"Park Bogem!!"
Pria ini melebarkan matanya. Sedetik kemudian mencicit tidak percaya. Entah bagian itu adalah takdir atau hanya sekedar trik dari sang bola mata, Bogem mengumpat menyadari Tuhan sekali lagi mempermainkannya.
Hujan yang semula hanya rintikan kecil, perlahan berubah menjadi curahan air yang lebat. Bogem menarik malas tubuhnya dari atas ranjang, lantas mengalihkan pandangannya pada daun pintu yang terbuka. Di sana, detak jam tidak lagi terdengar. Gemuruh curahan air juga mendadak mendengung menghunus si gendang telinga. Hingga tidak ada suara apapun setelah jeritan kemarahan, selain lensa mata yang memerah memperhatikan tikaman kejam.
"Kim So Eun."
Tapi bukan itu fokus utama lensanya. Melainkan sosok yang berdiri tepat di balik punggung wanita mungil itu, yang kini juga tengah menatapnya dengan pandangan yang,— sulit dijabarkan. Sepertinya setan kecil baru saja merangkai kebohongan kepada sang ayah, yang juga tentu saja mengancam keselamatannya.
Lima menit yang lalu nada masih melontarkan kisah usang. Hanya berganti detik, kini tawa juga air mata yang sempat mewarnai berubah menjadi deru nafas kekesalan. Amarah yang bergelung di kepala terlihat seperti kepulan asap dalam cerita anak-anak. Salah jika ada yang mengatakan mustahil sesuatu akan terjadi jika tidak sesuai dengan logika. Nyatanya, tepat beberapa centimeter di depan sana asap itu bagaikan rebusan ubi di atas panci.
"Ah, hai, Soeun. Kalian sudah tiba? Sejak kapan? Seharusnya nikmati sup di meja makan."
Tersenyum kikuk, Bogem memandang polos ke depan. Berpura-pura dungu, dan menjadi tuan rumah yang baik. Ia mungkin terlihat sinting, namun itu lebih baik dibanding mengatakan maaf, yang pada akhirnya, dan akan sangat pasti berakhir dengan kemurkaan. Makhluk hidup dengan lensa mematikan itu tidak bisa diajak bernegosiasi untuk hal-hal yang sensitif.
"Sialan!! Apa kau mencoba merusak otak putriku? Seingatku aku memintamu menjaganya, bukan merangkai cerita terkutuk!!"
Sayangnya, waktu tertawa di sela-sela bisikan angin. Jeritan yang mendera telinga terasa begitu menyakitkan.
Bogem memejamkan mata demi meminimalisir dengung sialan. Bibir bajingan!! Sepertinya kehilangan pita suara bagus untuk pria itu. Suaranya bahkan serupa dengan raungan singa di huta.
Bogem benar-benar menyesal mendekati sarang penyamun berusia sembilan tahun. Harusnya ia memilih menjalankan perintah istrinya untuk mengganti popok Luna, dan ingat jika Honey memiliki tabiat yang buruk, persis seperti ibunya.
"Bukan begitu, aku hanya sedang membuat dongeng. Honey sulit tidur. Ku rasa itu tidak terlalu buruk."
Memandang sang tokoh utama, Bogem beranjak kecil menjauhi ranjang. Berdiri bersisian pada lemari putih yang menjulang. Bersiap-siap jika saja iblis berwajah malaikat itu menyemburkan serangan mematikan. Tangan pria itu boleh saja memangku darah dagingnya yang menyebalkan, yang kini dengan kurang ajarnya tertawa sembari memeluk leher ayahnya; namun sebelah saja cukup untuk melemparkan vas bunga di atas nakas.
"Dongeng? Stupid!! Gadis mana yang akan percaya pada tipuanmu!! Ayah bodoh!! Luna akan menyesal memiliki ayah sepertimu!!"
"Yaa!! Kenapa kau membawa-bawa putriku?! Lagi pula Honey yang memaksaku untuk bicara!!"
Oh Tuhan, selamatkan dirinya. Bogem berjengit kesal, ketika jeritan makian menghantam tepat di gemuruh jantung. Membuat rasa takut menyergap si pikiran. Sialan!! Pria itu tidak berubah ketika marah. Selalu saja berteriak-teriak layaknya orang hutan.
