Search This Blog

Friday, May 1, 2020

Conqeror Chocolate 61








®®®Coqeror Chocolate®®®

Ketika sepasang kaki berhenti untuk melangkah. Dan ketika sebuah kepercayaan tidak lagi berarti, maka kata cinta perlahan membayang dibalik semu. Gemuruh detak jantung tidak akan sama lagi dengan sebuah nada. Tapi kehancuran menciptakan nada yang bergemuruh lebih pilu. Tetes bening tidak akan memecah konsentrasi. Seperti batang yang bergerak melambai. Waktu pada akhirnya hanya menjadi musik pengiring pengantar duka.

Ada yang pernah mengatakan bahwa cinta itu omong kosong. Cinta itu hiasan dari sebuah kehidupan. Dan cinta itu rasa semu yang tidak berarti. Tapi seseorang juga mengajarkan banyak cara untuk berjuang. Ketika pada akhirnya ia meraih segala kepuasaan, haruskah kini ia mengalah? Coba beri satu petunjuk. Agar setidaknya pilihan yang menjadi sebuah tujuan, adalah jawaban dari semua pertanyaan. 

Waktu mungkin tidak berpihak secara pasti. Namun setidaknya untaian doa menjadi sebuah harapan. Tuhan tidak pernah tidur, itu yang ia ketahui. Dongeng di masa lalu mengajarkan kesabaran padanya. Dan seperti itulah kehidupan yang berada tepat di ujung penantian. Wanita ini tidak mengetahui arti dari kata janji. Melalui waktu yang bergerak ia percaya pada kisah yang coba ia jalani. Bersama kerapuhan, juga tawa ceritanya. Akan ada setelah ini fase dimana ia akan menyerah seperti mimpi buruk yang menyapa tidurnya.

Gelegar petir yang menyambar awan hitam sekali lagi terasa begitu dekat. Sepasang mata yang baru saja terlihat, mendadak menatap dalam kebingungan. Ada tautan alis yang terlihat di wajah keriputnya. "Kenapa kau tidak bekerja sayang?" tanyanya lembut. Membuat sang empunya manik menatap secara teratur satu persatu makhluk yang berada bersamanya. 

Pria itu sejenak menghela nafas. Kemudian beranjak mendekati sosok yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Sosok manis berbaju kuning yang duduk berselonjor tepat dihadapan televisi. Yang juga membuatnya malas untuk berkeliaran di luar rumah. Lagi pula ruangan ini begitu luas. Jauh lebih luas dibanding ruangan terkutuknya. 

"Aku lelah eomma." jawab Kimbum datar. Nada suaranya hanya berupa sahutan kecil. Namun Sahee terlihat mengangguk paham. Kimbum menatap Soeun serius. Menikmati wajah lucu istrinya yang tengah asik menikmati sebuah acara. Manik almond wanita itu bahkan benar-benar terfokus hanya pada layar televisi yang menampilkan acara keluarga. Dimana tepatnya seorang ayah tengah menggendong sang putri di atas bahunya. Dan melangkah dengan tawa yang ceria.

Kimbum menghembuskan nafasnya berat. Soeun tidak sama sekali menyadari kehadirannya. Meski ia duduk tepat di sisi wanita itu, tapi Soeun seolah buta. Kimbum tahu ada kerinduan dibalik sorot mata istrinya itu. Seberapa banyak pun Soeun menyangkal, Soeun tidak akan pernah bisa menipu penglihatannya. Soeun boleh saja terus tersenyum. Tapi pilu itu merasuk hingga ke jantungnya. Memukul keras hingga membuat Kimbum merasa sakit. 

Seperti apa sebenarnya kisah di masa lalu? Kimbum tidak tahu. Yang ia ketahui hanyalah Soeun menderita, Soeun terluka. Dan untuk satu kali saja, Kimbum ingin mewujudkan satu mimpi wanita yang dicintainya itu. Apapun itu. Sekalipun Soeun meminta untuk kencan buta bersama pria lain Kimbum akan mengabulkannya. Asal Soeun bahagia itu sudah cukup. 

