi-sembunyi, mengatup bibir kuat-kuat dan melantunkan nyanyian di dalam hati agar tak terpancing nada manja sang gadis mungil.
"Bum-ah."
Soeun mendengus saat kimbum tetap diam dalam kesibukannya. Pria itu terus saja membaca tanpa perdulikan kehadiran dirinya yang bahkan telah berdiri selama dua puluh menit di sisinya.
"Apa kau akan terus diam?" lagi gadis ini berucap. Tangannya menarik-narik kesal lengan kaos biru yang digunakan sang suami. Mencoba memancing reaksi, meski jika harus kemarahan yang terlontar. Tapi tidak, pria itu tetap diam, bersikap seolah-olah tidak terganggu dan tidak ada soeun di sisinya. Terus bersikap sibuk pada berkas dihadapannya. Sesekali bahkan menyesap kopi tanpa rasa bersalah.
Gadis ini menunduk, meremas keras baju tidurnya yang tipis. Berusaha menahan isakan karena hujan air mata telah mengalir di kedua pipinya.
"Hiks, mianhae." ketika pada akhirnya bibir itu berucap, isakan turut terlontar menghentikan gerak bola mata sang pria. Soeun kesal, ia lelah berdiri lama, namun kimbum terus mengbaikan. Pria itu boleh memarahinya, menghukumnya atau memukulnya. Tapi tidak dengan diam, yang bahkan telah dilakukan sejak dua jam kepulangannya.
Kimbum bahkan dengan sengaja meningalkannya sendiri di atas ranjang hingga membuatnya terpaksa mengejar dan memohon di tempat ini. Soeun ingin memeluknya, mengurangi rasa lelahnya dan menghilangkan rasa sakit yang kembali menyerang bagian tubuhnya. Bukan karena takut kimbum tidak menerimanya, hanya karena ia takut pria itu akan kembali terluka.
Kimbum menghembuskan nafasnya kasar, menutup berkas dan segera menatap jengah gadis di sisi tubuhnya.
"Wae? Kenapa kau menangis? Bukankah tadi kau berlari begitu lincah?"
Itu cibiran, dan soeun tidak perduli. Ia cukup senang kimbum membuka suaranya meski hanya kalimat kemarahan.
Tapi tidak dengan kimbum, pria ini menyesal mengabaikan sang istri hanya karena kemarahan. Sejujurnya kimbum tidak bermaksud membungkam bibir, tapi ketika soeun kembali dengan senyum bodoh di bibirnya, ia justru kesal dan mengingat kembali kejahatan yang telah dilakukan istrinya itu. Merasa soeun bersikap tak acuh, kimbum akhirnya memilih bungkam dan menjauh untuk memberi pelajaran. Namun saat bibir itu mengisak hatinya justru menciut dan terluka.
Apa ini? Gadis ini memang luar biasa memporak-porandakan keadaan hatinya. Kimbum tidak bisa membenci, rasa cinta itu terlalu besar dan menuntut untuknya.
"Mianhae."
Lagi soeun memohon, namun tetap dengan isakan di bibirnya. Membuat kimbum kalah dan segera menarik sang istri ke atas pangkuannya. Soeun sangat menggemaskan, dan demi apapun kimbum ingin segera membawanya ke atas ranjang dan menghukumnya dengan cara yang lain. Cara panas yang akan menghangatkannya di cuaca yang dingin.
"Apa kau sedang menyesal?"
"Hmm." gumam soeun. Ia meletakkan tangannya di pinggang sang suami, lalu merekatkan wajahnya pada dada kekar kimbum. Melanjutkan isakannya seraya menikmati wangi segar aroma yang di tebarkan tubuh kimbum.
"Berhenti menangis! Kau buruk dalam acting." kimbum mengusap kepala soeun dan mengecupi pucuk kepalanya dengan gemas.
Gadis ini nampak sinting, menangis tapi terkekeh sembunyi-sembunyi. Kimbum menyadarinya, soeun mengisak namun terkekeh di balik tangisannya. Actingnya luar biasa dan kimbum semakin terkesima sengan kelakuan si gadis chocolate.
"Jangan mengabaikanku." rengek soeun. Air matanya telah terhenti, namun tangannya tetap memeluk erat kimbum. Ia tidak beracting, hanya tidak tahan tertawa saat kimbum luruh dengan aliran air matanya. Wanita ini bahagia, prianya tidak membiarkan dirinya menangis ataupun mengisak perih seorang diri.
"Kau sangat manja. Apa kau sudah makan?" ucap kimbum gemas. Bibirnya tersenyum ketika soeun kembali mengangguk di dadanya. Piama tipis yang melekat di tubuh soeun sangat menggoda di matanya, terutama piasan wajah gadis itu yang memikat meski tanpa polesan make up. Soeun sangat cantik, bohlam terang di atas kepala semakin membuat kecantikan gadis itu menghipnotis kesadarannya. Pria ini mengerang diam-diam. Harum tubuh soeun membuai saluran pernapasannya, sangat menyiksa dan merangsang rasa lelahnya yang butuh pengalihan.
"Kau mengkonsumsi chocolate?" pria ini mencoba fokus. Tangannya melepas lembut pelukan, mengarahkan wajah soeun pada wajahnya, lalu mengusap wajah cantik sang istri dari jejak air mata yang masih membekas.