Bogem yakin saat ini Jiso pasti sedang tertawa bahagia di bawah sana. Wanita kecil itu pasti sengaja tidak berteriak ketika tamu sialan dihadapannya ini muncul. Soeun dan Jiso memang tidak jauh berbeda. Kedua wanita itu memang perusak hati yang sangat menyebalkan. Terlebih untuk saat ini. Bogem mengumpat di dalam hati mana kala Soeun hanya memangku tangan angkuh, dan sama sekali tidak terlihat berniat menyelamatkannya.
"Kau mengalah pada anak kecil? Potong saja penis sialanmu itu!"
Apa?
Kalimat macam apa itu?
Bogem mendesis tidak terima.
"Bicara pada putrimu, bukan padaku!!"
Yang benar saja!! Memang bicara itu salah? Lagi pula gadis kecil itu yang memaksanya, bukan dirinya yang berkhianat. Warna pada memori akan tetap sama. Tiak akan ada yang berubah. Mungkin cerita menciptakan kesan buruk yang salah, namun logika tidak akan meninggalkan kesan pecundang bukan? Jadi apa yang harus ditakutkan? Kenyataan bahkan ia masih berdiri dengan pongah dan menyebalkan.
"Kalian seperti bocah. Lagipula oppa, kenapa kau menceritakan hal buruk padanya. Kau membuat putriku bersedih. Ia selalu sulit tidur, kau tahu??"
Bogem menarik nafasnya. Mengabaikan tikaman lensa yang diarahkan sang sahabat, kemudian duduk di atas ranjang.
"Maaf, aku hanya—, mengulang kisah."
Mengulang cerita menyedihkan yang selalu berhasil membuatnya menjadi pecundang. Bogem menatap lantai hambar. Mengabaikan Soeun yang menghela nafas lelah. Air mata sialan selalu jatuh tiap kali si otak berhasil merangkainya. Gelap melemparkan mimpi buruk dalam penyesalan. Seberapa jauh pun kaki itu berlari, ia tetap saja berhenti di tempat yang sama.
"Gunakan otakmu lebih bijak!! Jangan menggunakan namaku bodoh!!"
Namun sekali lagi, air mata tertahan di balik pelupuk. Bogem mengerang kesal.
"Kau yang bodoh!!" balasnya cepat. Sedetik kemudian menggingit bibirnya keras. Menyesal. Lensa yang meredup menyambar kesadarannya. Bodoh!! Udara yang lembab membuat otaknya menjadi lebih dungu dari pada seekor keledai.
Untuk beberapa detik keduanya bungkam. Membiarkan angin menciptakan bisik-bisik tersendiri. Soeun tidak terlihat. Mungkin wanita itu mencari seteko teh, setelah sebelumnya meraih Honey dari dekapan sang ayah. Tapi itu lebih baik. Bogem tersenyum kecil. Langkah kaki yang terseret paksa memaksa lensanya ikut bergerak. Awan jauh lebih gelap dari satu jam yang lalu. Hujan juga sepertinya enggan untuk mengalah.
"Maaf,"
Satu kata itu, Bogem tidak mengerti apa maksudnya. Pria itu memutar tubuhnya. Mengikis langkah, kemudian duduk di tepi ranjang, tepat di sisinya. Aroma kekuasan jelas menyebar dari lensa yang memicing. Namun entah mengapa, Bogem merasa hangat. Hingga tanpa sadar air mata itu jatuh, dan jemari menjulur. Mendekap erat tubuh kekar yang begitu dirindukannya.
"Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu Bum-ah. Maaf."
Dulu, tidak pernah ia bayangkan mampu bernafas lebih baik. Ketika peluru menembus lapisan perut, waktu mengatakan batas akhir sang nafas. Ia menjerit dalam kegelapan. Menyalahkan sosok tak terlihat atas segala takdir yang terjadi. Bogem membenci si pemilik dunia. Membenci tutur yang menghancurkan rasa. Membenci kisah di balik masa lalu. Membenci para petugas yang menyatakan kematian.
Pria itu pergi meninggalkannya. Bogem benci kalimat itu. Ia tidak bisa menerima kenyataan. Ia menerjang pintu terkatup. Memaki seluruh manusia yang tidak becus menyelamatkan sahabatnya. Memukul dokter membabi buta, hingga para pengaman melemparkannya ke jalanan. Kehancuran itu membuatnya ingin mati saat itu juga. Hingga, Siwon menariknya. Membawanya masuk ke dalam ruang redup yang sunyi.
