Aku berusaha mati-matian manahan pilu.
Dan itulah sebabnya aku berhenti berlari.
Masa depan adalah milikku dan itu bukan aibmu. Karena pada akhirnya, tawamu adalah tujuanku.
- Kim So Eun
.
.
.
Jika ada yang mengatakan maaf adalah jalan keluar, itu adalah salah. Sesempurna apapun diam, bahkan bukanlah titik pertemuan antara si luka dan perih. Ada lebih banyak kalimat yang mampu dibandingkan, meski kenyataan akal dan logika berpihak pada dendam dan ketidaksukaan. Pikiran mungkin memiliki hak untuk menciptakan kesan dari kemurkaan. Namun ia juga paham bahwa tidak selamanya kenyamanan akan memberikan tempat teraman dibanding dekapan seorang ibu.
Ini seperti pola abstrak kehidupan. Layakmya labirin, berkelok-kelok hingga dalam satu hari yang bergelung, Tuhan menghancurkan angan yang dibangun sang logika. Membiarkan si hati menjerit pilu seorang diri; teredam benci yang menyelimuti si kata baik-baik saja. Tidak meninggalkan anggapan dan sosok menjadi mereka dalam jejak masa lalu.
Siapa sebenarnya yang memiliki cerita tidak berujung? Mengapa hanya satu orang saja? Dan mengapa harus dirinya? Bukankah Tuhan memiliki lebih dari satu umat??
Air mata boleh mengikis jarak antara masa lalu dan kenangan, tapi bibir menciptakan gerak. Membuktikan isak menjadi jalan terakhir untuk menyembuhkan luka. Ini menjadi yang terakhir. Lelah yang pundak itu pikul terjerembab dalam kungkungan kebencian yang mendalam. Malam itu adalah saksi, bahwa kemarin adalah hari pertama dari dimulainya cerita lama.
Soeun membuka katupan matanya. Menatap kosong celah jendela; hal pertama yang ia sadari ialah ia kembali sendiri. Sebulir air mata jatuh ketika hati itu kembali menggumamkan satu kata. Kimbum. Wanita ini merindukannya hingga sesak sialan itu membuatnya ingin mati. Dunia nyatanya begitu kejam, menghukumnya lebih dari menyisakan takut dalam penyesalan.
Kimbum pernah mengatakan jika pergi adalah kematian, tapi semua tidak lebih dari kata-kata pecundang. Wanita kecil ini membencinya. Mengutuk setiap ingatan di masa lampau. Satu kali ketika sang otak mengingat semua kata-kata laknat, Soeun ingin murka dan membunuhnya. Tapi hati sialan itu bertahan untuk mencintai. Duka yang ditorehkan sebanyak apapun hanya seperti hempasan hambar yang mudah tertelan rintik hujan.
Apakah diri itu memang begitu berdosa? Coba katakan yang sesungguhnya. Ia hanya ingin memeluk sang ayah, namun sosok gagah yang diharapkan justru kembali meninggalkan. Semu. Hujan itu kembali terdengar. Meninggalkan gema tawa cemooh para makhluk tak kasat mata. Membuat Soeun takut. Setelah sekian lama, gelap semakin mengukungnya dalam kesendirian. Wanita ini benci sepi. Soeun benci sendiri. Apa tidak bisa Tuhan mengirimkan Kimbum untuknya?
Dulu, nada menyandingkan pilu bersama titik di kejauhan. Minjae mengatakan padanya, sendiri itu adalah tujuan hidupnya. Hanna tidak pernah terlihat; Soeun membiarkan si hati meringkuk sendiri di dalam penyesalan. Menikmati setiap makian ataupun hujatan. Hidup mengajarkannya untuk menatap kenyataan, karena lari bukan jalan untuk bersembunyi.
"Apa kau akan terus bungkam? Rumah ini kotor dan kau bukan seorang ratu!!"
