Search This Blog

Friday, May 1, 2020

Conqeror Chocolate 71 END

 










🍂🍂

Siapa yang mampu menerjemahkan kalimat Aku menyerah? Siapa yang mampu menggetarkan hati yang telah mati? Siapa yang mampu menghapus ingatan kelam dalam detik? 

Hanya dia bukan? Hanya dia. Pria yang dengan kejamnya membuangnya. Meninggalkannya dan memperlakukannya layaknya benda menjijikkan. Harusnya wanita ini marah. Harusnya belati menancap pada hati untuk menenangkan gemuruh emosi. Tapi ia tidak bisa. Wanita ini menangis semakin keras. Membiarkan pelupuk mata membesar mengurangi jarak pandang.  Dada di balik katun membiru akibat pukulan tangan, namun denyut dalam jantung jauh lebih menyakitkan.  

Tidak pernah wanita ini bayangkan jika seseorang yang ingin di benci justru begitu menyayanginya. Melakukan berbagai cara hanya untuk melindunginya. Bukankah ia bodoh? Ia bahkan tidak dapat merasakan ketulusan ayahnya sendiri. Soeun mengangkat kepalanya memandang Minjae. Pria itu, demi Tuhan Soeun ingin memeluknya. Soeun ingin mengatakan maaf, maaf, dan maaf, tapi kaki sialan itu mendadak tidak bisa dibiarkan. Dan bibirnya mengisak lebih keras ketika menyadari Minjae mencoba mendekat. 

"Dia bukan putrimu!!"

"Ayah!!"

Wanita itu tidak tahu bagaimana sakitnya bersisian namun tidak mampu meyentuh. Soeun menahan napasnya ketika pelatuk di tarik paksa. Mata itu menatapnya, tetapi wanita itu mendorong tubuh yang tidak berdaya. 

Menjerit keras, Soeun bangkit dan berlari. Namun sekali lagi, lengkingan menghentikan gerakan tubuhnya.  Jantung yang berdetak kuat tidak menimbulkan satu senyuman. Erangan, makian, hinaa, mungkin hanya kata lelah yang mampu memahaminya. Hanni, wanita itu benar-benar menghancurkan hidupnya.  Jauh kaki itu melangkah mengikuti alur hidup yang tidak tertebak. Jatuh bangkit, jatuh kembali, menangis, lalu bangkit kembali. Terus seperti itu. Hingga tapak kaki menjadi kebal, lutut mati rasa, dan jiwa menandai kosong. Meninggalkan kewarasan yang hanya terbalut luka dan dendam. Dan pada hari akhir menjadi pembalasan dari segala rasa sakit. 

"Jangan bergerak Soeun!! Atau janinmu akan menyusul kakeknya." 

Wanita sialan!! Soeun memeluk perutnya erat. Tidak. Jangan bayinya. Kenapa wanita itu begitu jahat? Hanni tidak pantas hidup. Tapi ayahnya? Apa yang harus ia lakukan?? Pria itu mengerang tertahan di atas lantai. Darah menjadi pemandangan menyakitkan. Mati-matian Soeun berusaha tegar. Namun dia kalah. Tubuh itu luruh ketika Minjae mengangkat kepalanya. Sekeji apapun masa lalu, Minjae tidak pernah menyakiti fisiknya. Hati, itu hanya masa lalu. Soeun ingin memulai semua dari awal. 

"Jika kekeras-kepalaanmu tidak bekerja, peluru itu tidak akan menembus ulu hatimu. Kau bodoh Minjae!!"

Minjae tersenyum kecil. "Aku memang bodoh. Tidak seharusnya aku menyakiti putriku." lirih, namun kalimat itu sukses membuat Soeun kembali menangis. 

Wanita ini merangkak, mencoba mendekati sang ayah.

"Brengsek!!"

"Cukup!! Ku mohon cukup!! Bunuh aku! Jika kau membenciku bunuh aku!!" 

Ibu, Soeun ingin mengatakan itu.  Namun hujan seolah menolaknya. Memeluk erat kaki Hanni, yang bisa Soeun lakukan hanya menghalangi gerakan wanita itu, yang mencoba kembali melepaskan tembakan. Rumah itu sepi. Tidak terdengar suara apapun, dan Soeun yakin Hanni sudah merencanakannya sejak awal. 

Sementara Minjae terlihat sulit bernapas. Jika memang harus mati, maka Soeun siap. Asal sang ayah bertahan. Soeun tidak ingin kembali kehilangan orang-orang yang dicintainya. 

"Ya, ya, ya. Kau benar. Kaulah akar dari segala kebencianku. Kau putri yang lahir dari sebuah pernikahan suci. Tidak seperti Joonku!!" 

Hanni menendang kasar tangan Soeun, dan menatap Soeun benci. Kemudian melangkah mendekati lemari di sisi kiri, lantas mengusap pigura putra kecilnya. Setetes air mata jatuh ketika ia mengingat kembali bagaimana tampannya Joon. Pria dengan kasih sayang itu, Hanni sangat mencintainya.  Tapi sekali lagi Tuhan merebutnya.  Membuatnya hidup seorang diri dalam luka. Hanni benci takdir, tapi ia lebih membenci Soeun. 

