Search This Blog

Friday, May 1, 2020

Conqeror Chocolate 69










Cinta adalah asal mula. Menjadi awal dari segala rasa. Dan akan selalu abadi di tempatnya.

.
.
.

Perjalanan waktu yang tidak berujung nyatanyamembawa raga masuk ke dalam dimensi kehancuran. Di alam yang tidak lagi berpihak, ia menetapkan pikiran. Sekalipun kelak maut menjemputnya, ia ingin orang yang di sana mendengar lagu di dalam saku. 

Dengan keterbatasan, wanita ini mengingat nada yang mengalun. Menjadikan penggalan bait sebagai ingatan di masa depan. Berharap jika raga mendapat kesempatan, maka ia tidak akan lupa.  Dan ketika pada akhirnya sang bibir ingin mengatakan selamat tinggal hari-hari, ia kembali merasa waktu telah berubah. Begitu lama, kemarin dan sebelumnya semua seperti bukan cerita di masa lalu.

Sepasang mata itu menatap datar kejauhan. Ia telah memberikan apa yang ia miliki.  Dan pada saat yang salah, hati yang terluka kembali ditikam, hingga hancur dan tak lagi berbentuk. Puing-puing yang berserakan bagai ledakan bom. Meninggalkan serpihan tajam yang sewaktu-waktu dapat melukai kulit. 

Bukankah pria itu mencintainya? Kadang-kadang ia merasa ragu. Namun apa yang ada di hatinya tidak berubah.  Wanita ini tidak ingin memiliki pikiran sedih, tapi perasaan itu pasti datang. Ketika kelak mereka menyanyikan lagu yang sama, ia berharap akan menemukan kebahagiaan yang tersembunyi. 

Hujan mungkin adalah sahabat yang Tuhan kirimkan untuk menemani sepi. Ada banyak pertentangan ketika manik membentur kepercayaan yang pudar. Sekalipun bibir itu tersenyum, hati tetap menyimpan duka di balik kebohongan. Wanita ini menghela nafasnya lelah.  Lalu memandang sendu pigura dalam kotak kayu usang. Persegi manis yang menjadi hadiah ulang tahunnya. Pita merah yang menyelebungi membuat ukiran hati tidak terlihat. Hanya pinggiran gerigi yang dapat lensa tangkap demi memperlihatkan keawetan yang terjaga.

Dua puluh tahun berlalu, benda yang tersimpan tidak sama sekali terusik. Kalung berbandul malaikat itu tetap tersimpan rapi dengan warna emas yang terjaga.  Kotak-kotak kayu menyembunyikannya dari para bajingan di luar sana. Benar apa yang dikatakan pria itu, jika kolong gelap selalu menjadi tempat persembunyian terbaik. Sepucuk surat yang terselip membuat air mata jatuh begitu saja. Soeun mengusap pipinya. Nyatanya, Joon meninggalkan kenangan indah yang tidak pernah mampu ia lupakan.

Kenapa harus Joon yang pergi? Kenapa ia harus hidup? Kenapa Tuhan tidak menjemputnya saja. Setidaknya keluarga ini tidak akan membencinya. Minjae tidak akan membuangnya.  Hanna tidak akan mengutuknya. Dan Gyuri tidak akan pernah ada.  Setidaknya dengan begitu ia tidak akan merasakan sakit ini. Meski kemungkinan bertemu Kimbum tidak ada, namun Soeun tidak akan merasakan pilu disepanjang hidupnya. Ia akan berlari di tengah padang bunga tanpa mengenakan alas kaki. Menemani Joon yang tidak pernah meninggalkannya seorang diri. Bukan di tempat ini, dimana kehadirannya tidak diharapkan. 

"Menjijikkan!! Kenapa kau masih saja hidup?! Apa kau tidak memiliki pikiran?!" 

Lelah.