Alunan itu kembali menyadarkan atensinya. Soeun berpaling menatap Hanna. Memancarkan sendu lewat sang manik mata. Mengapa wanita itu begitu membencinya? Seolah-olah kelayakan tak terlihat di pahatan wajah. Jika memang sejak awal Hanna tidak menginginkan kehadiran, kenapa harus mempertahankan hingga ia lahir? Apa sebenarnya kesalahannya di masa lalu? Apa karena Joon? Tapi sejak dulu mereka memang membenci dirinya.
Hujan masih menjadi musik kehilangan. Derap langkah lain yang mendekat membuat rasa takut berkali-kali lipat menyentak gerak jantung di dalam sana. Wanita kecil ini mengedarkan pandangannya demi menghindari tatapan intimidasi sang ibu, tapi sialnya itu membuat Soeun justru menangkap keberadannya. Pria jahat yang sudah memisahkannya dari cintanya. Memejamkan matanya sesaat, Soeun berusaha menikmati aroma mint yang selalu dirindukan sang pernapasan.
"Soeun, kembali ke atas!! Berhenti bersikap sinting karena Kimbum menghamili putriku!!"
Dan gema suara lainnya tidak akan pernah jauh berbeda. Pria itu benar. Hanya Gyuri putrinya. Soeun memejamkan matanya lebih erat. Mengabaikan sosok yang berdiri angkuh tepat di hadapan meja persegi. Perih itu kembali menjalar hingga ke tulang punggung. Membuat jantung merasa sakit yang menusuk. Apa bayi itu merasakannya??? Sakit yang menikam hingga tubuh terasa berdarah tanpa terlihat?
Kaki itu terlalu sulit digerakkan. Ribuan bisik hinggap memintanya untuk tetap bertahan dan mengatakan bahwa ia juga membutuhkan pria itu. Membutuhkan si berengsek yang telah menghancurkan seluruh hatinya. Bagaimana bisa Soeun kehilangan dirinya, sementara hati itu terpatri pada tubuhnya. Soeun mempercayainya, hingga tidak mampu untuk mengelak.
Ratusan hari yang ia lewati memberi dampak bodoh pada si hati dan pikiran. Satu kali saja pria itu menyebut nama dengan nada menyentuh langit-langit, maka seluruh persendian mengilu memaksa tubuh untuk menyerah pada marmer yang dingin.
"Apa pendengaranmu terganggu? Kim So Eun!!"
Kim So Eun??
Tulikah ia?
Soeun bergeming. Rasa takut itu ada, dibayangi kehancuran yang menenggelamkan si rasa hormat. Pria itu ayahnya. Ayah yang tetap Soeun banggakan, meski detik menghanguskan kenangan akan kebersamaan. Namun sebanyak apapun ia menolak, wanita ini masih menginginkan hal yang sama.
"Ayah, seseorang akan membawanya, jika aku menjadi dirimu. Tolong, satu kali saja,— aku ingin Kimbum, ayah."
Hanya Kimbum. Sejauh apapun kakinya berlari, Soeun hanya ingin Kimbum berada di sisinya. Kembali pada posisi yang seharusnya. Membuktikan jika cinta terakhir jauh lebih berarti. Karena hati itu begitu sakit ketika nada melepaskan sang jemari dari tautan. Bibir itu begitu laknat mengucapkan kalimat perpisahan yang buruk. Pria itu bahkan masih menatap dalam kesedihan, lalu apa makna dari sebuah kehilangan?
Satu hari sama seperti satu tahun. Ukiran raut wajah lelah itu membayangi lelah dalam mimpi yang mengalirkan peluh. Soeun rindu, hingga ketika wajah itu terbayang oleh si ingatan, ia benar-benar ingin mati rasanya. Sepakan-sepakan kecil di dalam sana seolah meminta sang ayah untuk datang merengkuhnya. Bukan hanya Soeun, tapi janin itu benci ketika si kaki menjauh tanpa memberontak. Mungkin pria tua itu ayahnya, tapi waktu membuangnya dalam kesendirian.
"Brengsek!!"
"Dari seluruh keinginan, kau hanya bicara seolah bajingan itu Tuhan bagimu!! Tidak ada yang layak mewujudkan mimpi sialanmu!!"
