🍂🍂
Pergantian musim mungkin adalah jalan pembuka bagi kematian. Langkah kaki tak bertuan seolah menggiring jiwa ke bibir jurang yang terjal. Memaksa masuk ke dalam lubang neraka. Semua terlihat menyedihkan. Kejadian buruk menjadi trauma yang paling mengerikan.
Gelap dan pengap, suasana tidak mendukung cara bernafas. Menghalau pikiran baik, hingga logika tenggelam akan rasa penyesalan. Lamat-lamat akar dari permasalahan menyisakan ingatan buruk; menjadi mimpi buruk dalam tidur. Meninggalkan kenangan yang tidak akan mampu dilupakan sang otak, meski jiwa melayang pada dunia berbeda.
Hari telah berganti begitu banyak dari waktu yang terbuang. Pria ini membuka matanya. Memandang pekat yang membelenggu pupil. Fajar masih bersembunyi, lari dari kejaran para penguasa malam. Para burung nampak lebih memilih memendam mata di balik dedaunan hijau. Menikmati sunyi bersama nyanyian merdu para jangkrik. Hujan berhenti setelah gelegar di tengah malam. Hembusan angin jauh lebih dingin, namun bagi si tubuh, sepi lebih buruk dari pada keributan. Biar saja jeritan tawa dan makian memenuhi gendang si telinga, di banding tawa para laknat yang tidak terlihat namun bisa terdengar.
Mungkin dari sejuta penyesalan hanya ada sebuah siksaa yang mampu menghancurkan seseorang. Pria ini menatap kosong hamparan awan. Seolah lensa mampu menembus timbunan asap yang tidak terlihat. Gelap bukan berarti buta, dan hitam bukan berarti tinta. Masih ada cahaya dari pijaran sang bulan. Matahari masih berperan penting meski si bola berlubang menutupinya dari pandangan sang netra.
Dari kejauhan yang tampak seperti ukiran rasi bintang; memperlihatkan di suatu tempat tak terlihat, ada lensa yang juga memandang dalam kesendirian. Pria ini mengisak. Meremas jantung dari balik selimut yang tebal. Wajah yang putih jauh lebih lusuh dari pakaian kumuh. Wajah yang tampan terlihat mengerikan diwarnai hitam pada lingkaran pelupuk mata. Angin terdengar bising menerjang gendang telinga yang berusaha di tuliskan. Menelan tangis yang belum berkesudahan meski satu pekan berlalu begitu panjang. Layaknya gelas pecah yang tidak akan pernah bisa sempurna meski lem merekat pada dinding-dinding yang ringkih. Retakan menyisakan bekas yang tak tersentuh, hingga api meleburkan dendam.
"Kau di mana? Katakan padaku ke mana bajingan itu membawamu."
Tiap kali bibir itu berbisik, tiap kali itu pula pria ini menjerit dalam gelap. Rasa sakit itu menghancurkan pertahanan. Hingga untuk bangkit pun ia tidak lagi mampu. Tangan kekar tidak berguna untuk meraih. Si kaki menjadi lumpuh tiap kali mata menyusuri sudut ruang terakhir. Ia benar-benar lumpuh. Tujuan hidup yang tidak terlihat membuatnya benci untuk bernafas. Jika saja bisa berlari, maka pria ini lebih memilih menerjang mobil yang melaju. Jika saja bisa mengakhiri, maka pria ini akan meraih racun. Tikus akan merenggang nyawa hanya dengan sepotong keju bersianida, namun manusia akan mati hanya dengan sesendok pembersih lantai. Ia tidak takut sakit, karena rasa sakitnya jauh lebih menyiksa.
Namun pria ini tidak bisa. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Menangis tidak menimbulkan lelah, tetapi menanti hanya seperti orang bodoh. Jika ia pergi, maka bagaimana dengan gadisnya? Jika ia mati, maka siapa yang akan melindungi nafasnya? Jika ia pergi, maka tidak akan pernah ia memiliki kesempatan menemui malaikat cintanya. Sumber kekuatannya hingga detik ini. Sumber kebahagiaannya ketika ia dipaksa menjalani kebohongan. Walau mungkin hanya satu jam, satu menit, atau bahkan satu detik, ia akan menikmati siksa waktu terakhir.