Itulah yang ia rasakan.  Soeun memejamkan matanya mendengar bantingan pada pintu. Hanna memang iblis, dan ia benci mengakui wanita itu sebagai ibunya. Hari-hari berlalu begitu saja, dan di setiap detik wanita itu mencaci maki dirinya. Soeun tidak perduli apapun yang Hanna katakan. Makian yang mendera sang telinga pun tidak mempengaruhi cara berpikirnya. Hanya saja Soeun muak. Ia terkurung di ruang persegi tanpa bisa menapaki lantai. Hanna memperlakukannya layaknya seorang tahanan.  

"Mati?" 

Mengalihkan pandangannya, Soeun menatap Hanna terluka. "Maut hanya akan menjemput ketika Kimbum berada di sisiku." 

Mungkin memang benar kebencian mampu menenggelamkan rasa hormat. Rasa sakit yang membesar seiring berjalannya waktu membangun dinding-dinding kemurkaan.  Hingga membuat sosok yang penuh kelembutan dapat berpikir picik dihadapan wanita yang melahirkannya. Tidak perduli wanita yang berdiri tiga langkah darinya itu mengerang dengan marah. Air mata yang mengalir, kering bersamaan dengan pergantian rasa. Logika itu kalah oleh rasa marah. Si hati bersembunyi dan memilih diam menyaksikan perdebatan. Detik yang berdetak sesekali menjadi penonton bersama hembusan angin. 

"Jangan bermimpi Kim So Eun!! Kau akan menikah, dan akan ku pastikan kau tidak mengusik putriku!!"

"Aku tidak akan ke mana pun!! Kau atau suamimu tidak bisa memaksaku!! Apa yang sebenarnya kau inginkan?!"

Satu kali saja, tolong biarkan ia bicara. Hanya itu yang ingin ia katakan. Namun Hanna menikam sisa-sisa pertahanannya. Soeun marah. Ia benci. Hanna tidak pantas menentukan jalan hidupnya. Wanita tua itu tidak berhak merajut kisah cintanya. 

Kimbum bukan milik Gyuri, dan wanita sialan itu tidak pantas bersama suaminya. Tidak ada yang boleh mengambil posisinya. Sahee hanya miliknya. Cinta Sang Woo hanya miliknya. Tidak perduli dunia mengatakan dirinya egois, Soeun hanya ingin memeluk kebahagiaan yang memang miliknya. 

"Jalang sialan!! Sepertinya keluarga barumu mengajarkan cara bicara yang  rendahan!!"

"Mereka jauh lebih baik Hanna. Tidak meninggalkan seorang gadis di tengah salju dan rasa bersalah." 

Soeun menahan kakinya untuk tidak berdiri. Sekuat tenaga ia mengigit bibir dalamnya menahan emosi. Jangan sampai tangannya melukai bibir jalang itu. Atau seumur hidupnya ia akan menanggung rasa bersalah. Terlebih Joon begitu mencintai ibunya. Pria itu akan membenci jika mengetahuinya, dan itu adalah hukuman terberat bagi Soeun. 

Jadi biar saja Hanna berteriak sesukanya. Ia cukup diam, dan wanita itu akan pergi setelahnya. Memalingkan wajahnya menatap jendela, Soeun berusaha mengabaikan kehadiran Hanna. 

Namun secara tiba-tiba hujan turun, membuatnya gusar. Ada sesuatu yang salah. Jantungnya bergemuruh hingga darah seolah tidak mengalir ke kepala. Soeun meremas tangannya keras. Menarik selimut semakin membenamkan pundak kecilnya. Kecemasan menjebak pemikirannya sendiri. Ia fokus pada skenario terburuk. Meskipun logika mencoba menenangkan, namun itu justru memberikan efek yang berlawanan. 

"Brengsek!! Kau pikir kau berhak bicara di rumahku?!"

Coba katakan, siapa yang salah? Apakah ia memang terkutuk? 

"Lalu kenapa tidak melemparku ke jalanan?! Kenapa mengurungku seperi bangkai busuk?! Kau iblis Hanna!!"  

