Search This Blog

Friday, May 1, 2020

Conqeror Chocolate 73 (Spesial Part 2)








"Park Bogem!!" 

Pria ini melebarkan matanya. Sedetik kemudian mencicit tidak percaya. Entah bagian itu adalah takdir atau hanya sekedar trik dari sang bola mata, Bogem mengumpat menyadari Tuhan sekali lagi mempermainkannya. 

Hujan yang semula hanya rintikan kecil, perlahan berubah menjadi curahan air yang lebat. Bogem menarik malas tubuhnya dari atas ranjang, lantas mengalihkan pandangannya pada daun pintu yang terbuka. Di sana, detak jam tidak lagi terdengar.  Gemuruh curahan air juga mendadak mendengung menghunus si gendang telinga. Hingga tidak ada suara apapun setelah jeritan kemarahan, selain lensa mata yang memerah memperhatikan tikaman kejam.

"Kim So Eun." 

Tapi bukan itu fokus utama lensanya. Melainkan sosok yang berdiri tepat di balik punggung wanita mungil itu, yang kini juga tengah menatapnya dengan pandangan yang,— sulit dijabarkan. Sepertinya setan kecil baru saja merangkai kebohongan kepada sang ayah,  yang juga tentu saja mengancam keselamatannya. 

Lima menit yang lalu nada masih melontarkan kisah usang. Hanya berganti detik, kini tawa juga air mata yang sempat mewarnai berubah menjadi deru nafas kekesalan. Amarah yang bergelung di kepala terlihat seperti kepulan asap dalam cerita anak-anak. Salah jika ada yang mengatakan mustahil sesuatu akan terjadi jika tidak sesuai dengan logika. Nyatanya, tepat beberapa centimeter di depan sana asap itu bagaikan rebusan ubi di atas panci.

"Ah, hai, Soeun. Kalian sudah tiba? Sejak kapan? Seharusnya nikmati sup di meja makan." 

Tersenyum kikuk, Bogem memandang polos ke depan. Berpura-pura dungu, dan menjadi tuan rumah yang baik.  Ia mungkin terlihat sinting, namun itu lebih baik dibanding mengatakan maaf, yang pada akhirnya, dan akan sangat pasti berakhir dengan kemurkaan. Makhluk hidup dengan lensa mematikan itu tidak bisa diajak bernegosiasi untuk hal-hal yang sensitif. 

"Sialan!! Apa kau mencoba merusak otak putriku? Seingatku aku memintamu menjaganya, bukan merangkai cerita terkutuk!!"

Sayangnya, waktu tertawa di sela-sela bisikan angin.  Jeritan yang mendera telinga terasa begitu menyakitkan. 

Bogem memejamkan mata demi meminimalisir dengung sialan. Bibir bajingan!! Sepertinya kehilangan pita suara bagus untuk pria itu.  Suaranya bahkan serupa dengan raungan singa di huta. 

Bogem benar-benar menyesal mendekati sarang penyamun berusia sembilan tahun.  Harusnya ia memilih menjalankan perintah istrinya untuk mengganti popok Luna, dan ingat jika Honey memiliki tabiat yang buruk, persis seperti ibunya. 

"Bukan begitu, aku hanya sedang membuat dongeng. Honey sulit tidur. Ku rasa itu tidak terlalu buruk."  

Memandang sang tokoh utama, Bogem beranjak kecil menjauhi ranjang. Berdiri bersisian pada lemari putih yang menjulang. Bersiap-siap jika saja iblis berwajah malaikat itu menyemburkan serangan mematikan. Tangan pria itu boleh saja memangku darah dagingnya yang menyebalkan, yang kini dengan kurang ajarnya tertawa sembari memeluk leher ayahnya; namun sebelah saja cukup untuk melemparkan vas bunga di atas nakas. 

"Dongeng? Stupid!! Gadis mana yang akan percaya pada tipuanmu!! Ayah bodoh!! Luna akan menyesal memiliki ayah sepertimu!!"

"Yaa!! Kenapa kau membawa-bawa putriku?! Lagi pula Honey yang memaksaku untuk bicara!!"

Oh Tuhan, selamatkan dirinya. Bogem berjengit kesal, ketika jeritan makian menghantam tepat di gemuruh jantung. Membuat rasa takut menyergap si pikiran. Sialan!! Pria itu tidak berubah ketika marah. Selalu saja berteriak-teriak layaknya orang hutan. 

Bogem yakin saat ini Jiso pasti sedang tertawa bahagia di bawah sana. Wanita kecil itu pasti sengaja tidak berteriak ketika tamu sialan dihadapannya ini muncul. Soeun dan Jiso memang tidak jauh berbeda. Kedua wanita itu memang perusak hati yang sangat menyebalkan. Terlebih untuk saat ini. Bogem mengumpat di dalam hati mana kala Soeun hanya  memangku tangan angkuh, dan sama sekali tidak terlihat berniat menyelamatkannya. 

"Kau mengalah pada anak kecil? Potong saja penis sialanmu itu!"

Apa? 
Kalimat macam apa itu?
Bogem mendesis tidak terima. 

"Bicara pada putrimu, bukan padaku!!" 

Yang benar saja!! Memang bicara itu salah? Lagi pula gadis kecil itu yang memaksanya, bukan dirinya yang berkhianat. Warna pada memori akan tetap sama. Tiak akan ada yang berubah. Mungkin cerita menciptakan kesan buruk yang salah, namun logika tidak akan meninggalkan kesan pecundang bukan? Jadi apa yang harus ditakutkan? Kenyataan bahkan ia masih berdiri dengan pongah dan menyebalkan. 

"Kalian seperti bocah. Lagipula oppa, kenapa kau menceritakan hal buruk padanya. Kau membuat putriku bersedih. Ia selalu sulit tidur, kau tahu??" 

Bogem menarik nafasnya. Mengabaikan tikaman lensa yang diarahkan sang sahabat, kemudian duduk di atas ranjang. 

"Maaf, aku hanya—, mengulang kisah." 

Mengulang cerita menyedihkan yang selalu berhasil membuatnya menjadi pecundang.  Bogem menatap lantai hambar. Mengabaikan Soeun yang menghela nafas lelah. Air mata sialan selalu jatuh tiap kali si otak berhasil merangkainya.  Gelap melemparkan mimpi buruk dalam penyesalan. Seberapa jauh pun kaki itu berlari, ia tetap saja berhenti di tempat yang sama. 

"Gunakan otakmu lebih bijak!! Jangan menggunakan namaku bodoh!!" 

Namun sekali lagi, air mata tertahan di balik pelupuk. Bogem mengerang kesal. 

"Kau yang bodoh!!" balasnya cepat. Sedetik kemudian menggingit bibirnya keras. Menyesal. Lensa yang meredup menyambar kesadarannya. Bodoh!! Udara yang lembab membuat otaknya menjadi lebih dungu dari pada seekor keledai. 

Untuk beberapa detik keduanya bungkam. Membiarkan angin menciptakan bisik-bisik tersendiri. Soeun tidak terlihat. Mungkin wanita itu mencari seteko teh, setelah sebelumnya meraih Honey dari dekapan sang ayah.  Tapi itu lebih baik. Bogem tersenyum kecil. Langkah kaki yang terseret paksa memaksa lensanya ikut bergerak. Awan jauh lebih gelap dari satu jam yang lalu. Hujan juga sepertinya enggan untuk mengalah. 

"Maaf,"

Satu kata itu, Bogem tidak mengerti apa maksudnya. Pria itu memutar tubuhnya. Mengikis langkah, kemudian duduk di tepi ranjang, tepat di sisinya. Aroma kekuasan jelas menyebar dari lensa yang memicing. Namun entah mengapa, Bogem merasa hangat.  Hingga tanpa sadar air mata itu jatuh, dan jemari menjulur. Mendekap erat tubuh kekar yang begitu dirindukannya. 

"Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu Bum-ah. Maaf."

Dulu, tidak pernah ia bayangkan mampu bernafas lebih baik. Ketika peluru menembus lapisan perut, waktu mengatakan batas akhir sang nafas. Ia menjerit dalam kegelapan. Menyalahkan sosok tak terlihat atas segala takdir yang terjadi. Bogem membenci si pemilik dunia. Membenci tutur yang menghancurkan rasa. Membenci kisah di balik masa lalu. Membenci para petugas yang menyatakan kematian. 

Pria itu pergi meninggalkannya. Bogem benci kalimat itu.  Ia tidak bisa menerima kenyataan. Ia menerjang pintu terkatup. Memaki seluruh manusia yang tidak becus menyelamatkan sahabatnya. Memukul dokter membabi buta, hingga para pengaman melemparkannya ke jalanan. Kehancuran itu membuatnya ingin mati saat itu juga. Hingga, Siwon menariknya. Membawanya masuk ke dalam ruang redup yang sunyi. 

Adakah sakit yang melebihi tekanan batin? Tidak ada!! 

