Orang menangis bukan karena mereka lemah. Tapi karena mereka terlalu lama harus berusaha terlihat kuat. — Johnny Depp
.
.
.
Seberapa jauh langkah akan membawa ingatan pergi? Ketika gema menghasilkan nada, pada akhirnya ratapan luka itu kembali mundur seperti kilasan waktu dari masa lalu. Kenangan tidak menjadi bagian hidup di masa depan, namun keyakinan mampu menjadi dorongan untuk kembali memulai perjalanan.
Ada begitu banyak cara, sebagaimana hati yang hancur meleburkan ingatan. Membiarkan pola menyusun kembali memori. Menempatkan yang salah pada yang salah, dan yang benar pada yang benar. Hingga pada kehidupan selanjutnya, nafas akan menjadi faktor dominan logika menolak sesuatu yang menjadi trauma.
Akan timbul berbagai pertentangan. Yang mungkin saja akan menimbulkan rasa sakit-sakit laiinnya. Namun wanita ini berkeras diri. Membunuh logika, meski pada kenyataannya rasa benci itu tersemat tersembunyi. Berada di titik terdalam ruang hatinya. Satu persatu raga itu menghilang bersama jiwa. Dari semua pertahanan yang dibangun, rasa sakit melebur bersama bulir kekecewaan. Logika mencoba menghanguskan kepercayaan yang dibangun oleh si hati. Tapi kata penyesalan tidak menjadi titik akhir dari maaf.
Mungkinkah ia bodoh? Atau lebih dari sekedar pecundang? Seperti kenari dalam sangkar, nyatanya ia kembali pada nada yang sumbang. Hidup di balik pintu yang terkunci bersama debu dan rasa sepi. Jikapun di masa lampau lensa berbentur sepasang manik penuh cinta, maka saat ini bibir tidak berguna berbicara. Hanya detak jam yang didengar sang telinga. Hanya sibakan gorden yang mampu memperlihatkan sang awan. Sepi.
Soeun memandang gelap. Membiarkan luka menenggelamkannya kembali ke dalam rasa takut. Suara-suara yang merangkak di balik daun pintu tidak mengalihkan pikirannya. Kesadaran itu melangkah jauh meninggalkan nirwana. Membiarkan sang jiwa tinggal bersama debu dari udara bebas.
"Bisakah kau bertahan bersamaku?"
Ada banyak cerita yang ingin bibir itu sampaikan. Pada sosok yang tidak terlihat, namun bertahan tanpa meninggalaknanya. Katakanlah ia bodoh, idiot, tapi Soeun tidak tahu berapa lama waktu yang Tuhan berikan untuknya. Berkenala sepanjang hidup nyatanya tidak membuatnya lepas dari belenggu kebencian. Bertemu jutaan manusia juga nyatanya tidak membuat rasa takut sialan itu menjauh dari hatinya. Jika bukan karena sosok mungil itu, Soeun tidak yakin ia akan bertahan. Menahan isakannya, Jemari-jemari lentik bermain di sepanjang garis perut.
Suatu saat mungkin saja ia tidak akan lagi menyentuhnya. Suatu saat mungkin jemari lemah itu tidak akan mampu lagi menyalurkan cintanya. Namun, satu kali saja; setidaknya jika memang ia tidak diperkenankan menyentuhnya, Soeun bisa menyampaikan rasa sayang itu. Menyampaikan pada sang buah hati, jika di mana pun ia berada, bagaimana pun kondisinya, Soeun akan selalu mencintainya. Mencintai gumpalan darah yang terbentuk dari cintanya.
"Sepi. Aku muak pada gelap. Ini menyakitkan, tapi aku merindukannya."
Air mata kembali terjatuh. Membuat kaos yang melapisi basah, dan mencetak bagian dalam pakaian. Soeun mengusap pipinya kasar. Rindu itu sialan. Menyakitkan dan membuat seluruh sendi di tubuhnya mengilu. Dulu ketika Joon berlari menyongsong tubuh lemahnya, Soeun tahu, seberapa banyak pun orang-orang yang menginginkannya mati, ia masih memiliki satu tujuan hidup. Ia bertahan untuk memberikan pria itu kebahagian. Berharap suatu saat, di salju yang sama, ia bisa membalas semua kebaikan itu, cinta itu, kasih sayang itu, dan seluruh hal yang diberikan Joon di bawah kakinya. Hingga semua hilang. Musnah. Menyisakan sepi tak berujung.
"Berjanjilah, kau akan mencintainya seperti aku mencintainya."