Soeun menerjang selimut. Membiarkan bulu tebal itu tergeletak jatuh di atas lantai. Sekali lagi, air mata meluruh menggantikan kehancurannya. Kebencian yang sempat ingin dihapus kini berbalik meminta pembalasan. Hanna keterlaluan. Jika memang tidak menginginkan, lalu untuk apa menyekapnya. Apa memang Gyuri adalah segalanya? Apa Gyuri memintanya? Kenapa para wanita itu membencinya.

"Begini caramu bicara pada ibumu? Mengaggumkan." 

Ibu? Soeun tertawa miris.

"Apa seorang ibu mampu melakukan semuanya? Menyiksa putrinya? Kau bukan ibuku!!" 

Bukan, karena Soeun tidak lagi ingin mengakui wanita itu sebagai ibunya. Sudah cukup puluhan tahun ia memendam lukanya. Kali ini tidak. Ia akan melawan mereka yang berniat menghancurkannya.  Akan Soeun buktikan ia bukan wanita yang lemah. Ia akan membawa janinnya kembali pada rumahnya dengan atau tanpa nyawanya. 

"Astaga, kau mengetahuinya sayang?"

Sementara di tempatnya berdiri, Hanna tertawa hambar. "Kau dan Hanna, aku tidak menyangka keturunan wanita iblis itu sama bodohnya." Masa lalu, jika saja ia bisa melupakannya, maka luka itu tidak akan terasa menyakitkan. 

"Hidup seperti dekat dengan kematian, namun terkurung dalam kegelapan. Kau tahu Soeun, aku lebih dulu merasakannya." 

Hembusan angin tidak lagi terasa membekukan. Jendela yang terbuka memberi akses udara untuk berganti.  Hanna melangkah menjauh. Menarik diri, menepi pada sisi bingkai kaca.  Ia tidak perduli sekalipun Soeun mati. Pernikahan yang ia rencanakan, bahkan Hanna lebih berharap Soeun tidak bernapas. Dengan begitu Gyuri akan mendapatkan keinginannya. Air mata yang suci tidak akan lagi pernah tumpah.  Putrinya itu akan bahagia, dan tidak akan merasakan apa yang ia rasakan. 

"Ada, namun tidak ada. Bernafas, tapi tidak terdengar. Yang terlihat hanya satu, namun kenyataannya mereka dua. Kau mengatakan ibumu ini iblis bukan? Tapi kau harus tahu jika semua manusia adalah iblis." 

Soeun hanya merasakan sebagian luka yang pernah ia rasakan. Ada, namun tidak ada. Terlihat, namun diabaikan. Mencintai, namun dipaksa mengalah. Sendiri? Bahkan ia tidak pernah lupa rasanya. Tuhan memang tidak adil. Dunia itu kejam. Manusia tidak ada yang sempurna. Sesuci apapun, tetap saja di dalam hati bersemayam iblis yang bisa kapan saja menjerumuskan. Mungkin hanya iman yang tidak ia miliki, dan itu bukan tujuan hidupnya. Bertahun-tahun ia bertahan. Melewati jutaan waktu hanya untuk berdiri di tempat ini. 

"Kau salah jika mengatakan aku iblis, karena kau juga iblis busuk yang menjijikkan!!"

"Sama seperti ibumu, Hanna!!"

"Tutup mulutmu Lee Hanni!!!

Apa yang tidak pernah ia pikirkan nyatanya menjadi cerita yang menyedihkan. Soeun mengatupkan bibirnya rapat. Otaknya menumpul seiring kenyataan yang terkuak. 

Minjae menatap ibunya marah. Mengepalkan tangan hingga urat-urat membiru menyembul di permukaan kulit keriputnya. Manik renta itu menajam seolah siap untuk menelan ibunya. Soeun tidak mengerti apa yang terjadi, dan mengapa pria itu begitu marah. Namun kehadiran Minjae membuat jantung itu kembali berdetak cepat. Membuat rasa yang pernah dihapus perlahan kembali seperti sedia kala. 

No comments:

Post a Comment