Search This Blog

Tuesday, April 28, 2020

Conqeror Chocolate 37







Cinta itu semu, dan cukup diam untuk menutupi rasa.
.
.
.


©©
.
.


Dulu, ada kalanya senyumnya mengembang tanpa tipuan. Seperti memang kebahagian terlahir hanya menemani keberadaanya. Hadir dan pergi dan selalu seperti itu. Tuhan hanya menjadikannya sama tanpa perubahan yang berbeda. Jika dikatakan lelah, dirinya lah yang paling lelah di muka bumi ini. Berjalan tak bersisian, seorang diri dan hanya berada di dalam kesepian yang tak berujung. Mampu atau tidaknya ia bertahan, lagi-lagi hanya ia yang mengetahuinya. 

Tapi saat ini semua berbeda. Tuhan nampak bermurah hati memberi teman dan kebahagian yang tidak pernah mampu terbayangkan. Menghilangkan kesepian, dan mengembalikan tawa kembali pada tempatnya. 

Lihat, kaki langit juga mulai redup, membuat gelap menyelimuti awan. Pancaran biru tidak lagi secerah mentari karena cerah telah perlahan menjelma menjadi mendung. Ada tawa di sebuah taman dan Jingkrak-jingkrak kecil menyapa iris manik mata renta, membuat sahee dan sang woo terkikik lucu sembari menikmati tumpukan salju di pekarangan. Teras rumah ini besar, ada berbagai tanaman terkubur kapas putih, membuatnya terlihat cantik dan menghiasi. 

Desember mungkin dilewati tanpa samar kesan yang indah. Dan januari menyapa dengan tahun baru yang tak seperti tahun sebelumnya. Belum juga akan nampak helai hijau daun, namun hembusan seolah mengisyaratkan kebahagian terasa mendekat dan mengiringi. 

Tahun lalu gadis itu menangis dalam ikatan suci, dan tahun ini pria ini berharap gadis itu akan selalu tertawa. Seperti ketika saat dulu pertama kali ia menemukannya di bawah kaki gunung Takao yang dingin. Di mana gadis itu selalu bersikap lembut dan gembira, seperti seorang dewi mungil yang periang.



****Conqeror Chocolate****


Pagi ini terasa lebih berbeda, udara yang berhembus telah bercampur dengan asap-asap polusi yang tercemar. Jalanan padat, dan klakson-klakson dari semua kendaraan berbunyi nyaring saling bersahutan. 

Seperti mereka sedang menyapa sang surya dengan kegembiraan. Banyak toko telah terbuka dan menampilkan berbagai macam produk di belakang dinding kacanya. 

Tas, pakaian ataupun boneka beruang besar sesekali menjadi fokus mata indahnya. Ia juga terkadang tertawa takjub ketika mendapati sesuatu yang dulu belum sempat dilihat olehnya. 

Hampir 3 tahun dan semuanya telah banyak berubah. Gadis ini melangkah kecil, mendekati sebuah dinding kaca, lalu tersenyum menatap sebuah gown merah muda bersayap. Seperti baju bidadari, dan dulu ia sempat menginginkannya. 

White, warna itu pernah ia ungkapkan pada sang kakak dan pria itu berjanji akan membelikannya. Kenangan bukanlah hal jahat untuk diingat, namun gadis ini mengisak ketika sembilu menyambar sudut hatinya yang begitu terasa sakit. Ia tidak mengerti, yang ia tahu hanyalah selalu sakit ketika ia mencoba kembali mengingat bayang-bayang sang kakak. 

Lain halnya dengan sang pria, ia menghembuskan nafas dengan begitu berat. Musim semi jelas selalu indah, dan itu berarti tiga bulan sudah waktunya menghilang. 

Pria ini mengusap lembut kepala sang gadis, membuat gadis itu mendongak, namun ia segera menariknya menjauh. Mungkin gadis itu menginginkan gown lucu itu dan ia harus segera pulang untuk mengambil sedikit hartanya. Kejadian tiga bulan lalu membuat pria ini kehilangan semua isi dompet yang ia bawa. Sepertinya ketika ia terjatuh dompet itupun ikut terjatuh dan tertimbun dalam salju. Hingga membuat soeun yang menemukannya tidak melihatnya. 

"Apa kau lapar?" 

Langit cerah berada di atas kepala, sinarnya yang terang memberi sedikit rasa hangat. Mereka baru tiba beberapa jam yang lalu, namun harus berjalan karena tidak memiliki lembaran won yang lebih banyak. Ternyata berada di bawah itu sangat sulit. Orang-orang menatapnya dengan sinis, tapi kehadiran soeun membuatnya merasa biasa. 

