Lagu terburuk adalah jeritan wanita dalam kehancuran. Berlari tidak berguna, karena bahkan berpindah tidak lagi mampu dilakukan.
🍂🍂🍂
Musim salju telah berganti setelah natal. Tidak lagi terdengar lonceng ataupun lagu yang mengusik si telinga. Lampu-lampu disepanjang jalan tergantikan dedaunan hijau, dan bongkahan es juga telah mencair. Besok adalah awal baru, dan sekolah adalah mimpi buruk bagi para pelajar.
Sederhana saja kata penantian. Waktu yang berlalu tidak menuntut detik menyampaikan lisan. Yang bahkan seseorang lebih memilih menatap kehampaan, dibanding berlari mengelilingi takdir. Nyali tidak lebih besar dari sebiji kecambah, dan bulu hangat menjadi teman tidur yang baik.
Ia masih memilih diam. Masih seperti semula tanpa bergerak seperti angin. Sorot mata masih tertutupi kabut, dan ketidak-perdulian akan dunia. Untuk apa? Itu pertanyaan yang tiap kali hadir membuat si logika menjerit. Bukankah tidak ada artinya? Lalu mengapa?
Semua menuntut jawaban. Sementara ia lelah mencari jawaban. Bergerak berbalik arah, ia memejamkan mata. Malas untuk berinteraksi dengan sesesorang yang menghela nafas di balik tubuhnya. Sekarang waktunya tidur, bukan waktunya berdongeng layaknya bayi kecil.
"Honey, oke ayah minta maaf. Tapi pekerjaan benar-benar mencegat langkah."
Selalu seperti itu! Ia lelah pada alasan. Haruskah orang dewasa berbibir licin? Bermain kata untuk mengelabui? Mungkin jika ia balita berpopok, ia akan mengangguk dan tersenyum. Tapi masalahnya ia berusia sembilan tahun!! Apa yang harus ia lakukan, jika selama satu minggu orang yang di percayainya selalu membuat janji palsu? Dan membuat libur musim dingin menjadi menyebalkan!!
Sungguh, Honey bosan!!
"Sayang, apa kau tidak akan bicara. Beruang cantik ini menangis, kau tahu?"
Cih, menangis?
Lemparkan saja pria tua menyebalkan ini ke rawa-rawa! Bagaimana bisa beruang sinting tak bergerak menangis? Astaga, otaknya bahkan lebih bermasalah.
Honey bergerak, sejurus kemudian sebuah bantal melayang. Tepat menghantam wajah sialan yang membuatnya muak setengah mati. Masa bodoh jika manusia itu mati, karena jika seseorang lain mengetahui perbuatannya, Honey yakin pria itu akan lebih merasakan siksaan dunia.
"Jangan menemuiku!! Kau ayah mesum yang menjijikkan!!"
Ayah sinting! Sebenarnya itu adalah lanjutan angin yang tertahan si tenggorokan. Tapi ya sudah, melihat pria itu membulatkan mata saja sudah membuat hatinya bahagia. Lagi pula apa maksud Tuhan menghadiahkan dirinya ayah laknat yang menyebalkan?
Sepertinya, ibunya saat itu buta.
"Itu tidak sopan girl! Belajar pada siapa menjadi berandal?"
"It's not your bussines!!"
Honey mengulum senyum ketika pria kesayangannya itu berdecak dengan kesal. Ayahnya tidak pernah marah, dan itu adalah satu poin khusus mengapa ibunya bertahan di sisi laki-laki itu.
"Fine. Lupakan saja. So, baby girl, apa yang kau inginkan?"
Dan ini yang sejak tadi ia inginkan.
Jangan menyimpan amarah lebih dari matahari tenggelam
Kata-kata itu selalu mampu menenangkan emosinya yang bergejolak. Usianya mungkin hanya sembilan tahun, namun logikanya mewarisi kecerdasan yang luar biasa.
Honey melepaskan senyum tertahannya. Melangkah sedikit berlari, lantas menejang si objek tampan yang sejak tadi berdiri frustasi. Tentu saja. Pria itu akan gila jika putrinya tidak bicara lebih dari satu hari, kepadanya.