Mimpi yang baru hadir dalam tidurnya begitu cepat mengacaukan kecerdasan jalan pikirannya. Kimbum tidak mengerti apa yang terjadi. Namun sesaat tadi ada sebuah tangan yang menarik Soeun dari dalam dekapannya. Membawa wanita itu menjauh dari jangkauan matanya. Dan mimpi itu sangat-sangat menyakitkan. Bahkan hingga kini Kimbum masih merasakan remasan tak kasat mata di sekitar jantungnya. Jika saja ia memilki riwayat penyakit jantung, maka sudah Kimbum pastikan ia akan kehilangan detakan jantungnya. Beruntung juga lantai kamar tidurnya memilki alat peredam suara, jadi suara jeritan ketakutannya tidak sampai terdengar ketelingan Soeun ataupun Sahee. 

"Sayang, apa kau sudah makan siang? Soeun baru saja makan. Dan sepertinya dia sedang tidak ingin diganggu." Sekali lagi suara Sahee terdengar mengambil alih keadaan. Sepertinya wanita itu mengerti akan kegelisahaan putranya. Soeun memang terlihat sedikit aneh dua hari belakangan ini. Cenderung lebih pendiam, tapi lebih manja pada suaminya. Apapun yang mengganggu perasaannya akan segera membuatnya menangis. Kesensitifannya membuat Sahee merasa aneh. Terlebih Kimbum juga melakukan hal yang sama. Sahee merasa seperti sedang tertutupi sesuatu. Tapi bertanya pun akan percuma. Sahee tahu Kimbum bukan tipe manusia yang suka menceritan permasalahannya. 

"Hmmm." Sementara Kimbum hanya menggumam tak perduli. Pandangannya tertumpu pada wajah Soeun yang berseri-seri. Kimbum tersenyum kecil. Lalu mengusap sayang kepala istrinya itu. 

Membuat Soeun terlonjak kaget. Namun wanita itu dengan segera tersenyum manis, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada layar televisi. Membuat Kimbum dan Sahee kompak terkekeh menatap tingkah kekanakannya. 

Sang woo yang juga berada di sana bahkan hanya mampu mengulum senyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Soeun sungguh menggemaskan. Apapun yang dilakukannya akan selalu memancing perasaan geli di hati mereka. Ada setoples Cookies di atas meja, tapi itu pun tidak mampu menarik perhatian mereka. Hujan seolah menginginkan mereka untuk sejenak memperhatikan Soeun. 

Kehamilannya yang semakin membesar juga menjadi salah satu daya tariknya siang hari ini. Yellow dress yang melekat sungguh sangat pas di tubuh mungil nya. Membuat Soeun terlihat seperti gadis menggemaskan yang bertubuh gemuk. Astaga, jangan sampai Soeun mendengar kata terkutuk itu. Atau mereka akan gila karena jeritan maha dasyat Kimbum. Ya, Kimbum yang menjerit murka, dan Soeun yang menangis seharian. 

"Selamat siang tuan besar Kim." Hingga sebuah suara menginterupsi mereka. Memaksa manik-manik mata menajam dalam waktu sesaat. Tubuh Sang woo menegang. Semua aura baik yang tercipta dalam sekejap berubah menjadi suasana buruk yang mengerikan. 

Soeun meneguk secara lemah ludahnya. Lalu menatap sang ayah yang berada beberapa langkah dari tubuhnya, dengan getar yang perlahan menghentak keseluruh organ tubuh. 

Tidak mungkin.

Bathinnya. Ia pasti hanya berimajinasi. Soeun menutup matanya sejenak, lalu kembali membukanya. Namun dia masih di sana. 

Sekali lagi Soeun mengucek matanya. Barangkali saja matanya kemasukan debu hingga menciptakan bayangan yang mengerikan. Tapi dia tetap masih di sana. Beragam cara kembali Soeun lakukan untuk menghapus imajinasi gilanya, namun semua tetap sama. Hingga jemari Kimbum menyentuhnya. Saat itulah Soeun sadar ia sedang tidak bermimpi.

"Kau,— apa yang kalian lakukan di sini?" Sang woo yang menangkap perubahan Soeun dengan segera menyela salam yang dilontarkan. Ia tidak ingin Minjae terlalu lama berada di kediamannya. Karena kehamilan Soeun akan membuat wanita itu jauh lebih terluka jika Minjae sampai mencaci makinya. 

