Search This Blog

Friday, May 1, 2020

Conqeror Chocolate 62








Pelangi tidak akan pernah muncul tanpa gerimis air hujan. Dan kebahagiaan tidak akan datang tanpa adanya penderitaan. 
-Vitha Sitaraga



Apa yang sebenarnya cinta itu coba tunjukkan. Pengkhianatan? Penyesalan? Kesepian? Kesalahan? Keterpurukan? Atau bersenang-senang di atas penderitaan seseorang. 

Dengan senyum yang terakhir, tubuh itu pada akhirnya hanya mampu memberikan tangis tak berkesudahan. Kimbum mengepalkan tangannya sesaat setelah kalimat laknat Minjae menghujam keberaniannya. 

Hari ini pikiran buruk berkecamuk tanpa henti. Membuatnya merasa berdosa dan kotor di saat yang bersamaan. Hingga ia memilih meninggalkan wanita mungil itu seorang diri. 

Setelah mimpi itu menerjang ingatan masa lalunya, Kimbum merasa keberanian itu hilang tertelan rasa takut. Semua menjadi salah. Soeun akan semakin menderita jika ia menahannya. Ia seharusnya mencari cinta yang sebenarnya. Bukan justru menikmati hidup dalam balutan selimut hangat. Sementara di luar sana cintanya meraung seorang diri, bersama janin yang tidak berdosa.

Tidak ada kepastian setelah hujan berjatuhan. Namun ketika suara menarik kesadarannya, saat itulah pria ini sadar jika permainan Tuhan dimulai ketika kedua wanita mungil itu menangis. Selama ini lensa melintasi waktu ke waktu dengan mengubah keadaan berdasarkan getaran. Namun Kimbum lupa, jika kenyataan yang ada, masa depan mereka belumlah terlihat.

Tuhan masih memiliki ratusan rencana yang tak mampu dipahami manusia. Logika itu tumpul jika menantang kecerdasan seorang pencipta. Meski hanya untuk mengatakan selamat tinggal, bibir itu bergetar ragu dan takut. Soeun tidak seharusnya merasakan sakit, tapi melihat wanita diseberang sana jauh lebih sakit, hati Kimbum kembali tertikam. 

Permasalahan kondisi kesehatan Soeun membuatnya lupa jika ada Gyuri yang juga menderita. Mungkin Soeun butuh seseorang, tapi bukan berarti Gyuri tidak membutuhkannya. Kimbum melupakan janjinya. 

Bukankah ia pembohong? Masih pantaskah kelak ia disebut sebagai seorang ayah? Tiap-tiap kalimat yang para orang tua itu lontarkan menarik seluruh kesadarannya. Kimbum menundukkan kepalanya. Menerawang lantai, mencari tahu apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Kemudian setelahnya mengangkat kepalanya kembali; tepat menatap Gyuri yang berisakan. Mengabaikan Soeun yang terdiam linglung, namun setelahnya memecah tangis. Meninggalkan perasaan bersalah di sudut hatinya.

Wanita itu sakit. Setiap kali Kimbum mengingatnya ia menarik nafas sedalam yang paru-paru itu mampu. Menghalau pikiran sinting yang akan mampu menghancurkannya. Membayangkan Soeun hilang dari pandangan matanya nyatanya masih membuat Kimbum ingin menjerit marah pada sang takdir. Namun ketika sang lensa menatap keterpurukan Gyuri, Kimbum merasa seluruh jiwanya luruh tak bersisa. Apa yang harus ia lakukan? 

"Tidak. Itu bohong. Benar bukan Bum-ah?" 

Suara Soeun kembali terdengar melukai si hati. Bagaimana bisa bibir itu mengucapkan ketidakpercayaan, sementara ia membutuhkan waktu hanya untuk bicara. Kimbum menahan kuat gerakan tangannya. Seluruh syaraf bagai terputus hingga membuat bibir itu membisu tanpa satupun kalimat mampu terucap.