Adakah sakit yang melebihi tekanan batin? Tidak ada!!
Saat itu hanya menangis sakit yang bisa bibir itu lakukan. Tubuh rapuh Soeun. Hingga detik ini Bogem takut mengingatnya. Selang-selang yang mengelilingi, bunyi sialan yang memekakkan, itu yang pertama, dan terakhir baginya. Namun, jeritan bayi kecil mengalihkannya. Memaksanya membuka mata jika semua belum berakhir.
Kim Rebeca Honey, itu nama yang Kimbum berikan, satu bulan sebelum kejadian terkutuk itu.
Jauh sebelum bibir merangkai kebohongan, Kimbum mengatakan padanya, jika suatu saat ia tidak bisa melakukannya, maka dirinya yang harus melakukan itu. Bukankah pria itu jahat? Saat itu Soeun mengalami operasi besar seorang diri. Berjuang diambang kehancuran dan kematian. Melahirkan gadis kecil itu tanpa mengetahui maut sudah merenggut kekasih hatinya.
Kim Rebeca Honey.
"Rebeca kesayangan Kimbum."
Tapi bahkan pria sinting itu membiarkan putrinya lahir tanpa dirinya. Kimbum bodoh. Bogem ingin mengatakan itu, namun tidak bisa. Yang bisa ia lakukan hanya menangis. Memohon ampun pada bayi kecil yang bahkan hanya mampu bermain mata. Nada tangisan menjadi penghancur benteng pertahanan. Kesalahannya, menutup hati, hingga sahabatnya merenggang nyawa. Cinta membuatnya menjadi pecundang menjijikkan. Soeun menjadi mayat hidup, dan Kimbum menjadi mayat seutuhnya.
Hari itu Bogem menjadi sialan yang tidak pantas hidup. Berteriak sekalipun tidak menciptakan kejaiban, kecuali rasa marah. Namun jeritan haus malaikat kecil itu menciptakan kisah baru. Ia membangunkan sang ayah dari tidur lelapnya. Kim Rebeca Honey, Bogem mencintainya begitu dalam.
Soeun koma selama musim semi. Meninggalkan kesedihan mendalam, namun Honey menciptakan kepercayaan. Bayi kecil itu aktif menangis, seolah meminta sang ayah untuk memeluknya. Meski pada akhirnya hanya detak jantung yang menjawab. Salah jika ada yang mengatakan menunggu itu membosankan. Karena saat itu ia tidak jenuh. Bogem tidak lelah.
Ia percaya, jika saatnya tiba, pria itu akan kembali bangun. Bangun, dan kembali mengusik kehidupannya. Seperti waktu yang silam, ketika persahabatan belum terusik cinta yang salah.
Dan setelah waktu yang panjang, di akhir kisah, mata itu terbuka. Natal kedua sang batita kecil membuat Soeun menangis, setelah satu setengah tahun bungkam layaknya wanita bisu. Tuhan menciptakan nada baru dalam perjalanan hidup si gadis kecil. Meski harga yang mereka bayar begitu mahal. Dimana pria itu menjadi manusia yang baru. Kimbum melupakan segalanya. Melupakan dirinya. Melupakan kisah kejamnya.
Nyatanya, kesadaran itu membuat satu perubahan. Menyisakan satu ingatan.
Kim So Eun.

.
.
.
Tamat
🍁🍁
Finish. Janjiku sudah aku penuhi ya. Aku harap kalian semua bahagia. Meski pada akhirnya jalan cerita ini ke mana-mana. 😂😂
Untuk part awal belum bisa aku publish. Kalian yang mau baca bisa mampir di web pribadi aku, karena yang di sana belum aku hapus.
Maaf jika tersebar typo di sana-sini. Dan jika kalian bertemu, abaikan saja hahaha
Aku juga mau berterimakasih kepada kalian semua atas respon yang luar biasa. Cerita ini, aku nggak pernah menyangka akan banyak peminatnya. Bahkan komentar kalian bisa tembus di atas 50. Itu benar-benar luar biasa.
Aku cinta kalian, dan terimakasih untuk setiap support yang kalian berikan.
Hug from me mates.
Bye bye...
Sampai bertemu di karya lainnya.
Tertanda,
Istri sah Minhyuk
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKenapa benci banget sama kimbum??
ReplyDelete