"Kalian terlalu tegang. Apa kami tidak dipersilahkan duduk?" Entah permainan apa yang coba pria itu mainkan, Sang woo tidak tahu. Yang jelas keterdiaman Kimbum membuatnya mendadak gelisah. Apa Kimbum takut? Tapi kenapa? 

"Tidak perlu."

"Ah, kalian sungguh keterlaluan pada tamu."

"Katakan saja apa keperluan kalian? Lalu keluar dari rumahku." Dan meski di sudut hatinya Sang woo merasa tidak nyaman, namun sebisa mungkin ia tidak menunjukkannya. Setiap kalimat yang terlontar dari bibirnya juga adalah bentuk dari kemarahannya. Sang woo mengeraskan rahangnya ketika Minjae tertawa dengan angkuh, lalu menatapnya seolah menantang. 

"Slow dude. Kami hanya ingin mengunjungi anak kesayangan kami." Minjae terlihat tidak canggung di hadapan mereka. Pria itu berlagak seolah tamu yang paling terhormat. Ia bahkan mendudukkan tubuhnya pada sofa tanpa rasa malu. Dan membiarkan dua pengikutnya berdiri bak seonggok patung yang licik. Membuat Sahee yang sejak tadi memilih diam menjadi benar-benar muak.

"Anak kesayangan? Apa kau sudah gila?" jawab Sahee sengit. Ia menatap Minjae dengan geram, sembari menarik Soeun ke belakang tubuhnya. Menantunya itu terlihat kacau. Wajahnya pucat, dan Soeun terus-menerus menundukkan kepalanya. 

Sahee juga mengutuk sikap Kimbum yang berdiri di sampingnya, namun hanya diam tanpa bersuara. Manik putranya itu terpaku pada satu arah. Arah yang begitu Sahee benci. Tepat pada sosok yang begitu ingin dihindarinya. Seorang wanita cantik yang juga memilki perut besar. Sahee dapat menyimpulkan wanita itu hamil. Tapi entah mengapa tidak terlihat seorang pria menemaninya. 

"Terserah apa katamu nyonya." 

Minjae sendiri hanya menjawab tanpa minat. Meski Sahee terlihat mengepalkan tangan menahan emosi, namun Minjae tidak ciut. Ia memiliki satu tujuan saat ini. Dan sebelum tujuan itu tercapai, dia tidak akan pergi. Tidak sekalipun Sang woo menyeretnya keluar.

"Soeun, apa kau tidak ingin memeluk Ayah?" Lanjut Minjae lagi. Kali ini ia juga mengalihkan pandangannya pada Soeun. Meminta putrinya itu untuk keluar dari persembunyiannya. Karena sekalipun wanita mungil itu tidak bersuara, Minjae tahu Soeun begitu ingin memeluknya. 

"Nde?" 

Benar bukan? Minjae tersenyum ketika Soeun merespon ucapannya.

"Kemarilah nak, ayah merindukanmu."

"Ayah." 

Dan tidak butuh waktu lama, semua tebakannya menjadi kenyataan. Sahee membatu ditempatnya berdiri. Suara tangisan Soeun dengan cepat memenuhi seluruh indera pendengaran mereka. Membuat debaran yang semuala normal, berubah menjadi seperti hentakan kaki kuda yang menyesakkan. 

Kimbum tersenyum kecut ketika Sahee menyentuh dadanya sembari menangis. Mendekati sang ibu, ia lalu memeluknya dan mengusap punggung Sahee yang bergetar. Sang woo hanya diam tidak lagi berkomentar. Soeun tidak salah dalam hal ini. Putrinya itu hanya ingin memeluk ayahnya. Dan Sang woo tidak mungkin melarangnya. 

"Aku merindukan ayah."

"Ya ayah tahu." 

Interaksi ayah dan anak itu untuk sejenak menyadarkan mereka. Sahee melepaskan pelukan Kimbum. Sesaat ia menyadari ia sungguh egois. Kalimat rindu Soeun memukul telak bathinnya sebagai seorang ibunya. 

Astaga, bagaimana bisa ia berpikir untuk memisahkan Soeun dari ayahnya. Soeun menyayangi Minjae itu jelas. Minjae ayahnya, dan pria itu berhak memiliki putrinya. Seberapa sakit pun hati Soeun, Sahee tahu putrinya itu tidak akan pernah mampu membenci ayahnya. Soeun wanita yang baik. Dan hatinya yang lembut akan selalu berusaha untuk memaafkan.