"Bum-ah." Hingga retina itu berkhianat. Seluruh pertahanan yang dibangun begitu angkuh, hancur lebur bersama kebencian. Nada suara yang mengalun memaksa Kimbum untuk menjadi seorang iblis. Telinga itu ditulikan hanya untuk suara Soeun. Untuk pertama kalinya perhatian pria ini hilang dari logika. 

"Ku mohon katakan semua itu tidak benar Bum-ah!! Kau tidak mungkin melakukan itu." Entah siapa yang sebenarnya keji pada permainan ini. Kimbum menundukkan kepalanya. Mengabaikan isak yang menuntut penjelasan. Nyatanya hati itu tidak lagi berdebar. Denyut yang mencengkram sang ulu hati hanya terbentur pada cembung di tubuh Gyuri. 

Sakit, bahkan untuk bernafas pun Kimbum tidak lagi mampu. 

"Maaf. Aku masih sangat mencintainya." 

Sangat, dan begitu mencintainya. Tidak ada daya yang mampu ia lepaskan untuk lari dan menggenggam jemari lentik itu. Tempat ini memaksanya untuk bertindak tegas agar si manja tidak lagi berharap lebih jauh. Bukankah ia kejam? Tapi itu adalah kenyataannya. Kenyataan bahwa ia mencintai wanita si cinta pertama.

"Ku mohon jangan katakan itu Bum-ah."

Mohon? Untuk apa wanita itu memohon? Tolong katakan padanya untuk apa Soeun memohon?! Apa yang harus Kimbum lakukan jika si cinta pertama terluka begitu dalam? Yang bahkan memandangnya saja Kimbum tidak lagi mampu.

"Maafkan aku Soeun. Tapi dia cinta pertamaku. Aku mencintainya Soeun, sangat sangat mencintainya." Ia sudah berkali-kali berkhianat, dan Kimbum tidak menyesal. Karena perasaan itu sebenarnya mati, dan tidak lagi menimbulkan getaran yang diharapkan. 

"Maafkan aku." Apa yang ia lakukan saat ini hanya untuk memperlihatkan jika dirinya telah hancur berantakan. Tidak ada lagi yang bisa pria ini lakukan. Impian itu bertentangan, dan tidak pernah akan ada dalam kenyataan.

"Berhentilah bicara tuan muda Kim. Kau harus segera menceraikan putriku." 

Pria di seberang sana begitu angkuh menatap lensa, namun bagi Kimbum Minjae tidak lebih dari bajingan. Kimbum ingin melayangkan kepalan, namun lagi-lagi niat itu berhenti ketika jerit menerobos sang gendang telinga. 

"Tidak!!! Aku tidak mau bercerai!! Jangan lakukan ini padaku ayah." 

Harus sampai kapan? Tidakkah wanita itu mengerti betapa ia tertekan. Hati itu mulai lelah, dan Kimbum ingin menenggelamkan dirinya ke dalam samudera terdalam. Menyembunyikan diri dari kekejaman permainan Tuhan. 

Berulang kali Soeun meremas jantungnya, namun di tempat lain Gyuri menangis dalam rengkuhan sang ibu. Kimbum memejamkan matanya kuat, menekan hati untuk tidak menerjang wanita itu ke dalam pelukannya. Hingga pada akhirnya Soeunlah yang lebih dulu beranjak memeluk tubuhnya. Membuat seluruh darah di tubuhnya berdesir kuat. 

"Ku mohon sayang." Meski tangan sialan itu bergetar, Kimbum tetap menangkup wajah cantik itu. Wajah yang selama ini menemani hari-harinya, hingga membuat si hati melupakan si cinta pertama. Wanita itu tidak lagi tersenyum cerah seperti beberapa menit yang lalu, dan Kimbum bersumpah ia menyesal di detik yang salah. 