Saat itu hanya menangis sakit yang bisa bibir itu lakukan. Tubuh rapuh Soeun. Hingga detik ini Bogem takut mengingatnya. Selang-selang yang mengelilingi, bunyi sialan yang memekakkan, itu yang pertama, dan terakhir baginya. Namun, jeritan bayi kecil mengalihkannya. Memaksanya membuka mata jika semua belum berakhir. 

Kim Rebeca Honey, itu nama yang Kimbum berikan, satu bulan sebelum kejadian terkutuk itu. 

Jauh sebelum bibir merangkai kebohongan, Kimbum mengatakan padanya, jika suatu saat ia tidak bisa melakukannya, maka dirinya yang harus melakukan itu. Bukankah pria itu jahat? Saat itu Soeun mengalami operasi besar seorang diri. Berjuang diambang kehancuran dan kematian. Melahirkan gadis kecil itu tanpa mengetahui maut sudah merenggut kekasih hatinya. 

Kim Rebeca Honey. 

"Rebeca kesayangan Kimbum.

Tapi bahkan pria sinting itu membiarkan putrinya lahir tanpa dirinya. Kimbum bodoh. Bogem ingin mengatakan itu, namun tidak bisa. Yang bisa ia lakukan hanya menangis. Memohon ampun pada bayi kecil yang bahkan hanya mampu bermain mata. Nada tangisan menjadi penghancur benteng pertahanan. Kesalahannya, menutup hati, hingga sahabatnya merenggang nyawa. Cinta membuatnya menjadi pecundang menjijikkan. Soeun menjadi mayat hidup, dan Kimbum menjadi mayat seutuhnya. 

Hari itu Bogem menjadi sialan yang tidak pantas hidup. Berteriak sekalipun tidak menciptakan kejaiban, kecuali rasa marah. Namun jeritan haus malaikat kecil itu menciptakan kisah baru. Ia membangunkan sang ayah dari tidur lelapnya. Kim Rebeca Honey, Bogem mencintainya begitu dalam.

Soeun koma selama musim semi. Meninggalkan kesedihan mendalam, namun Honey menciptakan kepercayaan. Bayi kecil itu aktif menangis, seolah meminta sang ayah untuk memeluknya. Meski pada akhirnya hanya detak jantung yang menjawab. Salah jika ada yang mengatakan menunggu itu membosankan. Karena saat itu ia tidak jenuh. Bogem tidak lelah. 

Ia percaya, jika saatnya tiba, pria itu akan kembali bangun. Bangun, dan kembali mengusik kehidupannya. Seperti waktu yang silam, ketika persahabatan belum terusik cinta yang salah. 

Dan setelah waktu yang panjang, di akhir kisah, mata itu terbuka. Natal kedua sang batita kecil membuat Soeun menangis, setelah satu setengah tahun bungkam layaknya wanita bisu. Tuhan menciptakan nada baru dalam perjalanan hidup si gadis kecil. Meski harga yang mereka bayar begitu mahal. Dimana pria itu menjadi manusia yang baru. Kimbum melupakan segalanya. Melupakan dirinya. Melupakan kisah kejamnya. 

Nyatanya, kesadaran itu membuat satu perubahan.  Menyisakan satu ingatan.  
Kim So Eun. 


.
.
.

Tamat

🍁🍁

Finish. Janjiku sudah aku penuhi ya. Aku harap kalian semua bahagia. Meski pada akhirnya jalan cerita ini ke mana-mana.  😂😂
Untuk part awal belum bisa aku publish. Kalian yang mau baca bisa mampir di web pribadi aku, karena yang di sana belum aku hapus. 

Maaf jika tersebar typo di sana-sini. Dan jika kalian bertemu, abaikan saja hahaha

Aku juga mau berterimakasih kepada kalian semua atas respon yang luar biasa. Cerita ini, aku nggak pernah menyangka akan banyak peminatnya. Bahkan komentar kalian bisa tembus di atas 50. Itu benar-benar luar biasa. 

Aku cinta kalian, dan terimakasih untuk setiap support yang kalian berikan. 

Hug from me mates. 
Bye bye...

Sampai bertemu di karya lainnya. 

Tertanda,

Istri sah Minhyuk

Conqeror Chocolate 72 (Spesial Part 1)















Lagu terburuk adalah jeritan wanita dalam kehancuran. Berlari tidak berguna, karena bahkan berpindah tidak lagi mampu dilakukan. 



🍂🍂🍂



Musim salju telah berganti setelah natal. Tidak lagi terdengar lonceng ataupun lagu yang mengusik si telinga. Lampu-lampu disepanjang jalan tergantikan dedaunan hijau, dan bongkahan es juga telah mencair. Besok adalah awal baru, dan sekolah adalah mimpi buruk bagi para pelajar. 

Sederhana saja kata penantian. Waktu yang berlalu tidak menuntut detik menyampaikan lisan. Yang bahkan seseorang lebih memilih menatap kehampaan, dibanding berlari mengelilingi takdir. Nyali tidak lebih besar dari sebiji kecambah, dan bulu hangat menjadi teman tidur yang baik. 

Ia masih memilih diam. Masih seperti semula tanpa bergerak seperti angin. Sorot mata masih tertutupi kabut, dan ketidak-perdulian akan dunia. Untuk apa? Itu pertanyaan yang tiap kali hadir membuat si logika menjerit. Bukankah tidak ada artinya? Lalu mengapa? 

Semua menuntut jawaban. Sementara ia lelah mencari jawaban. Bergerak berbalik arah, ia memejamkan mata. Malas untuk berinteraksi dengan sesesorang yang menghela nafas di balik tubuhnya. Sekarang waktunya tidur, bukan waktunya berdongeng layaknya bayi kecil. 

"Honey, oke ayah minta maaf. Tapi pekerjaan benar-benar mencegat langkah." 

Selalu seperti itu! Ia lelah pada alasan. Haruskah orang dewasa berbibir licin? Bermain kata untuk mengelabui? Mungkin jika ia balita berpopok, ia akan mengangguk dan tersenyum. Tapi masalahnya ia berusia sembilan tahun!! Apa yang harus ia lakukan, jika selama satu minggu orang yang di percayainya selalu membuat janji palsu? Dan membuat libur musim dingin menjadi menyebalkan!!

Sungguh, Honey bosan!!

"Sayang, apa kau tidak akan bicara. Beruang cantik ini menangis, kau tahu?"

Cih, menangis? 

Lemparkan saja pria tua menyebalkan ini ke rawa-rawa! Bagaimana bisa beruang sinting tak bergerak menangis? Astaga, otaknya bahkan lebih bermasalah. 

Honey bergerak, sejurus kemudian sebuah bantal melayang. Tepat menghantam wajah sialan yang membuatnya muak setengah mati. Masa bodoh jika manusia itu mati, karena jika seseorang lain mengetahui perbuatannya, Honey yakin pria itu akan lebih merasakan siksaan dunia. 

"Jangan menemuiku!! Kau ayah mesum yang menjijikkan!!"

Ayah sinting! Sebenarnya itu adalah lanjutan angin yang tertahan si tenggorokan. Tapi ya sudah, melihat pria itu membulatkan mata saja sudah membuat hatinya bahagia. Lagi pula apa maksud Tuhan menghadiahkan dirinya ayah laknat yang menyebalkan? 

Sepertinya, ibunya saat itu buta. 

"Itu tidak sopan girl! Belajar pada siapa menjadi berandal?" 

"It's not your bussines!!"

Honey mengulum senyum ketika pria kesayangannya itu berdecak dengan kesal. Ayahnya tidak pernah marah, dan itu adalah satu poin khusus mengapa ibunya bertahan di sisi laki-laki itu. 

"Fine. Lupakan saja. So, baby girl, apa yang kau inginkan?" 

Dan ini yang sejak tadi ia inginkan. 

Jangan menyimpan amarah lebih dari matahari tenggelam

Kata-kata itu selalu mampu menenangkan emosinya yang bergejolak. Usianya mungkin hanya sembilan tahun, namun logikanya mewarisi kecerdasan yang luar biasa. 

Honey melepaskan senyum tertahannya. Melangkah sedikit berlari, lantas menejang si objek tampan yang sejak tadi berdiri frustasi. Tentu saja. Pria itu akan gila jika putrinya tidak bicara lebih dari satu hari, kepadanya. 

"Ceritakan lagi."

Dan, untuk yang kesekian kali ia mendesah berat. Merangkai masa lalu adalah hal yang rumit. Honey tidak mengerti, tapi ia juga tidak akan bisa mengelak. Selama ini, ia yang menjadi teman gadis mungil ini. Mencoba kuat, dan melupakan misteri sinting yang merenggut kebahagian sahabatnya.

"Kau yakin? Matahari sudah tidak terlihat. Malaikat pencabut nyawamu akan membunuhku jika mengetahui kau tidak tidur."  