Tapi disisi lain Sahee tetap tidak rela jika Soeun memilih Minjae. Demi Tuhan kepekaannya muncul begitu saja. Entah mengapa ia mendadak merasa Soeun akan meninggalkannya. Angin seperti memberi isyarat lewat sentuhan dari bbalik tengkuknya. Dan demi Tuhan, Sahee tidak akan biarkan jika itu terjadi.

"Tolong jangan jauhi aku lagi ayah." 

Setiap kata yang keluar dari bibir Soeun, seperti pisau yang mengisak hatinya. Sahee meringis merasakan ngilu yang mendera. Dari sudut pandangnya sebagai seorang ibu, Soeun terlihat begitu bahagia. Tangisan yang terdengar pun adalah tangisan dari kebahagiaan. 

"Tidak lagi sayang. Ayo kita pulang." Namun kalimat Minjae yang selanjutnya seketika membuat seluruh organ Sahee menegang. Sang woo bahkan mengumpat ditempatnya. 

"Sial!"

"Apa maksud ayah?" Bersamaan dengan umpatan Kimbum, Soeun menjawab kalimat ayahnya. Dalam satu hentakkan Soeun juga melepas pelukannya. Meski sejujurnya ia sendiri masih merasa senang akan kehadiran ayahnya, namun Soeun berusaha untuk berpikir rasional. Tidak mungkin ayahnya meminta dirinya untuk kembali. Sementara selama ini pria itu tidak pernah menganggapnya ada. Pasti ada yang sesuatu yang direncanakan ayahnya. 

"Kita pulang sayang, pulang ke rumah." 

Tapi sekali lagi kalimat itu benar-benar menyapa gendang telinganya. Soeun tidak tuli. Minjae menatapnya dengan bahagia, namun di balik senyumnya Soeun juga menemukan luka. 

"Tapi, aku sudah menikah ayah. Dan rumahku disini." Sahee dan Sang woo tidak sama sekali berbicara. Mereka memilih diam. Memberi Soeun kesempatan untuk mengeluarkan isi hatinya. 

"Kau harus menceraikannya sayang. Pria itu tidak pantas untuk dirimu." 

Namun waktu kembali tidak berpihak. Tepat pada detik yang menunjukkan angka sembilan, Soeun merasakan seluruh dunianya berputar. Semua ingatan masa lalu silih berganti menampilkan luka yang bertahun-tahun ia kunci. 

"Sialan! Apa yang kau katakan brengsek?!" Dan Lengkingan kemarahan Sang woo terasa begitu nyata. Soeun membungkam dalam ketakutan. Kedua kakinya bergerak mundur mencari keamanan. Lalu ketika ia berada ditempat yang tepat, Soeun melemparkan pandangannya pada sosok Kimbum. Meminta prianya itu untuk mendekat dan mendekap tubuhnya. Tapi, Kimbum hanya diam. Soeun tertegun ketika Kimbum hanya menatapnya tanpa minat.

"Soeun, kemari sayang." Sahee yang menyadari tindakan brengsek Kimbum segera menarik Soeun ke dalam pelukannya. Menyembunyikan wanita malang itu dalam sentuhan kasih sayangnya. 

"Yoon Sahee, lepaskan putriku. Apa kau sudah tidak waras?!" Minjae kembali mencoba untuk meraih Soeun. Tapi dengan sigap Sang woo menghalangi dengan memasang tubuhnya menjadi tembok yang keras. Persetan dengan Kimbum! Sang woo akan memukul putranya itu ketika Minjae telah keluar dari rumahnya. 

"Kau yang tidak waras. Siapa yang kau katakan putrimu? Soeun bukan milikmu!" 

Ya Soeun bukan miliknya. Sang woo menatap Minjae dengan pandangan menghina. Jangan salahkan dirinya jika berbuat tidak sopan. Salahkan saja para manusia brengsek yang berada di rumahnya ini. Mereka lah yang membuang Soeun. Jadi tidak akan Sang woo biarkan Minjae membawa kembali Soeun. 

"Apa kau begitu terobsesi padanya? Ah, kau sungguh malang." Cemoohan itu terasa menyakitkan, tapi Sang woo tidak perduli. 

