Search This Blog

Friday, May 1, 2020

Conqeror Chocolate 64









❤❤❤



Jika kau tahu arti air mata, maka kau akan memahami makna dari hujan saat senja. Tepat ketika air berjatuhan, semua kenangan dan luka berhamburan di atas teras hati. Bersama air hujan yang turun, luka menjatuhkan sebuah perasaan yang menjelma dalam bentuk air mata. 

Jejak-jejak hujan masih sama seperti sapuan sepi yang menyengat. Lima menit dalam ketidakpercayaan, membuat debaran jantung menyentak kelopak pupil mata. Memaksa hati menikam perih yang menjalar. Kali ini semua benar-benar berubah. Suasana hangat yang diciptakan susah payah hancur karena keegoisan. Tidak ada nada yang mengalun memisahkan rasa sakit dan ketidakberdayaan. Hujan di luar sana tetap bernyanyi dalam redaman atap tanah liat. Jejak-jejak ban kendaraan menghilang terbawa aliran air; masuk ke dalam lorong pembuangan, menuju tempat yang tidak terlihat. Sama seperti wanita itu yang menghilang meninggalkan kebisuan. 

Dalam waktu singkat semua terlihat tidak lagi sama. Tidak ada lagi tawa yang terdengar. Tidak ada lagi terlihat manik almond yang bersinar, dan tidak ada lagi si penikmat chocolate panas yang menyebalkan. 

Sang Woo menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Melupakan Sahee yang masih tidur dalam rasa marahnya. Pria ini ingin marah, namun kekuatannya hanya mampu sebatas mengusak kasar air mata yang meleleh begitu saja. Cinta itu nyatanya tidak lebih dari hujan jatuh yang tak jadi. Yang bukan membasahi, namun menggantung di atas bumi. Tidak ada satupun yang mengetahui jika pria ini ingin berjalan di bawah derasnya air hujan, agar tidak ada satu orang pun mengetahui jika ia tengah menangis saat.

Bukankah ia cengeng? Lebih tepatnya banci? Ya, tapi Sang Woo tidak akan menipu dirinya sendiri layaknya pecundang di depan sana. Sebanyak apapun hatinya mengatakan semua benar, tetap saja kehilangan Soeun adalah sebuah kesalahan. Menghancurkan Kimbum pun bukanlah jalan keluar, karena detik ini adalah kehancuran yang sebenarnya. 

Rasa sepi itu menjalar hingga ke kepala, hingga tubuh kekar itu hanya seperti jiwa tanpa hembusan nafas. Pria itu seakan sedang menyerukan sakit yang teramat dalam. Namun sebanyak apapun ia berusaha untuk bicara, tetap saja bisu mengagalkan. Ketika langkah detik menjadi pertanda, saat itulah ia merasakan kehilangan. Hingga mungkin dalam satu tiupan angin kecil, maka tubuh itu akan rubuh di atas lutut yang ringkih.

"Kenapa kau seperti ini Kimbum?! Kenapa menjadi bajingan di saat dia percaya kau akan menyelamatkannya?! Di mana nuranimu sialan?!!!" Suara itu menjadi awal mula dari isak tangis. Pria ini tidak lagi berpura-pura tuli. Bibir itu tidak lagi mampu membungkam dalam kesialan. Si mata bergerak perih melukis setiap sakit yang menjelma menjadi abu-abu vulkanik. Bertebaran menyesakkan di paru- paru. Membuat hati yang berdenyut kian meronta meminta pelepasan.

"Jadi apa kau menyetujui ini?" 

"Baiklah. Tapi kau harus menyelesaikan segalanya segera. Aku mau wanita itu mati." 

"Itu bukan hal sulit. Kau hanya harus menyerahkan semuanya padaku. Bagaimana?" 

Bukankah seharusnya semua ini benar? Tapi mengapa ia merasa membuat satu kesalahan? Di mana titik kesalahan itu? Kimbum mengepalkankan kuat tangan kanannya. Memaksa sang otak mencari jawaban yang seharusnya membuktikan jika perbuatannya benar. 

"Deal, aku setuju." 
"Mulai hari ini jalankan peranmu!!" 

Namun sekali lagi pria ini harus menyerah pada penyesalan. Pada akhirnya ingatan-ingatan itu kembali membawanya ke dalam kehancuran. Seharusnya ia menolaknya. Seharusnya Kimbum membawa Soeun ke dalam dekapamnya, bukan membiarkan Minjae merenggut istrinya dari sisinya. Kimbum meraung keras. Mengabaikan fakta jika Gyuri masih berdiri di sana. Memperhatikan kehancurannya dalam katupan bibir yang rapat.