"Dia pergi. Percayalah, aku tidak berbohong."

Siapa yang perduli? Pria ini mendebat dalam hati, kemudian beranjak dengan membawa serta sang koala cantik. Bukan kegiatan yang ia khawatirkan, melainkan kemunculan yang tiba-tiba. Honey tidak mengetahui jika malaikat tidak akan bisa bernegosiasi. 

"Oke baiklah. Jadi, kita mulai dari mana?"

Honey menyipitkan matanya. Jemari yang semula memeluk erat leher sang ayah, berpindah mengusap dagu, persis seperti seseorang. Hujan terdengar merintik menimbun dedaunan. Jendela yang tidak tertutup membuat bau tanah menyeruak penciuman. Honey menarik nafasnya. Wangi. Ia suka aroma hujan. Ibunya pernah berkata, hujan adalah teman baiknya. Teman yang selalu hadir dalam perjalanan masa pertumbuhannya. 

Mungkin sebaiknya mereka mulai dari yang terakhir. Honey ingat tokoh utama tewas ketika menyelamatkan istrinya. Itu tragis, tapi juga romantis. Sepertinya gurunya salah mengatakan, jika Romeo dan Juliet adalah kisah tragis dan romantis. Nyatanya, Kisah Conqeror Chocolate jauh lebih tragis dan romantis. 

Cokelat penakluk. 

Honey tersenyum kecil. Mengabaikan sang ayah yang melipat alis, bingung. Ia ingin seperti tokoh sang wanita. Yang meski hidup dalam kesengsaraan, namun tetap kuat dan bahagia. Menentukan jalan hidupnya sendiri, dan yang terpenting, bertemu dengan cinta pertama yang menjadi cinta terakhir. Astaga. Honey bergelung malu, ia benar-benar menginginkan kisah romansa. 

Sementara pria ini, ia hanya mampu mendengus sebal. Tingkah putrinya semakin hari semakin menggelikan. Apa-apaan itu? Bergelung layaknya landak! Apa gadis kecil itu sedang merasakan puber pertama? Sinting! Istrinya akan membunuhnya jika sampai itu terjadi.

"Berhentilah bersikap seperti orang sinting Kim Rebeca Honey!! Atau kita batalkan perjanjian." 

"Tidak bisa!!" 

Ranjang begitu rapi beberapa detik yang lalu, namun kini nampak seperti gumpalan kain yang kumuh. Jika sang ibu melihatnya, pria ini yakin mereka akan tidur di balik pintu utama. 

Honey masih asik tersenyum sinting, namun dengan cepat pria ini meraup gemas wajah cantik itu, dan mengabaikan tatapan sengit yang  dilemparkan pada lensanya. Waktu mereka kurang dari dua jam. Atau jika tidak nyawanya akan berakhir malam ini.

"Jadi, apakah pria itu benar-benar mati?" 

Tepat. 

Pria ini yakin pertanyaan itu yang akan pertama kali muncul. Putri kecilnya sepertinya begitu penasaran. Menarik nafasnya dalam, pria ini mengangguk lemah. Masa lalu selalu menjadi tekanan yang mampu menghancurkan.

"Takdir lebih mencintainya."

Honey menekuk bibirnya. Menyedihkan. Takdir begitu buruk. Pria tampan itu, jika saja saat ini ia berada di dekatnya, akan Honey pastikan ia bahagia. Honey siap menjadi cinta pertamanya. 

"Apa Tuhan hanya menyaksikan saja? Miracle? Momy pernah mengatakannya." 

"Jangan dengarkan momy-mu. Wanita itu suka menyembunyikan sesuatu." Lagi pula tidak baik menipu darah sendiri. 

"Tapi, bayi itu tidak akan mengenal ayahnya."  Menahan air matanya, Honey melata mendekati sang ayah, lantas memeluknya erat. Dan sedetik kemudian, isakan menjadi teman si hujan. 

Pria ini tersenyum.  Honey benar-benar mewarisi sikap ibunya. Cengeng, manja, dan menyebalkan. Namun juga berhati lembut. Sayang sekali pria di masa lalu itu tidak melihatnya. Takdir memang sangat kejam. Dan ia benci mengakui berada di tempat yang tidak seharusnya. 

"Lebih baik kita tidur. Ayah tidak suka melihatmu menangis. Oh hati ayah, ayah merasa akan mati." 

Menyentuh dadanya, ia meringis begitu lemah. Membuat sang gadis tertawa, kemudian mendorongnya dengan kasar. Shit!! Actor laknat! Ayahnya sangat tidak cocok bermain sandiwara. Lihat saja, akan Honey laporkan pria mesum itu pada Sang Woo. Dan besok kakeknya itu akan menyerahkan potongan kepala padanya. 

"Aku tidak mengantuk bodoh!! Aku butuh penjelasan. Kenapa pria itu tidak dibawa ke rumah sakit? Ku rasa dia pasti akan bertahan." 

Bodoh? 

Pria ini menyesal jarang berada di dekat putrinya. Hingga para pengasuh sialan itu teledor mengajari cara bicara yang benar. 

"Waktu tidak berpihak sayang. Kimbum mati tepat setelah mengatakan kalimat terakhirnya." 

Pria ini memelankan suaranya. Memandang plafon, dan merangkai kembali masa lalu. Darah, luka, jeritan, dan—, Soeun. Semua menjadi lagu pengantar mimpi buruk dalam hidupnya. Bertahun-tahun, bahkan pria ini lupa bagaimana caranya bangkit. 

Ketika wanita itu mengalami pendarahan, hal yang pertama kali ia lakukan adalah memandang kosong. Hari itu, ia tidak mengerti apapun, kecuali panggilan yang dilakukan Sang Woo. Sesaat setelah pria itu menyampaikan Kimbum menghilang, pria ini segera menembus hujan. Waktu adalah musuh baginya. Rahasia-rahasia yang terkuak membuatnya membenci hujan. 

Namun ia lebih membenci dirinya sendiri. Ia lupa mengikuti si hati. Cinta membuatnya menutup mata begitu rapat. Hingga ia tidak pernah menyadari Kimbum tidak tertangkap oleh netra. Sepuluh hari, cinta yang terpendam membuatnya tertimbun perasaan marah. Dan saat itu, ketika Siwon menariknya pergi, ketika tubuh gagah itu runtuh, ketika jeritan Jhin Ae memukul pendengaran, pria ini tahu ia terlambat. Ia terlalu bodoh. Ia terlalu dungu. Dan ia terlalu bajingan. 

Sejauh itu ia berlari, nyatanya ia tidak bisa menyelamatkan sahabatnya. Bertahun-tahun pria itu memberikannya tempat terbaik, namun hanya untuk satu kali, ia bahkan tidak mengulurkan tangannya. Kimbum berusaha sendiri. Menyelesaikan masalah yang tidak diperbuatnya dengan mempertaruhkan nyawanya. Bukankah ia pecundang? Ia bahkan jauh lebih buruk dari seorang Kim Sang Bum. 

Aku mencintaimu. 

Mencintainya. Bahkan hingga malaikat tiba, Kimbum berusaha menyampaikan kalimat indah di sisa nafas terakhirnya. Nyatanya, Kimbum mencintai jauh lebih tulus. Pria ini mengusap air matanya, tanpa menyadari sang putri telah menghilang dari sisinya.  Dan tanpa menyadari seseorang kini tengah menatapnya dengan lensa penuh kebencian. 

"Park Bogem!!" 

"Kim So Eun"

Conqeror Chocolate 71 END

 










🍂🍂

Siapa yang mampu menerjemahkan kalimat Aku menyerah? Siapa yang mampu menggetarkan hati yang telah mati? Siapa yang mampu menghapus ingatan kelam dalam detik? 

Hanya dia bukan? Hanya dia. Pria yang dengan kejamnya membuangnya. Meninggalkannya dan memperlakukannya layaknya benda menjijikkan. Harusnya wanita ini marah. Harusnya belati menancap pada hati untuk menenangkan gemuruh emosi. Tapi ia tidak bisa. Wanita ini menangis semakin keras. Membiarkan pelupuk mata membesar mengurangi jarak pandang.  Dada di balik katun membiru akibat pukulan tangan, namun denyut dalam jantung jauh lebih menyakitkan.  

Tidak pernah wanita ini bayangkan jika seseorang yang ingin di benci justru begitu menyayanginya. Melakukan berbagai cara hanya untuk melindunginya. Bukankah ia bodoh? Ia bahkan tidak dapat merasakan ketulusan ayahnya sendiri. Soeun mengangkat kepalanya memandang Minjae. Pria itu, demi Tuhan Soeun ingin memeluknya. Soeun ingin mengatakan maaf, maaf, dan maaf, tapi kaki sialan itu mendadak tidak bisa dibiarkan. Dan bibirnya mengisak lebih keras ketika menyadari Minjae mencoba mendekat. 

"Dia bukan putrimu!!"