"Aku memang terobsesi padanya. Dan aku tidak perduli pada tanggapanmu. Lebih baik kau keluar dari rumahku!!" 

Untuk beberapa detik Sang woo mencoba menatap Kimbum. Namun ternyata pria itu hanya tertuju pada satu titik fokus. Gyuri! Sial! Makinya dalam hati. Kimbum memang benar-benar tidak berguna. Menyesal Sang woo menikahkan Soeun pada putranya itu. 

"Sang woo, apa kau tidak tahu? Soeun bukan lagi istri dari seorang Kim sang bum. Aku akan membawa putriku pergi. Karena pria brengsek seperti putramu tidak layak untuk putriku." Petir masih bersahutan ketika semua kalimat-kalimat dilayangkan. Soeun menutup telinganya. Berteriak dalam hati, meminta Tuhan mengakhiri penderitaannya ini.

"Tutup mulutmu! Putraku bukan manusia brengsek, tapi kau lah manusia bajingan. Pergi dari rumahku Kim Minjae!!!"

"Sayangnya aku tidak akan ke mana pun sebelum mengambil harta berhargaku. Dan yah, Kim sang bum tepati janji mu kepada putriku."

"Kau,— " Sahee mencoba untuk menghentikan kalimat memuakkan Minjae. Namun ia harus terdiam ketika Minjae memotong dengan kurang ajarnya.

"Apa kau tidak melihatnya nyonya Kim yang terhormat? Putriku hamil."

"Dan itu adalah karena perbuatan brengsek putramu." Dan tepat ketika kalimat itu melambung, bukan hanya Soeun yang terjatuh, namun Sahee jatuh dalam ketidak sadaran. 

"Tidak, itu tidak mungkin."

"Kim sang bum!!!" Entah sebuah lirihan atau jeritan yang harus mereka dengar. Tapi Minjae tersenyum puas ketika Soeun merangkak pada kaki suaminya. Hana bahkan menyunggingkan senyum mencemooh pada Sang woo yang meraih Sahee dalam pelukannya. 

"Tidak. Itu bohong. Benar bukan Bum-ah?" Lirih. Hati Sang woo mencelos ketika Soeun merangkak naik pada kaki putranya. Air mata yang berderai lewat pelupuk mata Soeun menjadi saksi akan kehancuran wanita kecilnya itu. 

Soeun menatap Kimbum dengan sakit. Ia tidak sama sekali memperdulikan tubuhnya yang kacau. Bagi Soeun cukup Kimbum yang bicara. Tidak perduli pada semua ucapan Minjae. Karena hanya Kimbum yang bisa Soeun percayai seumur hiupnya. "Bum-ah." Biar saja Gyuri menilainya seperti orang gila. Toh wanita itu kini hanya jalang murahan di matanya. 

Soeun tidak tahu skenario apa yang sedang Tuhan mainkan. Tapi Soeun benci ketika Kimbum tidak sama sekali bersuara. "Ku mohon katakan semua itu tidak benar Bum-ah!! Kau tidak mungkin melakukan itu." jerit Soeun. Pada akhirnya, semua kepercayaan dirinya hilang ketika Kimbum menunduk dan menatapnya dengan sesal. 

"Maaf. Aku masih sangat mencintainya." 

Diam.

Soeun ingin berteriak dan memukul Kimbum, namun ia tidak bisa. Seluruh tubuhnya mati rasa. Soeun menundukkan kepalanya. Mengisak dengan rasa sesak yang menyakitkan. Kenapa dunia begitu kejam padanya? Kenapa takdir terus saja mempermainkan hatinya? Apa dia memang begitu terkutuk? Apa dia memang tidak pantas bahagia? Tolong satu kali saja, biarkan Soeun bahagia. 

"Ku mohon jangan katakan itu Bum-ah." isak Soeun. Sekuat apapun ia menahan tangisannya, Soeun tetap kalah. Kenyataannya rasa takutnya memberi trauma yang mendalam.

"Maafkan aku Soeun. Tapi dia cinta pertamaku. Aku mencintainya Soeun, sangat sangat mencintainya." Ya Tuhan, cabut nyawanya sekarang juga. Soeun tidak mampu lagi untuk bicara. Tenaganya hilang terkuras luka. 