"Kembali. Aku merindukanmu. Ku mohon sayang, katakan padaku."
Ia sudah mencari cintanya hingga ke tempat yang mungkin saja pria laknat itu kunjungi. Ia mengunjungi sudut-sudut gelap, rumah kumuh, gudang tua, bahkan Jepang; tempat dimana wanita mungil itu bertumbuh. Tapi Kimbum tidak menemukannya. Matanya seolah tertutupi kabut yang pekat. Dan kecerdasan seolah direnggut paksa bersama nafas yang tersendat-sendat. Sungguh, jika belati mampu mengembalikan wanitanya, maka Kimbum akan tikamkan sudut runcing pada sang jantung, tepat di depan mata wanita mungil itu. Biar saja dunia mengutuknya. Mencemooh kelemahan, asal wanita itu kembali, ia akan bahagia.
"Kenapa seperti ini Tuhan? Dari sekian banyak doa umat, aku hanya meminta satu. Apa permintaanku begitu sulit?"
Memejamkan matanya erat, Kimbum tidak perduli jika pita suara menjadi rusak. Isak-isak yang terdengar merangkai nada kelam yang menyakitkan. Gemerisik dedaunan berbunyi kecil seolah ikut menyampaikan pada sang angin, betapa hancurnya pria itu. Betapa menyedihkan kisah cintanya. Betapa kejamnya sang takdir mempermainkan jalan hidup. Ia yang mencintai sepenuh hati, harus kalah oleh permainan sialan. Ia yang menanamkan akar cinta begitu dalam, harus menarik akar itu hingga tubuh rusak dan berdarah. Percuma bertahan, bahkan bagai patung tidak mampu mengembalikan sang waktu. Seandainya detik memihak, menolak takdir menentukan, maka kisah cinta itu tidak akan pernah hilang.
Tidak akan meninggalkan luka.
Dari balik pintu, Sahee membekap mulutnya. Menyembunyikan isakan dalam lingkup tangan renta. Putranya hancur lebih dari yang Gyuri lakukan. Sosok tangguh itu tergeletak dalam diam hanya untuk menanti istrinya pulang. Tidakkah Tuhan begitu kejam?
Kimbum mencarinya. Mencari si cinta pertama hingga mengabaikan kesehatannya. Berlari seperti orang gila tiap kali seseorang menekan bel rumah. Mengabaikan pekerjaannya yang bahkan tidak pernah ia lakukan. Menyiksa tubuhnya dengan berulang kali mencoba mengakhiri hidupnya. Tidakkah takdir itu keterlaluan? Tidakkah ada kesempatan bagi pria itu?
"Nak," berbisik lirih, Sahee melangkah lebih mendekat. Ada tikaman di hatinya ketika pria di balik selimut itu tidak bergeming menatapnya. Sejak dulu, Kimbum menutup dirinya. Memilih menjadi pecundang yang gila bekerja. Mengabaikan keluarganya. Menganggap jika ia hidup hanya seorang diri. Namun hanya sampai saat itu. Ketika Soeun muncul, Kimbum kembali seperti dulu. Ia bertanya apakah Soeun cinta pertamanya? Dan Sahee mengatakan, ya. Tidak ada yang salah. Hari dimana Soeun menghilang di jeju, itu adalah hari kehancuran pertama kali Kimbum.
Untuk pertama kalinya pria itu mabuk. Sakit yang menikam tubuhnya membuat Kimbum lupa akan kesadaran. Entah karena apa, tapi Sahee tidak percaya pada setiap kalimat Minjae.
Kimbum tidak mungkin menyentuh Gyuri, sementara pria itu mengetahui siapa sebenarnya cinta pertamanya. Ketika Soeun jatuh pingsan, pria itu berteriak memaki semua orang. Berkali-kali Kimbum memakinya yang menutupi penyakit itu. Kimbum menjaga Soeun seperti menjaga hidupnya. Tidak membiarkan wanita itu jatuh sakit kembali. Tidak membiarkan wanita itu bersedih. Mati-matian mencari rumah sakit terbaik untuk penyembuhan Soeun. Lalu bagaimana bisa hati itu berselingkuh? Bagaimana bisa ia melakukan tindakan bodoh yang akan membunuhnya secara perlahan?!