Ya, berjanjilah. Janin kecil itu harus berjanji padanya. Apapun yang terjadi nanti, tidak ada yang boleh membencinya. Mati-matian Soeun bertahan di tengah badai dan benci. Mengutuk kelahirannya; menciptakan luka tak kasat mata dengan menggunakan isakan kepiluan. Membobol dinding-dinding luka menggunakan pisau cacian. Sudah begitu jauh. Di masa lampau, ada tekad di hati itu. Soeun mengingatnya. Bangkit dan berlari, atau mati dalam sepi. Sebelum pada akhirnya sosok itu muncul. Pria itu hadir, dan mengisi seluruh kekosongan.
"Ia ayah yang tampan. Dia baik. Kau tahu, pria itu begitu sempurna."
Pria tampan dengan raut sejuta pesona. Angkuh, dingin, dan irit bicara. Soeun menyukainya. Sejak pertama kali manik almondnya menemukan pria itu duduk seorang diri di bangku taman, seperti pemuda patah hati. Wanita ini begitu memujanya. Berharap dapat bicara, meski hanya sapaan singkat. Tidak banyak orang yang bersedia berteman dengannya. Joon mengatakan mereka terlalu bodoh, tapi Soeun tahu, anak-anak itu tidak menyukainya. Dan Soeun tidak perduli itu setelah beberapa waktu.
Namun pria itu berbeda. Soeun menyukai segala yang ada padanya, meski mereka tidak saling mengenal. Menyukai mata tajamnya yang seolah mampu menguliti si hati. Menyukai suaranya, yang terdengar angkuh, namun menyiratkan kebohongan. Pria itu mengatakan tidak menyukainya, namun Soeun tahu dia suka. Juga menyukai wajah tampannya, yang melukiskan sejuta cinta yang terpendam.
Hari-hari yang berlalu membawanya bertemu kembali pada sorot mata itu. Sorot kejam namun penuh kelembutan. Si lensa elang, yang selau membius kesadaran. Pria itu pernah mengatakan, akan membawanya berlari melintasi sepi. Melindunginya, dan meletakkan dunia di bawah kekuasaannya. Soeun tidak akan pernah lupa janji itu. Janji masa kecil yang mampu membuang perasaan sakitnya. Janji yang membuat Soeun kembali memiliki tujuan hidup. Pria itu menggantikan posisi Joon. Mengikis sang luka, mengubah duka menjadi kebahagiaan.
Dia,
Sang cinta pertama.
"Cintai dia, ku mohon. Aku tidak lagi akan bisa mencintainya."
Kim Sang Bum.
Soeun benar-benar mencintainya. Mencintai sosok dalam keangkuhan. Si pria pongah yang dengan berani mengucapkan janji laknat; yang bahkan tidak mampu ia tepati. Namun sekeji apapun tindakan, nyatanya wanita ini tetap menanti. Apa yang salah pada si hati? Tidak ada.
Hujan yang kembali jatuh terdengar mencemooh. Hembusan angin yang menerjang kelopak daun jendela bukan peluru yang menembus sang jantung. Namun ketika netra membentur bingkai di sisi nakas, air mata itu luruh semakin deras, lengkap beserta dengan denyut pada si jantung.
Wanita ini mengisak lebih keras. Jauh lebih memilukan bersama sengguk di ujung nafas. Mengabaikan jika saja orang-orang jahat itu mendengar suaranya, dan kembali mencacinya. Hati itu begitu sakit. Si paru-paru begitu menyesakkan. Soeun benci merasakan rindu. Ia memukul dadanya kuat. Berharap dapat mengurangi, atau menghentikan tikaman. Sial!! Tuhan tidak pernah adil meski hanya satu kali.
"Sedang apa? Apa kau bahagia?"
"Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu."
"Ku mohon, peluk aku Bum-ah."
"Aku takut."
"Aku, takut."
Meringkuk semakin dalam, isakan wanita ini semakin pilu dan melemah. Sinar mata itu meredup. Pelupuk melindunginya; secara perlahan mengatup. Menghilangkan si warna merah, dan meninggalkan rembesan yang mengalir. Katakan saja mencoba menyembunyikan diri dalam kebohongan, Soeun tidak perduli. Rencana apapun yang pria tua pikirkan, akan menjadi rencana busuk. Biar saja takdir merajut kisahnya sendiri. Soeun akan duduk diam, memperhatikan dari jauh. Kaki itu terlalu lemah untuk beranjak. Biar seperti ini. Ia akan menyerahkan pengendalian tanpa mengikutsertakan si hati.
Mungkin besok, di minggu selanjutnya, atau tahun yang akan datang, semua menjadi rencana si logika. Apapun yang tidak meminta perasaan, akan selalu bermain dalam tangga lagu siksaan. Karena satu kali lompatan yang berbeda, akan menciptakan si sumbang; melukai si telinga hingga tawa tidak akan mampu di dengar.
No comments:
Post a Comment