"Maafkan aku." 

Cukup.

Soeun ingin berteriak marah, tapi sekali lagi hatinya hancur ketika Gyuri juga mentapanya sama terluka. Dunia terlalu kejam pada dirinya. Semua orang hanya mengutamakan Gyuri tanpa melihat kehadirannya. 

"Berhentilah bicara tuan muda Kim. Kau harus segera menceraikan putriku." Bahkan suara ayahnya bagai belenggu kematian di telinga Soeun.

"Tidak, aku tidak mau bercerai. Jangan lakukan ini padaku ayah." Berulang kali ia meremas jantungnya, tapi rasa sakit itu tidak kunjung menghilang. Soeun beranjak memeluk Kimbum kembali. Berharap pria itu mau menahannya di sini. Tapi sekali lagi Tuhan tidak bertindak. Kimbum hanya diam. Tatapan mata bukan lagi hal yang menyakitkan untuk Soeun. Namun nada suara Kimbum yang mencemooh adalah musik pengiring kematian baginya. 

"Sayang." Suara itu, Soeun sungguh menyukainya. Soeun tersenyum penuh luka ketika Kimbum menangkup wajahnya. Dan lewat tangisannya Soeun ingin sampaikan bahwa ia mencintai Kimbum. Sekalipun ratusan tahun harus ia lewati, Soeun tetap mencintai Kimbum. 

"Kenapa kau lakukan ini padaku Bum-ah?"

Pandangan yang selama ini dipenuhi rasa cinta, kini hanya berupa rasa luka. Soeun menyentuh jemari Kimbum yang mengusap pipinya. Merasakan rasa hangat yang pria itu alirkan. Tuhan, Soeun ingin mati rasanya.

"Aku ingin kau bahagia Soeun." 

"Apa kau begitu mencintainya?" 

"Ya. Bukankah dulu sudah ku katakan kau hanya akan terluka?" Benar, Soeun yang terlalu naif. Ia terlalu percaya diri. Bukankah dirinya benar-benar bodoh?

"Tapi kau mencintaiku." lirih Soeun.

Kimbun menggeleng. 

"Itu tidak benar." 

Dan kali ini lagu yang Soeun nyanyikan tidak akan lagi Kimbum dengar. Seluruh pasokan keberanian meluap terserap angin. Kata bukan lagi serapan nafas. Semua janji yang terangkai dari bibirnya menjadi buih dalam kehampaan. 

Tidak akan ada lagi Soeun. Dan tidak akan ada lagi Kimbum. Jemari yang bergerak, terlepas bersama dengan tarikan yang Minjae lakukan. Mungkin Tuhan memang benar. Jodoh tidak akan pernah lari ke mana. Soeun yang salah. Ia yang bodoh. Sekarang Soeun mengerti bahwa ia hanyalah seorang pengganti.

"Jadi, hanya aku yang mencintaimu." 

Karena nyatanya Kimbum tidak pernah mencintainya. Karena nyatanya cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Sekali lagi waktu bermain dalam kisahnya. Luka menjadi cerita lama dalam hidupnya. Soeun tersenyum ketika Sang woo menangis menatap kepergiaanya. 

Pada akhirnya ia menyerah pada takdir. Pada akhirnya ia kembali dalam sepi. Sekarang, Soeun tidak lagi melihat cahaya. Kimbum bahkan hanya bagaikan bayangan di matanya. Rasa cinta itu terbawa hingga ke dasar jurang. Bersama isakannya Soeun melangkah bersama gelap. Setelah ini Soeun bersumpah tidak akan pernah mengingatnya. Biar hatinya saja yang terluka. Biar ia saja yang mengalah. Biar tubuhnya saja yang menanggung rasa sakit. Soeun siap. Asal Kimbum bahagia. 

"Pergilah soeun." 

"Aku melupakanmu."

.
.
.

To be continue...

💕💕💕

Fiuh, enam ribu tujuh ratus kata. Gila gw nulis kayak kesetanan. 😆😂 Btw, jangan minta fast update yah. Lagi bad mood soalnya. Ini aja aku yakin feelnya nggak nyampe. Maaf juga kalo banyak typo. Lagi males banget mau ngedit. Hahaha 😂😂
Udah ya, Bye 👋

No comments:

Post a Comment