Masa lalu adalah sebuah kenangan di masa depan.
.
.
.
.
.
Hempasan badai menyambar tebing tinggi yang diam tanpa suara. Burung-burung berterbangan sembari menatap nyalang. Berkerumun berkelompok seolah ada bayang yang patut sekedar untuk di pertontonkan. Tapi memang benar, burung-burung ini tengah senang memperhatikan seorang pria yang berjalan melintasi hamparan putih dengan keadaan mengenaskan. Rambut berantakan, tubuh basah dan bewarna putih pucat. Terlihat seperti manusia yang tengah tersesat, dan mungkin memang seperti itu. Tapi para burung ini tak mampu untuk menyelamatkan.
Angin masih berhembus dasyat, beberapa titik putih ikut menerpa menemani membuat luas lapang terlihat mengerikan. ini seperti padang gurun yang gersang, namun tempat ini bukan panas melainkan beku. Sejujurnya di tempat ini juga banyak terdapat pohon, namun pria ini tidak berniat untuk sekedar berlindung. oke yang benar saja, mungkin ia akan mati jika saja menuruti keinginan hatinya yang lelah.
Terus berjalan rasa takut tidak lagi mampu di sesalkan olehnya. Berbelok ke kiri lalu menyisir setapak, pria ini terus mencoba meraih jalan keluar yang benar. Tersesat benar-benar bukanlah sebuah cerita yang menyenangkan untuk di dengar. Tapi pria ini memang nyata tersesat di usianya yang baru 31 tahun.
Masih sangat muda sebenarnya untuk sekedar mengingat jalan, tapi salju menutupi jalan dan pandangannya mulai memburam. Tentu saja, ia bahkan telah satu jam berputar-putar di tempat yang sama. Yah semua tampak sama di matanya, dan berapa lama lagi ia mampu bertahan? Pria ini tidak tahu lagi. Ia terpisah dari teman-temannya dan kini hanya mampu menyumpah tolol untuk dirinya sendiri.
Pagi tadi sang istri telah melarangnya untuk berpergian karena badai salju akan segera menyerang. Namun paksaan para sahabat membuatnya keras kepala dan memilih untuk membangkang. Mereka telah lama tak bertemu, terakhir ialah saat mereka bersama-sama meniti pendidikan di negeri sakura ini. Tapi inilah yang kini didapatnya, tersesat bagi anak kucing tanpa induknya. Kini pria ini tahu, kutuk seorang istri jauh lebih mengerikan dibanding kutuk tuhan.
****Conqeror Chocolate****
Masih terus berusaha, pria ini lagi-lagi meraih batang-batang beku sebagai penyanggah tubuh lemahnya. Mencoba bertahan meski mata dan kaki telah pada batas kekuatan. Namun saat otak menolak perintah, mendekati batang di sudut jalan tubuhnya oleng dan berakhir dengan benturan kasar. Kaki itu terlalu beku, mungkin ia terlalu memaksakan hingga tubuh menyerah untuk berusaha.
Sang woo, pria ini menyerah ketika tangan mulai diam membantah perintah otak untuk bergerak. Nafas tidak lagi berhembus normal, hanya sesakan kecil yang semakin menyesakkan dada dan membuat mata semakin mengaburkan pandangan.
"Tuan, apa anda terluka?."
Meski sayup pria ini masih dapat mendengarnya. Sebuah alunan lembut yang bagaikan sembilu di dasar hati. Mata tidak lagi mampu terbuka, beku benar-benar membuatnya terbujur kaku dan tidak berguna.
"Kimbum, apa itu kau nak,?"
Bergumam, itulah yang ia mampu lakukan. Ketika tidak ada daya lagi untuk berusaha pria ini menangis dalam diam. Otak memaksa sadar tapi tubuh menolak perintah. Yang kini dalam bayang pria ini ialah mungkin ia telah mati dan berada dalam peti mayat. Tapi suara itu nyata, seperti suara putra kecilnya yang tampan. jadi salahkah ia mengira? Mungkin saja ada keajaiban dimana keluarganya mencari dan menemukan keberadaannya.
"Hmmm ???" gumaman kembali terdengar. Bukan bariton sang woo, namun lembut dan lirih. Itu suara miliknya, seorang gadis mungil yang baru saja memilih keluar dari gubuk sekedar untuk bermain bersama badai salju yang indah.
Gadis ini memiringkan kepalanya, memandang aneh, lalu berjongkok untuk dapat lebih meneliti. Ia jarang menemui orang-orang, salju terkadang memaksanya untuk bertahan di balik selimut.
"Apa kau sakit ajhussi?" tanyanya lirih. Tapi gadis ini segera memukul kepalanya ketika sadar ia tidak menggunakan bahasa yang seharusnya. Mungkin saja pria ini seorang pendatang, tapi apa yang harus dikatakannya? Ia tidak begitu mengerti bahasa lain selain bahasa yang ia miliki.