Sialan? Bajingan? Pantaskah pria itu mengatakannya? Soeun membuka matanya. Menatap lensa tua itu dengan perasaan terluka. Jika Kimbum bajingan, lalu apakah pria itu? Seseorang yang membuang anaknya hanya karena kesalahan yang tidak dilakukan secara sengaja.
Apa pria itu begitu suci hingga mengatakan Kimbum bajingan? Sementara pria itu merawatnya dengan begitu tulus. Sekalipun Kimbum berkhianat, setidaknya sejak awal pria itu sudah mengatakan jika ia akan terluka. Soeun hanya terlalu naif. Berpikir ia mampu mengalihkan dunia itu ke dalam dunianya. memaksa Kimbum lari ke dalam harapan yang dibangun tanpa perduli apakah hati itu menderita. Ia yang bodoh. Dirinya lah yang begitu egois, dan Kimbum pantas mencari cintanya.
"Apa kau pernah merasakan sakitku? Dia mengambil putriku tanpa memintanya padaku, kemudian menghianatinya begitu saja, kau pikir bagaimana persaanku?!!! Dia putriku!! Putri tunggal kesayanganku!!!"
Lalu bagaimana dengan perasaannya? Hatinya? Apa ia sama sekali tidak terlihat?
"Tapi Kimbum tidak melakukannya ayah!! Kimbum tidak melakukan itu!!"
Katakanlah ia dungu, tapi Soeun tidak mampu mempercayai setiap perkataan Minjae. Ia mungkin sinting tapi pria itu benar-benar menyita seluruh kepercayaannya.
Soeun tahu Gyuri hamil, tapi tidak pernah terlintas dipikirannya jika suami yang begitu ia banggakan adalah ayah dari anak yang wanita itu kandung. Soeun ingat segalanya. Ia memiliki ribuan waktu bersama Gyuri, dan wanita itu merebut semua tempat terbaiknya. Ingatan masa dimana Soeun berjanji akan mengembalikan Kimbum pada cinta pertamanya menyisakan tawa dalam detak irama. Tidak jika itu Gyuri!! Karena wanita itu memiliki semua yang harusnya Soeun miliki
Kimbum hal terakhir yang ia miliki, dan Soeun tidak akan menyerahkan hatinya pada wanita yang bahkan tidak pernah memikirkan kisah hidupnya. Gyuri hidup dalam gelimangan harta dan kasih sayang tanpa melihatnya berada di sudut kegelapan. Meninggalkannya seorang diri, seolah tempat terkutuk pantas menenggelamkan seorang pembunuh. Tidak menariknya layaknya Joon yang menemani tanpa air dan roti. Namun Kimbum berada di tempat Joon. Pria itu berdiri memasang tubuh sebagai perisai dari kehancuran. Menggantikan isakan menjadi tawa yang indah.
Jika pun harus berpisah kenapa tidak membiarkan waktu yang bertindak. Hanya beberapa saat; biarkan janin itu bersama ayahnya. Jika memang Gyuri jodoh yang Tuhan tetapkan bagi suaminya, setidaknya biarkan anaknya berada di keluarganya. Soeun tidak bisa membiarkan anaknya hidup seorang diri. Berada dalam kesunyian adalah siksa tanpa akhir.
Belasan tahun Soeun merasakan bagaimana sakitnya hidup dalam ketidakberdayaan tanpa cinta dan kasih sayang. Dan ia akan menanggung duka hingga dalam lubang kematian jika membiarkan anaknya hidup bersama keluarga iblis yang tidak memiliki hati.
Biar saja orang-orang mengatakannya si gadis tercela, atau wanita durhaka, karena kenyataannya si hati telah berduka sejak kaki menapaki salju bersama lukisan mata redup. Masa lalu itu Soeun yang jalani. Manusia di luaran sana bisa menciptakan cerita imaginer, tapi seseorang tidak bisa mencipatakan kenangan pahit yang sebenarnya.
"Tahu apa kau?! Sialan!! Bahkan Gyuri adalah cinta pertamanya!!"