Terlalu sial, karena apapun yang disentuhnya justru semakin membuat adiknya meronta-ronta tidak terkendali. Seluruh anggota tubuh soeun benar-benar menyiksanya. Lihat, pria ini justru terjerumus dalam hukumannya sendiri.
"Anio, hanya orange jus dan rainbow cake." jawab soeun. Ia menahan gerakan jemari kimbum, menariknya dan mengecupnya dengan lembut. Membuat kimbum tersenyum, sembari mengumpat. Gadis nakalnya sengaja memancing hasrat lelaki dewasanya.
"Kau mengunjungi okemon kafe?" tanya kimbum.
Okemon cukup terkenal, dan sering menjadi tempat pertemuan bersama para kliennya. Kimbum masih mencoba fokus. Mengabaikan hasrat demi mengorek informasi penting tentang kegiatan sang istfi. Soeun jauh lebih penting dari nafsu sinting yang sedang menderanya. Gadis ini tidak mudah berkata jujur, namun saat ini kimbum yakin soeun tengah bersikap jujur karena rasa bersalahnya.
"Ne." jawab soeun.
"Seorang diri?"
"Anio. Bogem oppa menemaniku."
Kimbum menutup matanya kilat, lalu menghembuskan nafas lega. Ia sempat berpikir soeun menghabiskan waktu seorang diri hanya karena tidak berani kembali pulang.
"Kau sangat nakal. Aku akan menghukumnya." gerutunya berpura-pura kesal. Tidak, soeun berbeda hukuman. Namun bogem telah lari dari pekerjaannya. Hukuman ringan tidak akan didapatkan selain pemotongan gaji selama tiga bulan ke depan. Pria itu seharusnya mengabari dan memberi tahu posisi soeun, bukan menikmati hari bersama istrinya.
"Ya, kau harus menghukum dia. Kau tahu, dia terus memarahiku." jawab soeun
Aduan macam apa ini? Jika saja bogem mendengarnya pria itu pasti akan menggerutu hingga telinga akan panas karena lontarannya.
"Bibirmu semakin menyebalkan
" cibir kimbum. Ia menarik tengkuk soeun dan mendaratkan kecupan secara singkat.
"Tapi kau semakin menyukainya." goda soeun. Gadis ini menatap nakal mata sang suami. Gadis ini sedang berpura-pura bodoh, sengaja menghukum prianya yang sempet mengabaikan kehadiran dirinya.
"Kau benar." jawab kimbum parau. Ia mengerang tertahan ketika soeun dengan nakalnya memainkan jemari di atas permukaan dada kekarnya yang bergemuruh. Gadis itu jahil, kimbum tahu soeun sengaja menggodanya, namun demi apapun pria ini menyukai gerakan lembut jemari sang istri.
Kimbum menarik kembali tengkuk soeun, mencium dengan gerakan yang sedikt kasar hingga membuat soeun mendesah. Gadis ini terus bergerak menahan rangsangan gerakan lembut kimbum. Dan kimbum memindahkan tangannya dari tengkuk berganti mendekap erat tubuh soeun agar tidak terjatuh dari pangkuannya. Sayang semua terhenti, dering ponsel di atas meja membuat soeun menarik diri dengan keras, hingga membuat kimbum menggeram dengan kesal.
"Tidak mengangkatnya?"
Soeun mengernyit ketika kimbum justru mematikan panggilan. Pria ini tidak pernah mengabaikan apapun, karena soeun tahu pekerjaan begitu penting untuknya.
"Nomor tidak dikenal. Ku rasa hanya panggilan bodoh." jawab kimbum. Ia kembali mendaratkan bibirnya dengan lembut. melumat perlahan, menikmati rasa manis dan lembut yang tercipta di bibir soeun.
Namun sekali lagi Kimbum terpaksa menghentikan aksinya, dan mengerang; lalu menatap kesal ponsel yang terus menerus berdering nyaring di atas meja. Jika saja ia tidak menangkap warna merah di wajah soeun, mungkin kimbum tidak akan menghentikan kegiatannya. Kimbum menyumpahi orang tolol yang terus menganggu keromantisannya.
"Angkat saja bum-ah. Aku akan menunggumu." ucap soeun. Ia turun dari atas pangkuan kimbum, lalu melangkah menuju kamar. Entahlah, soeun merasa kimbum seperti sengaja tidak menjawab panggilan karena kehadirannya. Pria itu nampak membutuhkan ruang untuk sendiri.
Meski mungkin itu bukan panggilan penting, namun ia tidak ingin mengekang pria itu hanya karena rasa cemburu. Sekalipun itu panggilan dari seorang gadis, ia akan berusaha menahan diri, ia hanya perlu percaya dan semua akan baik-baik saja.
Lain soeun, lain yang dipikirkan kimbum. Pria ini berulang kali mengumpat menyumpahi orang tolol yang terus mengusik ketenangannya. Masih diam, kimbum masih membiarkan panggilan itu hingga berhenti dengan sendirinya. Namun ketika ponsel itu kembali berdering, ia mengusap kasar wajahnya dan segera menjawab panggilan.
"Yeobseyo."
"Anneyeong oppa. Lama sekali menjawab panggilanku."
Kimbum menegang mendengar nada yang terlontar. Pria ini mengenali suara itu. Suara yang telah menghilang selama 2 tahun dari pendengarannya.
.
.
.
No comments:
Post a Comment