Tak mendapat respon gadis ini mencoba menempelkan jemarinya pada wajah sang pria. Dingin, pria itu benar-benar beku di bawah tumpukan tipis salju. Merasa bingung dan kasihan, gadis ini mencoba berpikir sebisanya. Apa yang dapat dilakukannya?
Dan ya itu dia! Gadis ini segera berlari menuju pondok kecil di tepi pohon. Tidak terlalu jauh karena hanya berada di bawah bukit yang dijelajahnya. Ia menyusuri halaman belakang, meraih kayu papan besar yang memiliki tali di kedua ujungnya, lalu menariknya sekuat tenaga menuju pria malang yang telah membeku itu. Gunung ini sepi, jarang ada penjaga yang akan melintasi. Dan gadis ini tahu tak akan ada yang menolong, karena Ia telah bertahan selama dua tahun di tempat ini seorang diri.
"Naiklah tuan." ia kembali bergumam. Pria itu tampan, seperti raut wajah sang ayah, dan itu membuat buliran air mata mengalir menerpa wajahnya.
Gadis ini mendorong kuat tubuh sang pria hinggä terlentang di atas papan kayu. Mendorong kayu sedikit menuju tanah sedikt miring lalu membiarkan kayu meluncur bebas hingga tepat berhenti di sebuah gubuk kecil di mana hanya kayu yang menglilinginya.
Gadis ini berlari kecil mendekati gubuk dan bersiap memasukinya. Namun baru beberapa langkah mendekati pintu, ia kembali menghentikan langkah mungilnya. Bagaimana cara dirinya membawa pria tua itu masuk ke dalam gubuk? Tubuhnya saja tidak lebih dari setengah tubuh pria itu.
Tapi saat merasa udara semakin dingin dan akan semakin buruk gadis ini memilih menarik sekuat mungkin papan kayu hingga tepat berada di bibir pintu. Berlari masuk , lalu kembali dengan sebuah kain besar. Ia membentangnya, lalu secara kuat membalik tiga kali tubuh sang pria hingga mendarat tepat di atas bentangan kain yang tebal.
Hari ini cukup berat baginya. Rasa sepi, rasa sunyi terbayar dengan hadirnya seorang teman meski tanpa kesadaran dari sang pemilik. Gadis ini memindahkan kembali papan kayu pada halaman belakang gubuk, lalu kembali berusaha menarik kain besar yang tebal mendekati perapian mungil yang dimilikinya. Hanya dengan bermodalkan korek api gadis ini menghidupkan kembali api yang belum lama di padamkannya.
Di luar hembusan angin terdengar berat, bahkan kayu gubuk sedikit berderit karena hembusannya. Awal desember memang selalu seperti ini. Badai dan hujan salju seperti sedang berdemo ria, menyiksa umat manusia yang bergembira.
Gadis ini kembali memandang diam. Beberapa saat yang lalu ia telah mengkompres lama seluruh tubuh terbuka sang pria, menggunakan handuk yang telah di celupnya ke dalam air hangat. Ingin mengganti pakaiannya, namun gadis ini merasa itu tidak sopan. Jadilah dirinya memilih membalut seluruh tubuh kekar itu menggunakan selimut-selimut tebal yang ia miliki.
Ia tidak memiliki makanan yang banyak, namun dua hari lalu ia mendapatkan kiriman paket makanan instan. Dan nanti ia akan menyeduhnya, ketika pria itu sadar, karena mungkin saja pria itu lapar.
****Conqeror Chocolate****
Masih dengan diam, gadis ini melemparkan pandangan pada api yang berkobar. Pletikan api pada kayu menemani sunyi-yang mendera. Ia terbiasa bersama sepi, salju dan angin adalah temannya. Ia sudah berada di gubuk ini selama dua tahun, bersekolah di bawah kaki gunung, dan mengurus segala sesuatu dengan sendirian. Waktunya terlalu berharga hanya untuk menangis rindu. Sesekali memang ada orang-orang khusus yang mengantarkan makanan padanya, tapi ia tidak memiliki orang tua. Bukan sesuatu yang di sesalkan. Ia memilikinya, namun tidak memilikinya. Sesuatu yang rumit untuk di jabarkan oleh anak seusianya.
Lama waktu berputar, mata belum ingin terpejam dan gadis ini menghela dengan lirih. Apa lagi yang harus dikerjakannya? Mungkin bermain api, yah gadis ini bersiap mengambil ranting kecil di bawah tumpukan kayu. Tapi lagi-lagi sebelum ia berhasil menjalankan niatnya gumaman ringisan terdengar menyapa lirih.