Bahkan jika itu ayahnya sendiri. Manusia tetaplah manusia. Daya khayal yang mereka miliki tidak sebesar biji kecambah. Pola pikir itu tidak lebih dari keidiotan manusia hina. Soeun tidak akan pernah mampu menyela hina untuk menghancurkan bibir tidak bertulang.
"Kenapa diam? Kau tidak mampu mengelak?! Jalang sialan!!"
Jalang? Benar.
Soeun menarik nafasnya dalam-dalam. Membiarkan si lensa menatap sendu manik kejam di sudut sana. Iblis tidak akan pernah berubah menjadi malaikat, lalu untuk apa ia bicara. Sebanyak apapun ia melontarkan kata, pria itu nyatanya akan semakin menyerang pertahanannya. Tidak, untuk saat ini Soeun akan mengalah. Soeun tidak ingin pertengkaran itu merusak pikirannya. Karena bayi itu akan terluka jika ia bersikeras menantang lisan sang ayah.
"Pergi dari sini!! Aku tidak suka melihat wajahmu."
Minjae, benarkah pria itu ayahnya? Soeun menundukkan wajahnya. Bahkan ia lebih dari muak untuk sekedar menatap lensa yang menjijikkan. Manik itu tidak lagi menariknya untuk menangis. Kedengkian yang Minjae ciptakan membuat Soeun membenci pria berwajah tampan itu. Sebutan ayah tidak lagi terasa indah di telinga.
"Setelah bayi itu lahir, kau akan menikahi pria pilihanku."
"Kau tidak bisa melakukan itu ayah!! Aku mencintai Kimbum, dan hanya Kimbum suamiku!!"
Apa di dunia ini semua ayah memang biadap? Apa Minjae memang sudah kehilangan kemanusiaannya? Soeun menerjang tubuh renta pria tua itu. Memukulnya keras, mengabaikan fakta ia bisa saja melukai janinnya karena gesekan perut yang menonjol. Hati itu kini benar-benar berduka. Minjae keterlaluan!! Apa belum cukup sakit yang ia terima? Haruskah menambah luka baru?
"Diam!! Jangan sebut nama bajingan itu di hadapanku, atau aku pastikan kau tidak akan bertemu bayimu!!"
Kenapa? Kenapa tidak tikamkan belati pada jantungnya?! Mati lebih baik dibanding menanggung luka seorang diri. Menikah lagi, bahkan ia tidak sudi mengenal pria lain. Hujan bersahutan pada isakan yang tertahan. Soeun menahan tubuhnya pada sudut meja ketika Minjae mendorongnya kasar.
"Pergi!!"
Ingin. Soeun ingin pergi ke dunia lain yang tidak ada Minjae di dalamnya. Tapi ia butuh Kimbum, sebentar saja. Soeun membutuhkan tubuh kekar itu untuk menghilangkan luka di hatinya.
"Kenapa kau lakukan ini padaku? Apa kau benar-benar tidak mencintaiku ayah?"
Sejak ia mengenal siapa itu ayah, pria itu tidak pernah memanggil namanya dengan lembut. Setiap kali alunan terdengar, Minjae hanya akan selalu memaki wajahnya. Pria itu berusaha menunjukkan kasta bahwa ia tidak pantas berada di keluarga ini. Lalu untuk apa memisahkannya dari Kimbum??? Apakah salju memang teman kematiannya?
"Pergi Kim So Eun.
To be continue..
.
.
.
Tes, tes, tes... 1 2 3 (っ˘̩╭╮˘̩)っ
Pendek?? Iya cuma tes akun doang.
Baru berhasil setelah hampir dua minggu bermasalah.
Jangan lupa tinggalin jejak yah. Dan juga doa supaya malam ini akun saya tidak lagi bermasalah. Soalnya bakal update hingga ending.
Udah gitu aja.
Sampe ketemu di paper berikutnya.
.
.
.
.
Tertanda,
Istri sah Oh Sehun
😂😂😂❤❤❤
Muachhh
No comments:
Post a Comment