"Joon." 

Tertawa sinis, Hanni melempar kasar pigura, hingga membentur tembok. "Joonku, dia akan menjadi besar. Dia akan membuatku bahagia. Tapi kau membunuhnya!! Kau pembunuh Kim  So Eun!!"

"Bum-ah."

Takdir bukan permainan manusia. Percaya atau tidak, sandiwara mencipatakan luka yang menyakitkan. Ketika lengkingan kembali membela udara, saat itulah sesuatu menjadi tidak lagi sama. Tuhan menentukan jalan cerita yang berbeda. Wanita yang angkuh terbelalak tidak percaya; meronta ketika di tarik paksa keluar.  Dan wanita yang lemah terdiam seribu bahasa. Hanya air mata yang tetap bergerak.  Seolah jejak air mampu menghentikan waktu sekejap saja. Pikiran-pikiran tidak lagi berguna. Logika itu secara spontan menjadi kosong. Hingga membuat sang bibir tidak lagi bisa bicara, kecuali sang mata yang memandang takut pada darah di telapak tangan.

"Aku menemukanmu sayang. Aku tidak terlambat bukan?" 

Hingga suara itu muncul. Suara yang ia rindukan setengah mati. Pelukan erat yang menyelimuti tubuhnya menyadarkan Soeun jika ia tidak sedang bermimpi. Semuanya nyata. Petir yang menggelegar menjadi bukti jika kematian begitu dekat. Soeun menangis keras. Ia tidak tahu dari mana datangnya malaikat ini. Soeun tidak memanggilnya saat ini, tapi mengapa? Kenapa ia harus muncul dan melindungi? Kenapa tidak biarakan saja ia yang pergi. 

"Aku merindukanmu sayang. Maafkan aku."


"Tidak,"

Tidak. Kimbum salah. Ia yang lebih merindu. Hingga jantung sialan itu selalu berdetak sakit setiap waktu.  Ia yang bodoh karena tidak menyadari apapun. Ia yang lemah tidak bisa melakukan apapun. Begitu banyak waktu yang Tuhan sediakan. Minjae berusaha menyelamatkannya, tapi Soeun justru memakinya.  

Apalagi yang bisa Soeun lakukan? Ia yang seharusnya mati. Bukan Kimbum atau Minjae. Mengapa Hanni begitu kejam? Pria itu tidak bersalah. Sama seperti ayahnya, Kimbum bukan penghianat. Hanni yang bajingan. Wanita sialan itu, Soeun membencinya. 

"Aku tidak membencimu oppa." Bahkan tidak pernah sanggup.  

"Bangun. Ku mohon." 

Memukul punggung Kimbum, Soeun meraung lebih keras. Tidak perduli kehadiran Siwon, jeritan Siwon, tarikan Siwon, isakan Jhin Ae, Soeun hanya ingin Kimbum kembali bicara. Meski hanya satu kali. Meski hanya satu kata. Setidaknya tidak diam. Karena Soeun benar-benar takut. 

"Kimbun buka matamu!!" 

"Kau sudah berjanji akan menjaganya bukan?! Kim Sang Bum bangun!!"

Kejam.

Tuhan jauh lebih kejam.  Telinga itu berdengung ketika Siwon menjerit.  Soeun menutup matanya erat. Membiarkan tubuhnya masuk dalam dekapan sang kakak. Dan selanjutnya hanya diam yang bisa ia lakukan. Ia benar-benar kalah.  

Tubuh ringkih itu meluruh ketika raungan Jhin Ae memukul gendang telinganya. Hanya sebatas inikah. Apa pria itu menyerah? Tidak bisakah Soeun menyampaikan jika ia mencintai Kimbum selamanya? 

Aku mencintaimu...

Entah siapapun yang mengucapkan kalimat itu, mereka tahu jika cinta itu abadi. Tidak perduli jarak dan waktu yang memisahkan, jika benar cinta itu ada, maka mereka akan selalu bersama. Pertikaian dalam hubungan adalah hal biasa yang sering terjadi. Namun cara seseorang dalam menghadapinya, itu yang menjadi poin utama. Kepercayaan dan kasih, cukup dengan itu maka semua masalah akan terselesaikan. 

Selama ini orang-orang hanya bisa bicara tanpa bisa memahami. Permasalahan tidak datang dari sebelah pihak. Karena mereka sepasang. Ketika salah satu mengatakan ya, dan satu megatakan tidak, mana yang harus di dengar? Jawabannya tidak ada!! Karena mereka egois. Hanya mementingkan diri sendiri bukan keduanya. 

Karena mencintai itu bukan pilihan.  Cinta itu adalah luka yang tertunda. Jadi jika seseorang siap jatuh cinta, ia juga harus siap untuk terluka. 

.
.
.
.
.

END

Tertanda,

Istri sah Kim Myungsoo

2 comments:

  1. Halleluyah mati juga si babi kim bum. Semoga di real life pun gitu:v

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jika tidak bisa berkomentar yang sopan, lebih baik jangan mengotori akun saya!

      Delete