Gadis ini menoleh dan segera mendekat. Di lihatnya pria itu telah siuman dan memandangnya dengan bingung. "Ada yang sakit tuan?" tanyanya lembut. Jemarinya bergerak meraih air dan handuk yang hangat, lalu kembali mengkompres tubuh yang kini telah sedikit lebih hangat itu. Jauh lebih baik di banding beberapa jam yang lalu.
pria ini menggeleng, kepalanya masih sedikit pusing dan bibirnya masih sedikit kelu. Mencoba begerak kecil, ia merasa tubuhnya hangat, membuat bibirnya tersenyum ketika gadis mungil itu kembali merawatnya dengan telaten layaknya gadis muda yang cerdas.
"Apa anda lapar tuan?"
Lantunan itu kembali terdengar, namun begitu sendu dan pria ini dapat melihat sekumpulan air telah menggenang di pelupuk mata. Ada apa? Apa gadis ini takut padanya? Sikapnya benar-benar berubah dengan cepat. Sosok gadis yang lembut kini menjadi suram dan menyedihkan.
"Kenapa kau menangis?"
Mencoba bersuara, namun suara pria ini begitu parau dan serak. Udara beku nampaknya mengeringkan dan merusak tenggorokan juga pita suaranya. Sedikit meringis namun perlahan pria ini bangkit untuk duduk. Gadis di hadapannya ini begitu cantik layaknya seorang putri kerajaan. Matanya sipit namun begitu mempesona. Manik matanya seolah mampu membuat siapa saja yang memandang akan bertekuk lutut pada pancarannya. Rambutnya hitam hanya sebahu, ia juga bertubuh mungil namun dengan kulit seputih susu. Memikirkan ini membuat pria ini ingin membawa gadis ini pulang dan mengenalkannya pada putra tunggal kesayangannnya yang tampan.
"Tidak tuan. Aku hanya mengingat appa."
Ada nada cadel yang masih kentara. Jika di lihat dari postur dan wajahnya, pria ini memperkirakan gadis itu kira-kira berusia 8 tahun. Tapi ada yang mengganjal dipikarannya, gadis ini hanya sendirian, ia belum melihat appa yang gadis itu maksud. Dan lagi, bahasanya serupa dengan bahasa kebanggaan negaranya. Itu berarti mereka sama
"Appa? di mana dia nak? Apa tengah bekerja?" pria ini bertanya dengan sedikit ringisan di hatinya. Terlalu bodoh dalam melantunkan kalimat. Memang siapa yang akan bekerja di tengah badai salju?
"Appa tidak di sini tuan. Dia jauh, sangat jauh."
Lagi pria ini mengernyit, nada yang terlontar semakin sendu dan menyakitkan. Apa appa gadis ini telah tiada? itu masuk akal jika dipikirkan. Mengangguk, pria ini lalu mengusap sayang kepala sang gadis kemudian memeluknya erat. Hanya sedetik tapi membuat tangis itu pecah menyapa keheningan hembusan angin.
"Jangan menangis sayang, kau membuatku sedih." lirihnya. Ia masih terus memeluk, merasakan kepiluan yang diantarkan menyapa degub jantungnya. Ia juga memiliki seorang putri, dan demi tuhan ia tidak akan pernah bisa melihat putrinya terluka seperti gadis ini.
"
Maaf tuan."
"Tidak apa nak. Kau seperti putriku."
Banyak hal dilakukannya untuk membuat sang putri tertawa. Dan entah mengapa gadis dalam pelukannya ini membuatnya mengingat kenyataan bahwa ia telah cukup lama tersesat. Entah apa yang akan terjadi jika istrinya mengetahui ia hilang di gunung. Yang jelas wanita cantik itu pasti akan meraung dengan cemas. Belum lagi sang putri dan sang putra akan semakin menambah kegusaran istrinya itu.
pria ini menghela nafasnya lirih. Jika saja ia menuruti perkataan sang istri, ini semua tidak akan pernah terjadi. Liburan ini pasti akan sangat menyenangkan. Tapi, memikirkannya sekali lagi ia justru bersyukur di dalam hatinya. Karena biar bagaimanapun, tuhan justru mempertemukannya dengan gadis kecil yang cantik ini. Lagi ia tersenyum, mungkin cuaca terlalu dingin, mungkin gadis ini terlalu lelah, mungkin juga ia terlalu sakit. Pria ini meletakkannya perlahan di atas lantai kayu, memandang lembut gadis kecil yang kini tertidur dengan hembusan nafas begitu lirih.
Mungkin ini cara tuhan. Setelah ini tidak mungkin ia membiarkannya seorang diri. Tentu saja, ada Kimbum yang menginginkan adik.
No comments:
Post a Comment