Hingga di detik yang menunjukkan senja tiba, kedua manusia berbeda jenis kelamin itu menjadi saksi akan kehancuran sang pemain utama. Pertahanan yang dibangun sedemikian kokoh hancur berkeping-keping, bersamaan dengan jerit kepiluan yang menunjukkan duka terdalam. 

"Kimbum!! Di mana adikku? Di mana Soeun brengsek!!!" 

Bahkan hingga lengkingan itu menyapa gendang telinganya, Kimbum hanya mampu diam. Seluruh kata-kata hilang terserap bersama rasa sakit. Nyatanya ia lebih lemah dari seorang pecundang. Hanya seperti ini saja, dan ia telah kalah. 

Siwon yang baru saja menginjakkan kakinya ke dalam ruang keluarga itu segera meraih Jhin Ae. Memeluk wanita itu erat, menghentikam pukulan bertubi-tubi yang dilayangkan istrinya pada tubuh Kimbum; setelah sebelumnya memberikan sang putra pada seorang pelayan senior. 

Siwon mengabaikan dorongan demi dorongan wanita kesayangannya itu, dan menyeret Jhin Ae menjauhi Kimbum dan mendekati Sang Woo yang terduduk menengadah langit-langit palfon. Persetan dengan rasa sakit dari pukulan cakaran Jhin Ae. Semua ini bukan kesalahan Kimbum. Pria itu hanya alat yang digunakan untuk menjalankan sebuah misi. 

Misi rahasia yang mengandung hal-hal berbahaya di dalamnya. Siwon tidak perduli jika sekalipun nanti Jhin Ae akan melemparkan guci padanya. Baginya saat ini yang terpenting ialah menjalankan misi selanjutnya, sebelum menjelaskan segala sesuatu pada semua manusia yang memandangnya dengan ratusan pertanyaan di dalam kepala, termasuk Gyuri yang berdiri di dekat tangga penghubung. 

Siwon menahan tubuh Jhin Ae yang terus memberontak untuk menerjang Kimbum sekuat yang ia bisa, sembari meraih ponsel dalam saku jasnya. Kemudian menyambungkannya pada penerima lain dengan tatapan sarat akan kemarahan. Tidak perduli Kimbum masih memgabaikannya, Siwon yakin Sang Woo juga hanya akan diam, melihat pria tua itu hanya menatapnya sesaat tanpa niat untuk bicara. Jhin Ae mungkin tidak mengerti, tapi Siwon memahami apa arti dari kesakitan. Dalam diam hatinya mengutuk kejadian ini. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Kejadian tempo hari sungguh mengagalkan seluruh rencana. 

"Katakan!! Katakan di mana adikku?!" 

Sekali lagi Jhin Ae berteriak histeris. Tangisan Du yang ketakutan pun tidak diperdulikan wanita bersurai pendek itu. Seluruh perhatiannya hanya tertuju pada sang adik yang tidak terlihat, dan Gyuri dengan perut besarnya. Namun Kimbum hanya diam saja. Kebungkaman pria itu membuat hati Jhin Ae mendidih tidak terima. Kimbum sudah berjanji akan menjaga Soeun. Lalu kenapa? 

Detik masih berdetak mengiringi hujan. Jeritan dan tangisan terus beriringan dalam satu tarikan nafas. Siwon mengecup dalam pucuk kepala Jhin Ae. Meminta wanita itu untuk tenang sesaat. Ia tidak bisa bicara selama Gyuri masih berada di sekitar mereka. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat, Siwon bersumpah akan membawa kembali Soeun ke tempat ini. 

"Lepaskan aku Siwon!! Aku harus menemukan adikku!! Aku harus membawa Soeun!!" Ia tahu. Tanpa Jhin Ae mengatakannya pun Siwon tahu. Tapi Jhin Ae tidak mengerti.

"Aku mengerti sayang. Tapi ku mohon tenanglah." jawab Siwon lembut. Kemarahan Jhin Ae membuat rasa percaya dirinya perlahan menghilang. Siwon panik terlebih orang yang dipanggil tidak juga muncul. Ia ingin mengumpat, namun Jhin Ae terus menerus mendorong tubuhnya.

"Kau tidak mengerti!!! Kau sama seperti bajingan itu!! Kalian menjebak adikku!!" Air mata itu terus berjatuhan dengan deras. Siwon meringis menyadari Jhin Ae benar-benar terluka. Untuk pertama kalinya wanita itu mengucapkan kata-kata kasar padanya. Suara serak yang mengalun dari bibir manis itu membuat Siwon benar-benar merasakan perasaan bersalah.

Duka berkali-kali menyentuh tubuh Jhin Ae dan Soeun; Siwon paham apa yang ia lakukan adalah kesalahan. Tapi ia juga tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolak permintaan menyedihkan itu. Banyak hal yang telah ia dan Kimbum lakukan di belakang semua orang dan itu bukanlah hal yang mudah. Setiap malam ia dihantui perasaan beralah dan menyesal, namun juga tidak dapat berhenti. Jadi tidak bisakah seseorang mengerti? 