"Ayah!!"

Wanita itu tidak tahu bagaimana sakitnya bersisian namun tidak mampu meyentuh. Soeun menahan napasnya ketika pelatuk di tarik paksa. Mata itu menatapnya, tetapi wanita itu mendorong tubuh yang tidak berdaya. 

Menjerit keras, Soeun bangkit dan berlari. Namun sekali lagi, lengkingan menghentikan gerakan tubuhnya.  Jantung yang berdetak kuat tidak menimbulkan satu senyuman. Erangan, makian, hinaa, mungkin hanya kata lelah yang mampu memahaminya. Hanni, wanita itu benar-benar menghancurkan hidupnya.  Jauh kaki itu melangkah mengikuti alur hidup yang tidak tertebak. Jatuh bangkit, jatuh kembali, menangis, lalu bangkit kembali. Terus seperti itu. Hingga tapak kaki menjadi kebal, lutut mati rasa, dan jiwa menandai kosong. Meninggalkan kewarasan yang hanya terbalut luka dan dendam. Dan pada hari akhir menjadi pembalasan dari segala rasa sakit. 

"Jangan bergerak Soeun!! Atau janinmu akan menyusul kakeknya." 

Wanita sialan!! Soeun memeluk perutnya erat. Tidak. Jangan bayinya. Kenapa wanita itu begitu jahat? Hanni tidak pantas hidup. Tapi ayahnya? Apa yang harus ia lakukan?? Pria itu mengerang tertahan di atas lantai. Darah menjadi pemandangan menyakitkan. Mati-matian Soeun berusaha tegar. Namun dia kalah. Tubuh itu luruh ketika Minjae mengangkat kepalanya. Sekeji apapun masa lalu, Minjae tidak pernah menyakiti fisiknya. Hati, itu hanya masa lalu. Soeun ingin memulai semua dari awal. 

"Jika kekeras-kepalaanmu tidak bekerja, peluru itu tidak akan menembus ulu hatimu. Kau bodoh Minjae!!"

Minjae tersenyum kecil. "Aku memang bodoh. Tidak seharusnya aku menyakiti putriku." lirih, namun kalimat itu sukses membuat Soeun kembali menangis. 

Wanita ini merangkak, mencoba mendekati sang ayah.

"Brengsek!!"

"Cukup!! Ku mohon cukup!! Bunuh aku! Jika kau membenciku bunuh aku!!" 

Ibu, Soeun ingin mengatakan itu.  Namun hujan seolah menolaknya. Memeluk erat kaki Hanni, yang bisa Soeun lakukan hanya menghalangi gerakan wanita itu, yang mencoba kembali melepaskan tembakan. Rumah itu sepi. Tidak terdengar suara apapun, dan Soeun yakin Hanni sudah merencanakannya sejak awal. 

Sementara Minjae terlihat sulit bernapas. Jika memang harus mati, maka Soeun siap. Asal sang ayah bertahan. Soeun tidak ingin kembali kehilangan orang-orang yang dicintainya. 

"Ya, ya, ya. Kau benar. Kaulah akar dari segala kebencianku. Kau putri yang lahir dari sebuah pernikahan suci. Tidak seperti Joonku!!" 

Hanni menendang kasar tangan Soeun, dan menatap Soeun benci. Kemudian melangkah mendekati lemari di sisi kiri, lantas mengusap pigura putra kecilnya. Setetes air mata jatuh ketika ia mengingat kembali bagaimana tampannya Joon. Pria dengan kasih sayang itu, Hanni sangat mencintainya.  Tapi sekali lagi Tuhan merebutnya.  Membuatnya hidup seorang diri dalam luka. Hanni benci takdir, tapi ia lebih membenci Soeun. 

"Joon." 

Tertawa sinis, Hanni melempar kasar pigura, hingga membentur tembok. "Joonku, dia akan menjadi besar. Dia akan membuatku bahagia. Tapi kau membunuhnya!! Kau pembunuh Kim  So Eun!!"

"Bum-ah."

Takdir bukan permainan manusia. Percaya atau tidak, sandiwara mencipatakan luka yang menyakitkan. Ketika lengkingan kembali membela udara, saat itulah sesuatu menjadi tidak lagi sama. Tuhan menentukan jalan cerita yang berbeda. Wanita yang angkuh terbelalak tidak percaya; meronta ketika di tarik paksa keluar.  Dan wanita yang lemah terdiam seribu bahasa. Hanya air mata yang tetap bergerak.  Seolah jejak air mampu menghentikan waktu sekejap saja. Pikiran-pikiran tidak lagi berguna. Logika itu secara spontan menjadi kosong. Hingga membuat sang bibir tidak lagi bisa bicara, kecuali sang mata yang memandang takut pada darah di telapak tangan.

"Aku menemukanmu sayang. Aku tidak terlambat bukan?" 

Hingga suara itu muncul. Suara yang ia rindukan setengah mati. Pelukan erat yang menyelimuti tubuhnya menyadarkan Soeun jika ia tidak sedang bermimpi. Semuanya nyata. Petir yang menggelegar menjadi bukti jika kematian begitu dekat. Soeun menangis keras. Ia tidak tahu dari mana datangnya malaikat ini. Soeun tidak memanggilnya saat ini, tapi mengapa? Kenapa ia harus muncul dan melindungi? Kenapa tidak biarakan saja ia yang pergi. 

"Aku merindukanmu sayang. Maafkan aku."


"Tidak,"

Tidak. Kimbum salah. Ia yang lebih merindu. Hingga jantung sialan itu selalu berdetak sakit setiap waktu.  Ia yang bodoh karena tidak menyadari apapun. Ia yang lemah tidak bisa melakukan apapun. Begitu banyak waktu yang Tuhan sediakan. Minjae berusaha menyelamatkannya, tapi Soeun justru memakinya.  

Apalagi yang bisa Soeun lakukan? Ia yang seharusnya mati. Bukan Kimbum atau Minjae. Mengapa Hanni begitu kejam? Pria itu tidak bersalah. Sama seperti ayahnya, Kimbum bukan penghianat. Hanni yang bajingan. Wanita sialan itu, Soeun membencinya. 

"Aku tidak membencimu oppa." Bahkan tidak pernah sanggup.  

"Bangun. Ku mohon." 

Memukul punggung Kimbum, Soeun meraung lebih keras. Tidak perduli kehadiran Siwon, jeritan Siwon, tarikan Siwon, isakan Jhin Ae, Soeun hanya ingin Kimbum kembali bicara. Meski hanya satu kali. Meski hanya satu kata. Setidaknya tidak diam. Karena Soeun benar-benar takut. 

"Kimbun buka matamu!!" 

"Kau sudah berjanji akan menjaganya bukan?! Kim Sang Bum bangun!!"

Kejam.

Tuhan jauh lebih kejam.  Telinga itu berdengung ketika Siwon menjerit.  Soeun menutup matanya erat. Membiarkan tubuhnya masuk dalam dekapan sang kakak. Dan selanjutnya hanya diam yang bisa ia lakukan. Ia benar-benar kalah.  

Tubuh ringkih itu meluruh ketika raungan Jhin Ae memukul gendang telinganya. Hanya sebatas inikah. Apa pria itu menyerah? Tidak bisakah Soeun menyampaikan jika ia mencintai Kimbum selamanya? 

Aku mencintaimu...

Entah siapapun yang mengucapkan kalimat itu, mereka tahu jika cinta itu abadi. Tidak perduli jarak dan waktu yang memisahkan, jika benar cinta itu ada, maka mereka akan selalu bersama. Pertikaian dalam hubungan adalah hal biasa yang sering terjadi. Namun cara seseorang dalam menghadapinya, itu yang menjadi poin utama. Kepercayaan dan kasih, cukup dengan itu maka semua masalah akan terselesaikan. 

Selama ini orang-orang hanya bisa bicara tanpa bisa memahami. Permasalahan tidak datang dari sebelah pihak. Karena mereka sepasang. Ketika salah satu mengatakan ya, dan satu megatakan tidak, mana yang harus di dengar? Jawabannya tidak ada!! Karena mereka egois. Hanya mementingkan diri sendiri bukan keduanya. 

Karena mencintai itu bukan pilihan.  Cinta itu adalah luka yang tertunda. Jadi jika seseorang siap jatuh cinta, ia juga harus siap untuk terluka. 

.
.
.
.
.

END

Tertanda,

Istri sah Kim Myungsoo

Conqeror Chocolate 70







  🍂🍂


"Kau,—"

Sejauh langkah kakinya, Hanna tidak pernah menyangka semua akan berakhir begitu cepat. Ia tertegun menatap kehadiran Minjae tepat di balik tubuhnya. Manik pria itu berubah kelam. Tidak ada lagi cinta yang tertinggal di sana. Begitu cepat, seolah tidak pernah ada cinta untuknya.  