"Ceritakan lagi."
Dan, untuk yang kesekian kali ia mendesah berat. Merangkai masa lalu adalah hal yang rumit. Honey tidak mengerti, tapi ia juga tidak akan bisa mengelak. Selama ini, ia yang menjadi teman gadis mungil ini. Mencoba kuat, dan melupakan misteri sinting yang merenggut kebahagian sahabatnya.
"Kau yakin? Matahari sudah tidak terlihat. Malaikat pencabut nyawamu akan membunuhku jika mengetahui kau tidak tidur."
"Dia pergi. Percayalah, aku tidak berbohong."
Siapa yang perduli? Pria ini mendebat dalam hati, kemudian beranjak dengan membawa serta sang koala cantik. Bukan kegiatan yang ia khawatirkan, melainkan kemunculan yang tiba-tiba. Honey tidak mengetahui jika malaikat tidak akan bisa bernegosiasi.
"Oke baiklah. Jadi, kita mulai dari mana?"
Honey menyipitkan matanya. Jemari yang semula memeluk erat leher sang ayah, berpindah mengusap dagu, persis seperti seseorang. Hujan terdengar merintik menimbun dedaunan. Jendela yang tidak tertutup membuat bau tanah menyeruak penciuman. Honey menarik nafasnya. Wangi. Ia suka aroma hujan. Ibunya pernah berkata, hujan adalah teman baiknya. Teman yang selalu hadir dalam perjalanan masa pertumbuhannya.
Mungkin sebaiknya mereka mulai dari yang terakhir. Honey ingat tokoh utama tewas ketika menyelamatkan istrinya. Itu tragis, tapi juga romantis. Sepertinya gurunya salah mengatakan, jika Romeo dan Juliet adalah kisah tragis dan romantis. Nyatanya, Kisah Conqeror Chocolate jauh lebih tragis dan romantis.
Cokelat penakluk.
Honey tersenyum kecil. Mengabaikan sang ayah yang melipat alis, bingung. Ia ingin seperti tokoh sang wanita. Yang meski hidup dalam kesengsaraan, namun tetap kuat dan bahagia. Menentukan jalan hidupnya sendiri, dan yang terpenting, bertemu dengan cinta pertama yang menjadi cinta terakhir. Astaga. Honey bergelung malu, ia benar-benar menginginkan kisah romansa.
Sementara pria ini, ia hanya mampu mendengus sebal. Tingkah putrinya semakin hari semakin menggelikan. Apa-apaan itu? Bergelung layaknya landak! Apa gadis kecil itu sedang merasakan puber pertama? Sinting! Istrinya akan membunuhnya jika sampai itu terjadi.
"Berhentilah bersikap seperti orang sinting Kim Rebeca Honey!! Atau kita batalkan perjanjian."
"Tidak bisa!!"
Ranjang begitu rapi beberapa detik yang lalu, namun kini nampak seperti gumpalan kain yang kumuh. Jika sang ibu melihatnya, pria ini yakin mereka akan tidur di balik pintu utama.
Honey masih asik tersenyum sinting, namun dengan cepat pria ini meraup gemas wajah cantik itu, dan mengabaikan tatapan sengit yang dilemparkan pada lensanya. Waktu mereka kurang dari dua jam. Atau jika tidak nyawanya akan berakhir malam ini.
"Jadi, apakah pria itu benar-benar mati?"
Tepat.
Pria ini yakin pertanyaan itu yang akan pertama kali muncul. Putri kecilnya sepertinya begitu penasaran. Menarik nafasnya dalam, pria ini mengangguk lemah. Masa lalu selalu menjadi tekanan yang mampu menghancurkan.
"Takdir lebih mencintainya."
Honey menekuk bibirnya. Menyedihkan. Takdir begitu buruk. Pria tampan itu, jika saja saat ini ia berada di dekatnya, akan Honey pastikan ia bahagia. Honey siap menjadi cinta pertamanya.
"Apa Tuhan hanya menyaksikan saja? Miracle? Momy pernah mengatakannya."