"Kau salah sayang. Dengarkan ak,—" 

"Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu!!" 

Siwon mengepalkan tangannya di balik tubuh Jhin Ae, ketika wanita itu memotong ucapannya. Mati-matian Siwon menahan keinginannya untuk membungkam bibir istrinya itu. Jeritan Jhin Ae melukai pendengaran. Tapi lebih dari itu, Siwon tidak ingin Kimbum semakin terluka. 

"Pergi!! Per—" 

Jhin Ae masih bersikukuh untuk menyalurkan rasa bencinya. Namun ia harus terdiam ketika tiga orang pria berseragam masuk bersama dua pria lain. Membuat seluruh pergerakannya terhenti dengan manik ketidakpercayaan. Bulir-bulir air mata yang mengajak sungai juga berhenti tepat sepersekian detik setelah tangan-tangan kekar bergerak. 

"Sial! Apa-apaan ini?!"

"Jangan sentuh aku!! Kimbum apa maksud semua ini?! Tolong aku!! Kimbum!!" 

Bahkan dari separuh waktu yang pria itu habiskan dalam penyesalan, Jhin Ae tetap tidak dapat mengerti jalan pikiran suaminya. Ia memandang Siwon sendu bercampur bingung, mengabaikan jeritan-jeritan ketidakerimaan seorang wanita yang sibuk memberontak di ujung sana. Ingin bertanya, namun ketika bibir pria itu tersenyum, Jhin Ae mengerti ia telah berada di posisi yang salah. 

Jhin Ae menatap Kimbum sakit, lalu beralih pada Gyuri yang telah berada dalam kungkungan para polisi. Bodoh!! Sesaat Jhin Ae merasa menjadi manusia paling dungu di dunia. Harusnya ia mendengarkan penjelasan pria itu lebih dulu. 

"Bawa dia!!! Aku ingin kau menghukumnya dengan dengan hukuman yang terberat!!"

"Tidak perduli wanita sialan itu hamil, aku ingin kau bertindak dengan benar!!" 

Kimbum masih tidak melakukan pergerakan, tapi Sang Woo telah berdiri menatap tajam Gyuri, seolah menunjukkan keangkuhannya. Sementara Jhin Ae meremang mendengar setiap perintah keras suaminya. Siwon selau bicara penuh kelembutan. Tapi kali ini Jhin Ae bisa melihat sisi lain dari pasangan hidupnya itu. Ia kembali menangis. Lalu merangsek masuk ke dalam pelukan Siwon. Mengalirkan rasa sesal yang membuat pria itu mau tidak mau mengalihkan atensinya sesaat. 

Gemuruh kemarahan pria ini surut begitu saja setelah Jhin Ae menggunakan kata maaf, dan para polisi membawa paksa Gyuri pergi. Siwon lalu menatap Kimbum perih. Entah sejak kapan, pria itu telah jatuh terduduk dalam sebuah kehancuran. Air matanya mengalir deras memperlihatkan kelemahannya. Kimbum tidak mengeluarkan isakan pilu, namun berkali-kali nama Soeun terdengar menyayat dinding hati mereka. Dan saat itu lah Sang Woo dapat merasakan kehilangan yang putranya itu rasakan. Bahwa Kimbum adalah salah satu korban dari sebuah permainan. Ketika kau mencintai seseorang dan kau hanya mendapat hujan, saat itulah si hati akan merasakan mati. Selalu kisah duka yang berada di balik rintik hujan. Entah itu kebetulan, entah itu takdir, Sang Woo membenci cara Tuhan mempermainkan hati putranya. 

Untuk sesaat Siwon menyesali keputusannya. Seharusnya ia memang menolak permintaan itu. Seharusnya ia memang tidak memisahkan kedua manusia itu. Detik ini adalah sebuah kesalahan yang tidak seharusnya terjadi. Seharusnya tangga nada yang mereka ciptakan tidak berisikan duka. Seharusnya Siwon biarkan Kimbum membawa Soeun pergi jauh seperti keinginan pria itu. Agar pria itu tidak menderita. Soeun pasti terluka, dan di tempat ini Kimbum menjadi pecundang karena kebodohannya. 

 Siwon memaki dirinya berkali-kali. Lalu memejamkan matanya erat. Berpikir keras dalam kebungkaman para manusia. Apalagi yang harus ia lakukan? Haruskah ia mengikuti Gyuri? Atau menjelaskan duduk perkara? Sial!! Tidak ada perintah untuk melanjutkan skenario selanjutnya. Kimbum terlihat begitu memperihatinkan. Sorot mata pria itu hanya terpaku pada marmer. Siwon melontarkan sumpah serapah di dalam hatinya, kemudian melepaskan dekapan Jhin Ae. 