Jahat! Hanna benci takdir mempermainkannya. Harusnya peluru menembus jantung Soeun, bukan Minjae berkhianat. Sial!! Hanna mengepalkan tangannya semakin kuat. 

"Wanita bajingan!!! Apa kau pikir kau malaikat? Belasan tahun dan kau menghancurkan seluruh bayangan putriku!!"

Bajingan? Hanna lah yang bajingan!! Bukan dirinya!! Kim Minjae sialan!! Harusnya ia tahu pria itu tidak bodoh. 

Melangkah mundur, Hanna  mendekati ranjang, hingga Soeun spontan jatuh terduduk di atas ranjang. Wajah wanita itu pucat, tapi Hanna tidak perduli. Akan jauh lebuh bagus jika Soeun mati dan keguguran. Bayi itu tidak pantas lahir. Hanya bayi Gyuri yang berhak menjadi cucu dari Kim Sang Woo. 

"Permainan sialan!! Sejak awal harusnya aku menyadari kau mengetahui segalanya."  Ia terlalu menikmati perannya, hingga lupa mengawasi gerak-gerik pria tua itu. Benci yang tertimbun pada akhirnya memberontak. Sepandai apapun bibir itu menyimpan rahasia, tetap saja bangkai menebarkan bau busuk. 

"Kau terkejut? Tetapi kau terlambat untuk menyesali semuanya."

Hanna tertawa keras. Pria itu tidak pernah berubah. Hati tidak akan bisa membenci, meski logika memaksa pergi. Ilalang di padang rumput tidak akan mati meski tidak disirami. Air hujan datang diam-diam, dan mereka akan menari bersama. Itu yang ibunya katakan dulu. 

Tapi itu salah. Saeron tidak mengetahui jika hanya ada satu ilalang yang tertinggal di dalam gubuk. Di buang, dan dibiarkan mati seorang diri. Hingga waktu mengajarkannya cara membenci. Hatinya menuntut balas, dengan atau cara benar atau pun salah.

"Tidak ada yang perlu ku sesali Jae-ya. Tubuh ini puas menghancurkan seluruh musuhnya."

"Sinting!!! Istriku adalah kakakmu!!"

"Dia bukan kakakku!! Dia jalang!! Dia iblis!!"

Dulu, Max selalu mengatakan pergi dan lihat kakakmu. Mengatakan betapa cantik dan baiknya wanita putih itu. Pria itu membawa sang kakak ke berbagai negara, namun meninggalkannya seorang diri.  Hanna mengusap kasar air matanya. Ia lelah menjadi lemah. Ia benci nama Hanni. Saeron selalu mengatakan jadilah anak baik. Tapi mereka tidak menjadi orang tua yang baik. Jadi bukankah ia tidak bersalah?

Hanni juga ingin menjadi Hanna. Menikmati hari dengan tiga pengasuh. Bermain di bawah pohon, tanpa harus takut ada yang melihat. Merayakan ulang tahun dengan balon, cake, dan teman-teman. Menghadiri acara perusahaan dan diperkenalkan sebagain putri kesayangan.  
Tapi para iblis itu tidak melakukannya. Mereka membiarkan Hanni kecil seorang diri. Ia tidak pernah melupakan itu. Max akan marah jika ia meminta salah satu pengasuh Hanna menemaninya bermain. Max akan murka jika mengetahui Hanni bermain di saat rekan bisnisnya berkunjung. 

Ketika hari lahir tiba, maka ia akan di kunci di dalam ruang gelap tanpa cake dan balon. Lalu Saeron mengatakan akan datang dan merayakan bersamanya, namun wanita itu justru pergi bersenang-senang. Seberapa banyak pun acara perusahan tidak jauh berbeda. Ia ada. Lee Hanni. Tapi tidak ada. Dunia tidak pernah mengenalnya. 

"Kecemburuan itu membuatmu berubah!! Kau tidak pernah melihat kasih sayangnya. Hanna terluka jauh lebih sakit dari sakitmu!! Apa kau tidak mengerti?!" 

Cemburu? Hanni mencengram keras rambutnya. Minjae tidak mengerti bagaimana lukanya. 

"Tidak!! Wanita itu merebut segalanya. Menghempaskanku ke jalanan gelap, dan tertawa." 

Hanya ia yang mengetahui sakitnya. Hanna akan datang, namun pergi ketika Max murka. Hanya akan menangis jika melihatnya menagis. Lalu apa gunanya wanita itu hidup. Jika benar Hanna menyayangi adiknya, wanita itu tidak akan mungkin merebut cinta pertama adiknya. 

Hanya karena penyakit sialan, ia hidup bagaikan seorang putri. Hanni menyesal mengapa bukan ia saja yang mengidapnya. Dengan begitu Max akan mencintainya. Dengan begitu Saeron tidak akan memintanya mengalah. Dengan begitu Minjae tidak akan pernah pergi meninggalkannya. 

Jika saja ia menderita hepatitis, mungkin saat ini ia telah mati dengan bahagia. Sama seperti Hanna. Tidak percuma ia membunuh wanita sialan itu. Bukan hanya Minjae kembali menjadi miliknya, Hanna pun tidak lagi merasakan sakit. Bukankah ia baik hati? Soeun salah mengatakan dirinya iblis. Ia adalah malaikat. Malaikat kematian yang siap mencabut nyawa wanita sialan yang kini juga mengidap penyakit yang sama. Keturunan terkutuk yang tidak seharusnya hadir menggantikan posisi Hanna. 

"Kau salah. Hanna menangis hampir sepanjang waktu. Dia mencintaimu Hanni, kau hanya terlalu buta." 

Minjae menatap Hanni pilu. Benar, wanita itu terluka, tapi Hanna juga sama. Hanna tidak bersalah. Orang tua merekalah yang bertindak salah. Berulang kali Hanna meminta Max berubah, namun pria itu begitu keras kepala. Penyakit yang menimpa Hanna membuatnya melemparkan kesalahan pada kehadiran Hanni.  

Max mencintai Hanna namun membenci Hanni. Saeron berusaha mengubah keadaan, tapi Max mengancam akan memisahkan kedua putrinya. Ibu mana yang akan tega melakukan itu? Jadi bermain api lah yang bisa ia lakukan. Berpura-pura membenci Hanni di hadapan sang suami. 

"Kau pembohong!!" 

Untuk apa ia berbohong? Minjae ingin mendekat, namun langkah mundur yang Hanni lakukan membuat ia mengurungkan niatnya. 

"Ku mohon Hanni. Kita hidup beriringan. Aku mencintainya tapi terbiasa bersamamu. Apa belum cukup sakitku." 

Air matanya kembali jatuh. Seolah hati itu mengatakan jika ia menyerah. Memang benar ia salah satu peran yang menghancurkan wanita itu, tapi itu bukan keinginannya. Rasa cintanya luruh ketika pernikahan itu terjadi. Hanna mengalihkan duanianya. Sosok rapuh itu menempatkan dirinya sebagai topangan hidup. Hingga lambat laun Minjae melupakan cinta pertamanya. Ia begitu menikmati kehidupannya. Meski sempat menolak pernikahan itu, Minjae lupa jika ada seorang gadis kecil yang juga rapuh, dan menjadikannya tujuan hidup.

"Kau bahagia." 

Lebih dari bahagia. Menjalani apa yang seharusnya. Menebus kesalahannya di masa lalu. Minjae menjalaninya dengan tulus. Ia menyayangi Hanni sama seperti dulu, meski cinta itu tidak lagi ada. Minjae menyayangi Joon, sama seperti putranya sendiri. Begitu juga dengan Gyuri yang jelas-jelas bukan putri kandungnya. Namun menghancurkan seseorang? Minjae tidak bisa. 

"Bahagia seperti apa yang kau maksud? Menghancurkan putriku? Tuhan akan menghukumku dalam kematian." 

"Dia bukan putrimu Kim Minjae!!! Gyuri!! Hanya Gyuri putrimu!!!" 

Tidak! Minjae menggeleng kasar. Sekeras apapun jerian itu, Minjae tidak perduli. Hanni tidak lagi bisa menipunya. Wanita itu tidak lagi bisa memperdaya dan memaksanya.  Sudah cukup permainan ini. Minjae tidak akan biarkan Hanni kembali melukai putri kesayangannya. Harta terakhir yang Hanna tinggalkan untuknya. Hanya wanita mungil itu saja yang ia miliki. Jika ia tidak ada, maka untuk apa Minjae hidup. Ia akan berdosa ketika menemui Hanna. 

"Putriku Kim So Eun!! Hanya Kim So Eun!!"

Buah cintanya dan juga Hanna. 

"Ratusan waktu aku habiskan hanya untuk menyesali semua keputusanku Hanni. Harusnya aku tidak mengikuti semua permintaan Hanna. Kau tidak merasakan luka ketika melihat darah dagingmu menangis seorang diri. AKu lelah hanni-ya." 