Tidak! Putranya tidak semenjijikkan itu. Semua hanya permainanan bodoh rangkaian Siwon. Sahee menyesal tidak mengetahui segalanya sejak awal. Harusnya Kimbum menolak. Seharusnya pria itu membelenggu istrinya. Tapi kenapa??! Apa yang sebenarnya terjadi?!
Sahee tahu betul siapa putranya. Kimbum mencintai Soeun begitu luar biasa. Mengetahui sosok cinta pertamanya membuat pria itu jauh lebih ketat menjaga Soeun. Sakit wanita itu bahkan memaksa Kimbum menjadi pribadi yang lebih pendiam, hingga ada banyak hal yang tertutupi.
"Dungu adalah cara bersembunyi sayang. Kau bahkan mampu menaklukkan egomu. Ini menjijikkan Kimbum. Apa kau tidak bisa bangun? Apa kau lumpuh?!"
Berulang kali bibir itu menjerit sakit. Sahee menatap benci Kimbum. Menangis keras ketika tidak ada jawaban. Ia lelah melontarkan makian dan permohonan. Karena apapun yang ia lakukan, tetap saja pria itu diam dalam kebodohan. Mengabaikan setiap manusia yang mencoba menyadarkannya. Menatap kosong dengan lafalan yang sama. Soeun. Bukan hanya Kimbum, Sahee bahkan berharap semua ini hanya mimpi. Tiap kali matanya terpejam, Sahee selalu berharap Soeun kembali saat fajar menyingsing.
"Ibu mohon Kimbum, harapan wanita tua ini hanya pada sepasang kakimu. Jika kau mencintainya, maka bawa dia kembali. Bawa putriku kembali." Bawa Soeun kecilnya kembali. Jika air mata tidak bisa menghancurkan benteng kedunguan itu, maka Sahee akan menjatuhkan kepalanya di atas marner. Bukan hanya Kimbum yang kehilangan. Ia bahkan melupakan putrinya. Melupakan cara makan yang baik. Melupakan cara tidur setiap malam. Bukan hanya Kimbum yang terluka. Sang Woo bahkan berulang kali menghancurkan tangannya. Tembok putih tidak lagi bersih. Bercak darah menjadi corak menyedihkan.
Berdiam diri tidak akan membuat Soeun kembali. Jika berlari bisa mempertemukan titik persimpangan si luka dan harapan, maka Sahee akan memaksa Kimbum lari sejauh mungkin. Takdir memang kejam. Tapi Tuhan murah hati. Sahee merapalkan kembali kalimat itu. Beribadah setiap minggu tidak akan membuatnya suci, tapi penggalan ayat kitab suci mengajarkan pengharapan. Seburuk apapun makian, ia tetap di sana. Mendengar setiap keluh kesah umatnya, dan memberi jalan menggunakan jalannya sendiri.
"Waktu tidak berjalan mundur Kimbum. Setiap detik yang berlalu, Soeun di sana menunggumu. Kau harus bangkit nak. Percayalah pada hatimu."
Mengusap air matanya, Sahee meghela nafas untuk menghentikan isakannya. Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan. Kalimat itu akan merasuk ke dalam darah. Sahee beranjak meninggalkan Kimbum. Menatap dalam kesenduan, sebelum akhirnya menutup katupan pintu memisahkan jarak.
Percuma memaksa, itu tidak akan membuat kekeraskepalaan berubah. Sahee akan biarkan Kimbum bergelung. Tidak akan sia-sia seorang ibu merawat dan mendidik anaknya. Satu tarikan nafas sang putra pun memberi jawaban jika pria itu mendengarnya. Jika bukan sekarang, maka nanti kaki lemah itu akan beranjak. Cepat atau lambat, Soeun akan kembali, dan Kimbum yang akan membawanya.
🍂🍂
Part 51-53 gak ada sama part 61-66 juga ka
ReplyDelete