"Kimbum, kejar dia." 

Dan dari seluruh kemampuan yang ia miliki untuk berpikir, hanya itu saja yang mampu ia ucapkan. Siwon bisa melihat keterkejutan terlukis di wajah Sang Woo dan Jhin Ae. Tapi ia juga tidak bisa menjelaskan apapun pada saat ini. Soeun jauh lebih penting bagi keselamatan hidup Kimbum. Atau jika tidak pria tampan itu akan benar-benar gila, karena kehilangan istri tercintanya. Lagi pula Siwon juga 0mengkhawatirkan keselamatan Soeun. Minjae dan Hanna bisa saja melukainya, dan Siwon tidak ingin itu terjadi. 

Namun sayangnya Kimbum seolah tuli. Pria itu tidak bergerak. Tidak mengangkat kepalanya dan hanya diam dengan tangisan. Siwon mengerang keras. "Kim Sang Bum berhenti menjadi pecundang!! Bawa Soeun kembali!!" perintahnya keras. Tidak perduli meski akan terjadi baku hantam, yang Siwon inginkan saat ini adalah Soeun kembali. Wanita mungil itu pasti sedang merasa terluka dan ketakutan. Soeun pasti membutuhkan Kimbum, dan Kimbum harus segera menemukanya sebelum Minjae membawa putrinya itu pergi lebih jauh. 

"Berdiri Kimbum. Bawa Soeun kembali, atau kau akan benar-benar kehilangannya!!" Entah akan menjadi apa permainan ini kelak Siwon tidak lagi perduli. Masa bodoh dengan perintah dan skenario. 

Siwon beranjak cepat. Lantas menarik Kimbum kasar, dan membawanya pada sebuah mobil. Memaksa pria itu duduk di kursi penumpang, dan dirinya berada di kursi pengemudi. Meski pikirannya juga kacau Siwon tetap berusaha berpikir jernih. Terlebih Kimbum tidak ada bedanya dengan mayat. Pupil mata pria itu meredup layaknya kehilangan kesadaran. Siwon mencengram kuat kemudianya ketika pada akhirnya nada laknat itu lolos, memperdengarkan isakan penuh kepiluan. 

Tanpa Siwon ketahui, kalimat kehilangan Soeun menghancurkan retakan-retakan hati Kimbum. Pria ini terluka begitu dalam. Hingga untuk menghentikan air matanya saja Kimbum tidak lagi mampu. Sepanjang jalan yang membentang lensa elang itu dapat melihat sekumpulan burung mengiringi lewat angkasa yang terbentang. Cahaya senja yang menggelap membekukan tubuh yang tidak lagi memiliki hasrat untuk hidup. 

Kimbum memalingkan wajahnya. Menatap jalan yang basah karena curahan air hujan. Air mata itu nyatanya menjadi cemooh yang memalukan. Musik yang terdengar dari bibirnya bagai nada sumbang yang menjijikkan. Pantaskah ia menangis? Sementara ia sendiri yang menciptakan jarak tanpa memikirkan dampak yang akan ia terima. Pria ini memejamkan matanya. Lalu menghirup lembut udara penghangat mobil. Membantu sang paru-paru mencari oksigen untuk diantarkan ke kepala. Jika saja ia bisa gila, maka Kimbum akan memilih menjadi gila.

"Maafkan aku." 

"Ku mohon."

Tetesan air mata tidak pernah bermakna jika diteteskan dibawah rintik air hujan. Namun hujan adalah tempat pelarian yang indah. Tempat termudah untuk menyembunyikan perasaan yang membuncah. Dan ketika bibir menguraikan perpisahan, Tuhan mengharuskan kepergian yang tak pernah hati ikhlaskan.

"Berhentilah menjadi bodoh Kimbum. Kau tidak bersalah. Kita akan membawa Soeun pulang. Aku berjanji."

"Maafkan aku,—  aku selalu mencintaimu." 

Bahkan kalimat Siwon tidak mampu meredakan badai ketakutannya. Pola-pola ingatan wajah Soeun semakin menjerumuskan Kimbum ke dalam jurang kegelapan. Kimbum meraung lebih keras. Meremas dadanya demi mengurangi sakit yang menusuk-nusuk. Ia mencintai Soeun lebih dari apapun. Tapi kenapa Tuhan terus menerus menghukumnya. Seperti tidak lelah membiarkannya menangis dalam kedukaan. Semua harapan pria ini hilang bersama gerakan yang membuat kesadarannya terbang bersama dengan jeritan memilukan. 

Sebatas inikah???

No comments:

Post a Comment