Jika saja bukan karena Hanna, maka tidak akan pernah sudi Minjae menjalankan permainan sialan ini.  Minjae menagis mengingat kembali segalanya. Wanita itu memintanya menjauhi Soeun. Meminta Minjae bertindak sebagai ayah yang kejam. Menangis. Bahkan air matanya tidak mampu mengalahkan kekerasan Hanna. Wanita itu mengatakan Soeun dalam bahaya. Minjae tidak mengerti. Namun ketika Joon mati demi melindungi Soeun, saat itu Minjae sadar jika Hanna memang benar. 

Semua terjadi begitu cepat. Seorang wanita tua menemui dan mengatakan jika ia adalah Hanna. Untuk pertama kalinya Minjae merasa seperti gila. Hari-hari berlalu, wanita itu selau hadir dalam sepi. Ia tidak menangis, namun selalu memohon. Dan entah mengapa hati itu mempercayai. Hingga kecelakaan itu terjadi. Dalam bilik rumah duka, semua menjadi jelas. 

Joon bukan putranya. Hanna bukan Hanna, dan bertahun-tahun ia hidup dalam sandiwara palsu seorang Lee Hanni. Ketika Gyuri hadir, saat itulah Minjae sadar ia harus mulai bersandiwara. Melukai putrinya, mengirimnya jauh, dan membuat Soeun membencinya. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding melihat anaknya merangkak di atas tanah. Minjae tahu ia salah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan untuk melindungi Soeun, setelah Hanni berhasil membunuh Hanna. 

Menarik nafasnya, Minjae menatap Soeun lembut, sebelum akhirnya kembali menatap Hanni. 

"Jangan lukai putriku Hanni."  

Ada banyak rahasia yang tidak bisa ia jelaskan. Sorot mata kehancuran Soeun membuat bibir itu kelu. Wanita mungil itu meringkuk memeluk lutut di sisi ranjangnya. Minjae tidak sanggup. Ia tidak bisa melihat putrinya terluka jauh lebih dalam. 

🍂🍂


Conqeror Chocolate 69










Cinta adalah asal mula. Menjadi awal dari segala rasa. Dan akan selalu abadi di tempatnya.

.
.
.

Perjalanan waktu yang tidak berujung nyatanyamembawa raga masuk ke dalam dimensi kehancuran. Di alam yang tidak lagi berpihak, ia menetapkan pikiran. Sekalipun kelak maut menjemputnya, ia ingin orang yang di sana mendengar lagu di dalam saku. 

Dengan keterbatasan, wanita ini mengingat nada yang mengalun. Menjadikan penggalan bait sebagai ingatan di masa depan. Berharap jika raga mendapat kesempatan, maka ia tidak akan lupa.  Dan ketika pada akhirnya sang bibir ingin mengatakan selamat tinggal hari-hari, ia kembali merasa waktu telah berubah. Begitu lama, kemarin dan sebelumnya semua seperti bukan cerita di masa lalu.

Sepasang mata itu menatap datar kejauhan. Ia telah memberikan apa yang ia miliki.  Dan pada saat yang salah, hati yang terluka kembali ditikam, hingga hancur dan tak lagi berbentuk. Puing-puing yang berserakan bagai ledakan bom. Meninggalkan serpihan tajam yang sewaktu-waktu dapat melukai kulit. 

Bukankah pria itu mencintainya? Kadang-kadang ia merasa ragu. Namun apa yang ada di hatinya tidak berubah.  Wanita ini tidak ingin memiliki pikiran sedih, tapi perasaan itu pasti datang. Ketika kelak mereka menyanyikan lagu yang sama, ia berharap akan menemukan kebahagiaan yang tersembunyi. 

Hujan mungkin adalah sahabat yang Tuhan kirimkan untuk menemani sepi. Ada banyak pertentangan ketika manik membentur kepercayaan yang pudar. Sekalipun bibir itu tersenyum, hati tetap menyimpan duka di balik kebohongan. Wanita ini menghela nafasnya lelah.  Lalu memandang sendu pigura dalam kotak kayu usang. Persegi manis yang menjadi hadiah ulang tahunnya. Pita merah yang menyelebungi membuat ukiran hati tidak terlihat. Hanya pinggiran gerigi yang dapat lensa tangkap demi memperlihatkan keawetan yang terjaga.

Dua puluh tahun berlalu, benda yang tersimpan tidak sama sekali terusik. Kalung berbandul malaikat itu tetap tersimpan rapi dengan warna emas yang terjaga.  Kotak-kotak kayu menyembunyikannya dari para bajingan di luar sana. Benar apa yang dikatakan pria itu, jika kolong gelap selalu menjadi tempat persembunyian terbaik. Sepucuk surat yang terselip membuat air mata jatuh begitu saja. Soeun mengusap pipinya. Nyatanya, Joon meninggalkan kenangan indah yang tidak pernah mampu ia lupakan.

Kenapa harus Joon yang pergi? Kenapa ia harus hidup? Kenapa Tuhan tidak menjemputnya saja. Setidaknya keluarga ini tidak akan membencinya. Minjae tidak akan membuangnya.  Hanna tidak akan mengutuknya. Dan Gyuri tidak akan pernah ada.  Setidaknya dengan begitu ia tidak akan merasakan sakit ini. Meski kemungkinan bertemu Kimbum tidak ada, namun Soeun tidak akan merasakan pilu disepanjang hidupnya. Ia akan berlari di tengah padang bunga tanpa mengenakan alas kaki. Menemani Joon yang tidak pernah meninggalkannya seorang diri. Bukan di tempat ini, dimana kehadirannya tidak diharapkan. 

"Menjijikkan!! Kenapa kau masih saja hidup?! Apa kau tidak memiliki pikiran?!" 

Lelah.

Itulah yang ia rasakan.  Soeun memejamkan matanya mendengar bantingan pada pintu. Hanna memang iblis, dan ia benci mengakui wanita itu sebagai ibunya. Hari-hari berlalu begitu saja, dan di setiap detik wanita itu mencaci maki dirinya. Soeun tidak perduli apapun yang Hanna katakan. Makian yang mendera sang telinga pun tidak mempengaruhi cara berpikirnya. Hanya saja Soeun muak. Ia terkurung di ruang persegi tanpa bisa menapaki lantai. Hanna memperlakukannya layaknya seorang tahanan.  

"Mati?" 

Mengalihkan pandangannya, Soeun menatap Hanna terluka. "Maut hanya akan menjemput ketika Kimbum berada di sisiku." 

Mungkin memang benar kebencian mampu menenggelamkan rasa hormat. Rasa sakit yang membesar seiring berjalannya waktu membangun dinding-dinding kemurkaan.  Hingga membuat sosok yang penuh kelembutan dapat berpikir picik dihadapan wanita yang melahirkannya. Tidak perduli wanita yang berdiri tiga langkah darinya itu mengerang dengan marah. Air mata yang mengalir, kering bersamaan dengan pergantian rasa. Logika itu kalah oleh rasa marah. Si hati bersembunyi dan memilih diam menyaksikan perdebatan. Detik yang berdetak sesekali menjadi penonton bersama hembusan angin. 

"Jangan bermimpi Kim So Eun!! Kau akan menikah, dan akan ku pastikan kau tidak mengusik putriku!!"

"Aku tidak akan ke mana pun!! Kau atau suamimu tidak bisa memaksaku!! Apa yang sebenarnya kau inginkan?!"

Satu kali saja, tolong biarkan ia bicara. Hanya itu yang ingin ia katakan. Namun Hanna menikam sisa-sisa pertahanannya. Soeun marah. Ia benci. Hanna tidak pantas menentukan jalan hidupnya. Wanita tua itu tidak berhak merajut kisah cintanya. 

Kimbum bukan milik Gyuri, dan wanita sialan itu tidak pantas bersama suaminya. Tidak ada yang boleh mengambil posisinya. Sahee hanya miliknya. Cinta Sang Woo hanya miliknya. Tidak perduli dunia mengatakan dirinya egois, Soeun hanya ingin memeluk kebahagiaan yang memang miliknya. 

"Jalang sialan!! Sepertinya keluarga barumu mengajarkan cara bicara yang  rendahan!!"

"Mereka jauh lebih baik Hanna. Tidak meninggalkan seorang gadis di tengah salju dan rasa bersalah." 

Soeun menahan kakinya untuk tidak berdiri. Sekuat tenaga ia mengigit bibir dalamnya menahan emosi. Jangan sampai tangannya melukai bibir jalang itu. Atau seumur hidupnya ia akan menanggung rasa bersalah. Terlebih Joon begitu mencintai ibunya. Pria itu akan membenci jika mengetahuinya, dan itu adalah hukuman terberat bagi Soeun. 

Jadi biar saja Hanna berteriak sesukanya. Ia cukup diam, dan wanita itu akan pergi setelahnya. Memalingkan wajahnya menatap jendela, Soeun berusaha mengabaikan kehadiran Hanna. 