"Jangan dengarkan momy-mu. Wanita itu suka menyembunyikan sesuatu." Lagi pula tidak baik menipu darah sendiri.
"Tapi, bayi itu tidak akan mengenal ayahnya." Menahan air matanya, Honey melata mendekati sang ayah, lantas memeluknya erat. Dan sedetik kemudian, isakan menjadi teman si hujan.
Pria ini tersenyum. Honey benar-benar mewarisi sikap ibunya. Cengeng, manja, dan menyebalkan. Namun juga berhati lembut. Sayang sekali pria di masa lalu itu tidak melihatnya. Takdir memang sangat kejam. Dan ia benci mengakui berada di tempat yang tidak seharusnya.
"Lebih baik kita tidur. Ayah tidak suka melihatmu menangis. Oh hati ayah, ayah merasa akan mati."
Menyentuh dadanya, ia meringis begitu lemah. Membuat sang gadis tertawa, kemudian mendorongnya dengan kasar. Shit!! Actor laknat! Ayahnya sangat tidak cocok bermain sandiwara. Lihat saja, akan Honey laporkan pria mesum itu pada Sang Woo. Dan besok kakeknya itu akan menyerahkan potongan kepala padanya.
"Aku tidak mengantuk bodoh!! Aku butuh penjelasan. Kenapa pria itu tidak dibawa ke rumah sakit? Ku rasa dia pasti akan bertahan."
Bodoh?
Pria ini menyesal jarang berada di dekat putrinya. Hingga para pengasuh sialan itu teledor mengajari cara bicara yang benar.
"Waktu tidak berpihak sayang. Kimbum mati tepat setelah mengatakan kalimat terakhirnya."
Pria ini memelankan suaranya. Memandang plafon, dan merangkai kembali masa lalu. Darah, luka, jeritan, dan—, Soeun. Semua menjadi lagu pengantar mimpi buruk dalam hidupnya. Bertahun-tahun, bahkan pria ini lupa bagaimana caranya bangkit.
Ketika wanita itu mengalami pendarahan, hal yang pertama kali ia lakukan adalah memandang kosong. Hari itu, ia tidak mengerti apapun, kecuali panggilan yang dilakukan Sang Woo. Sesaat setelah pria itu menyampaikan Kimbum menghilang, pria ini segera menembus hujan. Waktu adalah musuh baginya. Rahasia-rahasia yang terkuak membuatnya membenci hujan.
Namun ia lebih membenci dirinya sendiri. Ia lupa mengikuti si hati. Cinta membuatnya menutup mata begitu rapat. Hingga ia tidak pernah menyadari Kimbum tidak tertangkap oleh netra. Sepuluh hari, cinta yang terpendam membuatnya tertimbun perasaan marah. Dan saat itu, ketika Siwon menariknya pergi, ketika tubuh gagah itu runtuh, ketika jeritan Jhin Ae memukul pendengaran, pria ini tahu ia terlambat. Ia terlalu bodoh. Ia terlalu dungu. Dan ia terlalu bajingan.
Sejauh itu ia berlari, nyatanya ia tidak bisa menyelamatkan sahabatnya. Bertahun-tahun pria itu memberikannya tempat terbaik, namun hanya untuk satu kali, ia bahkan tidak mengulurkan tangannya. Kimbum berusaha sendiri. Menyelesaikan masalah yang tidak diperbuatnya dengan mempertaruhkan nyawanya. Bukankah ia pecundang? Ia bahkan jauh lebih buruk dari seorang Kim Sang Bum.
Aku mencintaimu.
Mencintainya. Bahkan hingga malaikat tiba, Kimbum berusaha menyampaikan kalimat indah di sisa nafas terakhirnya. Nyatanya, Kimbum mencintai jauh lebih tulus. Pria ini mengusap air matanya, tanpa menyadari sang putri telah menghilang dari sisinya. Dan tanpa menyadari seseorang kini tengah menatapnya dengan lensa penuh kebencian.
"Park Bogem!!"
"Kim So Eun"
No comments:
Post a Comment