Wanita itu mengandung janinnya, dan apa yang telah ia perbuat? Adakah jalan yang tidak menyakiti siapapun? Bolehkah Kimbum memiliki keduanya? Soeun memang nafasnya, tapi si cinta pertama memiliki seluruh ruang di hatinya. Ia belum beranjak meski Soeun menciptakan kenangan yang indah. Ingatan-ingatan masa lalu mengingatkan Kimbum jika ia tidak bisa menghianati si cinta pertama. Karena cinta itu juga terluka. Bahkan jauh lebih menderita. Kimbum tidak bisa membiarkannya seorang diri, dan harus menariknya dari sepi. 

"Kenapa kau lakukan ini padaku Bum-ah?"

Kenapa? Bahkan Kimbum tidak mengetahui jawabannya. Kimbum mengusap lembut pipi Soeun. Wanita itu jauh lebih kurus mendekati hari persalinannya. Warna putih pucat mendominasi seluruh wajahnya, memperlihatkan jika Soeun benar-benar menderita. Membuat Kimbum ingin memukul dirinya sendiri. Atau bahkan menghujamkan belati pada jantungnya. Jika saja bisa, Kimbum ingin menggantikan posisi Soeun, dan memberikan posisinya pada wanita mungil itu. Setidaknya Soeun tidak lagi akan menderita, dan merasakan apa itu kebahagiaan. 

"Aku ingin kau bahagia Soeun." 

Seperti kebahagian yang sebenarnya. Bukan berpura-pura tersenyum di balik rasa rindu yang terpendam. Mungkin memang benar, Tuhan akan bertindak pada waktu yang tepat, dan ini adalah waktunya. Bukan berarti perpisahan adalah jalan terburuk, karena wanita itu akan kembali pada rumah yang sebenarnya. Rumah yang Soeun idamkan sejak dahulu. 

"Apa kau begitu mencintainya?" Isak itu masih terdengar pilu, namun wanita mungil itu berusaha melontarkan kalimat dalam kesedihan. Kimbum mengigit bibir dalamnya kuat. 

"Ya. Bukankah dulu sudah ku katakan kau hanya akan terluka?" 

Katakanlah ia brengsek. Tapi seharusnya Soeun ingat, hari kedua setelah pernikahan mereka. Pria ini sudah mengatakan keinginannya untuk berhenti, dan Kimbum tidak pernah berdusta pada setiap ucapannya. Saat itu ia juga mengatakan apa yang si hati rasakan. Dan Soeun mengatakan itu bukan masalah. Jadi haruskah ia tetap menjadi tersangka yang jahat? Ia bahkan korban dalam permainan sang takdir. 

"Tapi kau mencintaiku." 


"Itu tidak benar." Karena yang sebenarnya si hati mencintai cinta pertama. Kimbum menatap Soeun sendu. Mengirimkan jutaan perih yang hanya ia rasakan. Nada suara boleh saja bagaikan bisikan duka, namun waktu tidak akan memberikan pilihan kedua. 

"Bisakah kau mengerti hatiku Soeun?"

Semua harus tuntas, agar esok ketika ia membuka matanya, ia tidak lagi merasakan penyesalan. Soeun harus mengerti jika ia lelah. Jika logika tidak akan pernah menang melawan taktik licik si manusia sialan. Manusia itu serupa dengan iblis. Jangan pernah percaya pada senyuman manis, karena dibalik senyum itu tersimpan belati yang mampu menembus jantung.

"Apakah aku harus pergi Bum-ah?" Ya pergi sejauh yang kaki itu bisa. Jangan biarkan Kimbum menemukannya, atau Kimbum akan menyeretnya kembali. Lalu memaksanya menjadi yang kedua.

"Ya." Apa hanya YA yang bisa bibir itu ucapkan? Kimbum tidak perduli. Air mata itu sudah cukup menghambat cara berpikirnya. Jika dulu air mata itu menghancurkan kecerdasannya, maka saat ini waktu menghentikan gerak jantungnya. 

"Pergilah Soeun." Cukup sampai di sini saja. Jangan ada lagi cerita yang sama seperti ini karena ini menyakitkan. 

"Aku melupakanmu."



❤❤❤




No comments:

Post a Comment