Namun secara tiba-tiba hujan turun, membuatnya gusar. Ada sesuatu yang salah. Jantungnya bergemuruh hingga darah seolah tidak mengalir ke kepala. Soeun meremas tangannya keras. Menarik selimut semakin membenamkan pundak kecilnya. Kecemasan menjebak pemikirannya sendiri. Ia fokus pada skenario terburuk. Meskipun logika mencoba menenangkan, namun itu justru memberikan efek yang berlawanan. 

"Brengsek!! Kau pikir kau berhak bicara di rumahku?!"

Coba katakan, siapa yang salah? Apakah ia memang terkutuk? 

"Lalu kenapa tidak melemparku ke jalanan?! Kenapa mengurungku seperi bangkai busuk?! Kau iblis Hanna!!"  

Soeun menerjang selimut. Membiarkan bulu tebal itu tergeletak jatuh di atas lantai. Sekali lagi, air mata meluruh menggantikan kehancurannya. Kebencian yang sempat ingin dihapus kini berbalik meminta pembalasan. Hanna keterlaluan. Jika memang tidak menginginkan, lalu untuk apa menyekapnya. Apa memang Gyuri adalah segalanya? Apa Gyuri memintanya? Kenapa para wanita itu membencinya.

"Begini caramu bicara pada ibumu? Mengaggumkan." 

Ibu? Soeun tertawa miris.

"Apa seorang ibu mampu melakukan semuanya? Menyiksa putrinya? Kau bukan ibuku!!" 

Bukan, karena Soeun tidak lagi ingin mengakui wanita itu sebagai ibunya. Sudah cukup puluhan tahun ia memendam lukanya. Kali ini tidak. Ia akan melawan mereka yang berniat menghancurkannya.  Akan Soeun buktikan ia bukan wanita yang lemah. Ia akan membawa janinnya kembali pada rumahnya dengan atau tanpa nyawanya. 

"Astaga, kau mengetahuinya sayang?"

Sementara di tempatnya berdiri, Hanna tertawa hambar. "Kau dan Hanna, aku tidak menyangka keturunan wanita iblis itu sama bodohnya." Masa lalu, jika saja ia bisa melupakannya, maka luka itu tidak akan terasa menyakitkan. 

"Hidup seperti dekat dengan kematian, namun terkurung dalam kegelapan. Kau tahu Soeun, aku lebih dulu merasakannya." 

Hembusan angin tidak lagi terasa membekukan. Jendela yang terbuka memberi akses udara untuk berganti.  Hanna melangkah menjauh. Menarik diri, menepi pada sisi bingkai kaca.  Ia tidak perduli sekalipun Soeun mati. Pernikahan yang ia rencanakan, bahkan Hanna lebih berharap Soeun tidak bernapas. Dengan begitu Gyuri akan mendapatkan keinginannya. Air mata yang suci tidak akan lagi pernah tumpah.  Putrinya itu akan bahagia, dan tidak akan merasakan apa yang ia rasakan. 

"Ada, namun tidak ada. Bernafas, tapi tidak terdengar. Yang terlihat hanya satu, namun kenyataannya mereka dua. Kau mengatakan ibumu ini iblis bukan? Tapi kau harus tahu jika semua manusia adalah iblis." 

Soeun hanya merasakan sebagian luka yang pernah ia rasakan. Ada, namun tidak ada. Terlihat, namun diabaikan. Mencintai, namun dipaksa mengalah. Sendiri? Bahkan ia tidak pernah lupa rasanya. Tuhan memang tidak adil. Dunia itu kejam. Manusia tidak ada yang sempurna. Sesuci apapun, tetap saja di dalam hati bersemayam iblis yang bisa kapan saja menjerumuskan. Mungkin hanya iman yang tidak ia miliki, dan itu bukan tujuan hidupnya. Bertahun-tahun ia bertahan. Melewati jutaan waktu hanya untuk berdiri di tempat ini. 

"Kau salah jika mengatakan aku iblis, karena kau juga iblis busuk yang menjijikkan!!"

"Sama seperti ibumu, Hanna!!"

"Tutup mulutmu Lee Hanni!!!

Apa yang tidak pernah ia pikirkan nyatanya menjadi cerita yang menyedihkan. Soeun mengatupkan bibirnya rapat. Otaknya menumpul seiring kenyataan yang terkuak. 

Minjae menatap ibunya marah. Mengepalkan tangan hingga urat-urat membiru menyembul di permukaan kulit keriputnya. Manik renta itu menajam seolah siap untuk menelan ibunya. Soeun tidak mengerti apa yang terjadi, dan mengapa pria itu begitu marah. Namun kehadiran Minjae membuat jantung itu kembali berdetak cepat. Membuat rasa yang pernah dihapus perlahan kembali seperti sedia kala. 

Conqeror Chocolate 68










  🍂🍂

Meninggalkan sajak-sajak dalam kepala. Angin berhembus kecil. Menyibakkan helaian daun kekuningan; jatuh hingga menyentuh permukaan tanah kecoklatan. Tidak ada genangan atau tanah becek di sekeliling, namun malam memberi isyarat jika hujan akan segera tiba. Ukiran waktu di setiap perjalanan menyisakan tanda tanya yang begitu besar. Hingga di mana? Sampai kapan? Ada di mana dan sedang apa? Merayap memenuhi si logika. Membuat kecerdasan itu sendiri hilang bersama salju yang akan menyusul di bulan kemudian. 

"Permainan sinting!! Waktu tidak akan pernah berpihak meski seujung kuku!! Apa wanita itu gila?!"

"Jalan pikirannya lebih buruk dari seekor keledai!! Bajingan sialan!! Aku akan membunuhnya jika sampai terjadi sesuatu pada putriku!!'

" Sayang, tenanglah." 

Gerakan awan masih terlihat lambat. Menari memperlihatkan jika hujan telah kalah. Sahee mengusap lengan kekar Sang Woo. Menarik jemari renta itu, lalu membawanya duduk menemani Siwon.  Memaksa sang suami meredakan amarahnya dengan secangkir kopi panas. Ada Jhin Ae yang memilih menimang sang bayi, tanpa berniat ikut campur. Suasana hatinya sudah lebih baik, meski sesekali Sahee sering mendapatinya menangis seorang diri.

Berbeda dengan Siwon. Pria itu masih memperlihatkan kemarahannya. Berulang kali dikala orang terlelap pria itu memaki dirinya sendiri. Mengutuk takdir yang menyedihkan. 

Jika Jhin Ae terbangun, maka mereka akan menangis bersama. Banyak cerita yang di uraikan. Pengorbanan, balas budi, hingga janji kematian, Sahee paham apa yang pria itu rasakan. Malam belum berganti pagi. Sejak sepuluh hari yang lalu, baik Siwon maupun Jhin Ae, mereka memilih menempati kamar tamu. Mengabaikan pekerjaan demi menemukan titik keberadaan Soeun. 

Namun Tuhan seolah tidak memihak.  Wanita mungil itu tidak juga di temukan.  Seberapa kuat pun uang, tetap saja mereka kalah. Para bajingan itu seolah menyembunyikan Soeun di dalam lubang yang tidak terlihat. Jejak kehidupan seolah tidak pernah ada. 

Siwon bahkan berulang kali memerintahkan para kaki tangannya mencari Soeun di Jepang. Belum lagi Paris, namun semuanya nihil. Negara-negara kecil hingga besar seolah bukan tempat baik untuk bersembunyi. Sang Woo benci mengakui kemampuan bersembunyi para iblis itu. Tapi menyerah juga bukan pilihannya. Meski harus menggeledah seluruh sudut bumi akan ia lakukan. Soeun adalah segalanya. Jika bukan karena gadis kecil itu, maka ia tidak akan pernah kembali pada keluarganya. Soeun kecil mampu menyelamatkannya dari maut, kemudian memberi kehidupan. Jadi betapa tidak bergunanya ia, jika tidak mampu menyelamatkan putrinya itu.

"Bagaimana aku bisa tenang Sahee?! Soeun tidak ada di mana pun?! Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?!"

"Tidak akan!! Seorang ayah tidak akan membunuh darah dagingnya!! Kau harus percaya pada cinta seorang cinta pertama!!"

Masalah adalah akar utama dari kehancuran. Dan cinta pertama? Masihkah ia  dapat mempercayainya?  Sang Woo mengusap wajahnya kasar, lalu merebahkan diri pada sandaran sofa.  Secara perlahan semua rahasia telah terurai. Siwon telah menjelaskan segalanya. Di mulai dari hal kecil, hingga permain laknat yang menjijikkan. Sang Woo bahkan tidak habis pikir bagaimana bisa wanita bajingan itu bisa melakukan semuanya. 

Seiblis-iblisnya orang tua, tidak akan pernah mampu melukai putra putrinya. Terkecuali jika sosok itu berubah menjadi iblis tanpa logika. Katakan saja gila sama seperti wanita tua itu. 