Sang woo menyadari satu hal, soeun bersikap tenang dan tidak terpengaruh meski korea memperlihatkan kemewahaannya. Biasanya seorang gadis kecil akan berteriak nyaring ketika melihat sesuatu yang diinginkannya, tapi gadisnya hanya menangis dalam diam.

"Tidak ajhussi. Apa rumahmu masih jauh?" 

Lihat, gadis ini begitu berbeda. Soeun begitu lembut, ia tak meminta banyak hal, justru selalu menolak semua yang ia tawarkan. Sang woo tahu gadis itu terbiasa menahan lapar, soeun pasti menyadari uang yang mereka pinjam tidaklah mencukupi. Ini juga hal pertama yang pria ini lakukan, meminjam uang dari orang lain. Kepala desa cukup baik meminjamkan beberapa yen-nya. Dan tuhan baik mengizinkan mereka kembali meski dengan cara yang berat. 

Sejujurnya pria ini ingin menghubungi sang istri dan meminta sahee mengirimkan beberapa pengawalnya, namun sang woo harus membatalkan niatnya. Entah bisa dikatakan sial atau tidak ia justru melupakan nomor ponsel sang istru juga semua nomor yang dirinya ketahui. Jadi begitulah nasibnya, ia memilih bertahan dan setelah tiga bulan barulah ia berusaha meminjam uang.

"Sebentar lagi kita tiba." Jawabnya. Bibirnya menyungging senyum yang tampan, membuat gadis ini tersenyum dan tertawa riang. Sang woo ikut tertawa, rambutnya yang hitam melambai lembut kala angin menyapanya. Pakaiannya biasa, hanya kaos dan celana usang yang di dapatkan dari pemberian warga di bawah kaki gunung. 

Pria ini terus melangkah. Sebelah tangannya menarik sang gadis menyusuri jalan yang ramai oleh para pejalan kaki. Meski pagi baru menjelang, kota ini telah sibuk dengan kegiatan para penduduknya. 

"Ajhussi, apa tidak apa-apa membawaku?" Soeun bertanya takut-takut. Kaki mungilnya berjalan dengan sesekali melompat riang dan bibirnya terkikik lucu. pemandangaan sangat indah, meski gunung lebih indah namun ia juga cukup merindukan kota dan para kendaraannya. 

pria ini tertawa kecil, mengusap surai gadisnya dengan gemas. "Tentu saja sayang. Ajhussi akan mengenalkanmu pada istri dan anak ajhussi." jawabnya. Berbelok ke kiri, pria ini memasuki kawasan perumahan elit yang besar, membuat gadis kecil ini lagi-lagi membuka mulutnya dengan tidak percaya. Rumah-rumah itu begitu megah, banyak bunga dan pohon-pohon mengitari dengan pagar-pagar besar bersisisan. 

"Apa rumah paman juga besar seperti rumah-rumah ini?" tanya sang gadis. Ia menghentikan langkah kecilnya, menatap ragu sang pria lalu menundukkan wajahnya takut-takut. Ini semua mengingatkannya pada rumahnya. Dan soeun takut jika harus bertemu sang eomma ataupun sang halmeoni.

"Ya. Jangan takut, mereka tidak jahat." 

Ia mengerti maksud dari pertanyaan itu. Soeun jelas takut dan belum mampu menghadapi. Namun beberapa bulan bersama gadis kecil ini, pria ini banyak mengetahui segalanya. Gadis mungil itu terbuang, dijauhkan dari dunia hanya karena perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Dibiarkan hidup seorang diri dengan hanya berbekal pakaian dan kain-kain usang, juga memakan makanan kemasan dengan masa kadaluarsa yang masih sangat lama. 

Sinting! Bahkan mengingat cerita itu membuat sang woo kembali emosi. Mereka memang tolol, tapi ia masih waras. Dan dengan akal sehatnya itu, pria ini memutuskan mengangkat gadis ini menjadi putri angkatnya. Meski suatu saat akan menjadi masalah, ia tidak perduli. Sang woo telah bertekad akan membuat gadis yang telah menyelamatkan nyawanya itu bahagia. Entah siapa orang tolol yang telah tega membuang gadis cantik ini, tapi pria ini tidak lagi perduli. Ia tidak bisa membiarkan gadis ini berjuang hidup sendirian, hati nuraninya masih hidup untuk menolong dan menjaga.

No comments:

Post a Comment