Bayangkan saja, seorang anak terlunta-lunta, di buang, seolah tidak memiliki arti. Bertahun-tahun. Apa yang mereka pikirkan? Apa yang sebenarnya ada di dalam sang pikiran? Ketika logika menciptakan jawaban sendiri, dan ternyata jawaban itu adalah hal yang tidak terduga, Sang Woo merasa dunia telah berhasil menipu mata dan hatinya.  Tanpa pernah ia sadari, bahwa masih ada orang lain yang juga terluka. Bahkan jauh lebih sakit. Hidup dalam siksaan, tipuan, cambukan tidak terlihat, hinaan batin, juga perasaan bersalah. Siapa sebenarnya sumber dari kesalahan?? Janinkah? Atau takdir?? Atau masa lalu itu sendiri?

Apa maaf memang bukan penghubung kebahagiaan? Apakah dendam adalah jalan pintas?? Salah!! Pria ini di sini duduk bersama sepi. Membayangkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi. Dan menjadi gila jika saja tidak ada Sahee di sisinya. 

Soeun adalah harta berharga yang begitu di lindunginya. Cerita masa lalu memberi dampak luar biasa pada kasih sayangnya. Orang boleh mengatakan ia picik, mencintai putri yang bukan darah dagingnya. Tapi persetan! Rasa yang melebur bukan hanya dari rasa kasihan. Cinta itu memang ada. Pesona Soeun menjebak Sang Woo untuk terus mencintai putri kecilnya itu, meski darah tidak terikat.

"Cinta pertama? Langkah kakinya bahkan tidak terlihat?! Lalu apa yang harus aku lakukan?"

"Dia terlihat sayang. Kau hanya terlalu panik. Cobalah tenang, dan pikirkan ke mana seorang ayah akan membawa putrinya kembali." 

Benar. Si otak begitu buntu hingga ia tidak mampu berpikir. Sang Woo memijat pelipisnya.  Sahee terlihat berkali-kali mengatur nafas yang sesak. Wanita itu tidak lagi menangis seperti beberapa hari yang lalu. Tapi Sang Woo tahu wanita itu mencoba terlihat baik-baik saja.  Sahee mencoba bersikap tenang untuk membantunya berpikir. Bukankah ia bodoh? Harusnya Sang Woo yang menenangkan, bukan Sahee. Pria ini ingin memeluk Sahee erat, tapi sekali lagi waktu tidak memberi kesempatan. 

"Apa putriku akan baik-baik saja?"

"Putriku akan baik-baik saja. Kau harus percaya, maka aku akan baik-baik saja." 

Satu tetes air mata jatuh. Sahee memeluk erat Sang Woo. Membuat pria tua itu kembali melemahkan tubuhnya. Jhin Ae dan Siwon yang duduk berdampingan juga mengangguk bersama. Sekali lagi, di malam yang dingin mereka membiarkan detik mencemooh. Memilih menikmati pilu, sebelum esok hari sang kaki kembali melangkah. Mereka harus menyiapkan hati. Menguatkan diri untuk tidak menjadi bodoh. Untuk apapun yang akan terjadi, bibir-bibir yang bergertar itu menyampaikan doa lewat hembusan angin. 

Bersama sepi, mereka menutup mata tanpa bicara kembali. Hingga tidak menyadari seseorang tersenyum miring dari balik kegelapan. Membawa langkah menjauhi riuh isakan.

.
.
.

To Be Continue.. 

Tertanda,

Istri sah Lee Taehyung.

Conqeror Chocolate 67









  🍂🍂

Pergantian musim mungkin adalah jalan pembuka bagi kematian. Langkah kaki tak bertuan seolah menggiring jiwa ke bibir jurang yang terjal. Memaksa masuk ke dalam lubang neraka.  Semua terlihat menyedihkan. Kejadian buruk menjadi trauma yang paling mengerikan.  

Gelap dan pengap, suasana tidak mendukung cara bernafas. Menghalau pikiran baik, hingga logika tenggelam akan rasa penyesalan.  Lamat-lamat akar dari permasalahan menyisakan ingatan buruk; menjadi mimpi buruk dalam tidur. Meninggalkan kenangan yang tidak akan mampu dilupakan sang otak, meski jiwa melayang pada dunia berbeda. 

Hari telah berganti begitu banyak dari waktu yang terbuang. Pria ini membuka matanya. Memandang pekat yang membelenggu pupil.  Fajar masih bersembunyi, lari dari kejaran para penguasa malam. Para burung nampak lebih memilih memendam mata di balik dedaunan hijau. Menikmati sunyi bersama nyanyian merdu para jangkrik. Hujan berhenti setelah gelegar di tengah malam. Hembusan angin jauh lebih dingin, namun bagi si tubuh, sepi lebih buruk dari pada keributan. Biar saja jeritan tawa dan makian memenuhi gendang si telinga, di banding tawa para laknat yang tidak terlihat namun bisa terdengar.

Mungkin dari sejuta penyesalan hanya ada sebuah siksaa yang mampu menghancurkan seseorang.  Pria ini menatap kosong hamparan awan. Seolah lensa mampu menembus timbunan asap yang tidak terlihat. Gelap bukan berarti buta, dan hitam bukan berarti tinta.  Masih ada cahaya dari pijaran sang bulan. Matahari masih berperan penting meski si bola berlubang menutupinya dari pandangan sang netra. 

Dari kejauhan yang tampak seperti ukiran rasi bintang; memperlihatkan di suatu tempat tak terlihat, ada lensa yang juga memandang dalam kesendirian. Pria ini mengisak. Meremas jantung dari balik selimut yang tebal. Wajah yang putih jauh lebih lusuh dari pakaian kumuh. Wajah yang tampan terlihat mengerikan diwarnai hitam pada lingkaran pelupuk mata. Angin terdengar bising menerjang gendang telinga yang berusaha di tuliskan. Menelan tangis yang belum berkesudahan meski satu pekan berlalu begitu panjang. Layaknya gelas pecah yang tidak akan pernah bisa sempurna meski lem merekat pada dinding-dinding yang ringkih. Retakan menyisakan bekas yang tak tersentuh, hingga api meleburkan dendam.

"Kau di mana? Katakan padaku ke mana bajingan itu membawamu." 

Tiap kali bibir itu berbisik, tiap kali itu pula pria ini menjerit dalam gelap. Rasa sakit itu menghancurkan pertahanan. Hingga untuk bangkit pun ia tidak lagi mampu. Tangan kekar tidak berguna untuk meraih. Si kaki menjadi lumpuh tiap kali mata menyusuri sudut ruang terakhir. Ia benar-benar lumpuh.  Tujuan hidup yang tidak terlihat membuatnya benci untuk bernafas. Jika saja bisa berlari, maka pria ini lebih memilih menerjang mobil yang melaju. Jika saja bisa mengakhiri, maka pria ini akan meraih racun. Tikus akan merenggang nyawa hanya dengan sepotong keju bersianida, namun manusia akan mati hanya dengan sesendok pembersih lantai. Ia tidak takut sakit, karena rasa sakitnya jauh lebih menyiksa. 

Namun pria ini tidak bisa. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Menangis tidak menimbulkan lelah, tetapi menanti hanya seperti orang bodoh. Jika ia pergi, maka bagaimana dengan gadisnya? Jika ia mati, maka siapa yang akan melindungi nafasnya? Jika ia pergi, maka tidak akan pernah ia memiliki kesempatan menemui malaikat cintanya.  Sumber kekuatannya hingga detik ini. Sumber kebahagiaannya ketika ia dipaksa menjalani kebohongan.  Walau mungkin hanya satu jam, satu menit, atau bahkan satu detik, ia akan menikmati siksa waktu terakhir.

"Kembali. Aku merindukanmu. Ku mohon sayang, katakan padaku." 

Ia sudah mencari cintanya hingga ke tempat yang mungkin saja pria laknat itu kunjungi.  Ia mengunjungi sudut-sudut gelap, rumah kumuh, gudang tua, bahkan Jepang; tempat dimana wanita mungil itu bertumbuh. Tapi Kimbum tidak menemukannya.  Matanya seolah tertutupi kabut yang pekat. Dan kecerdasan seolah direnggut paksa bersama nafas yang tersendat-sendat. Sungguh, jika belati mampu mengembalikan wanitanya, maka Kimbum akan tikamkan sudut runcing pada sang jantung, tepat di depan mata wanita mungil itu. Biar saja dunia mengutuknya. Mencemooh kelemahan, asal wanita itu kembali, ia akan bahagia. 

"Kenapa seperti ini Tuhan? Dari sekian banyak doa umat, aku hanya meminta satu. Apa permintaanku begitu sulit?" 

Memejamkan matanya erat, Kimbum tidak perduli jika pita suara menjadi rusak. Isak-isak yang terdengar merangkai nada kelam yang menyakitkan. Gemerisik dedaunan berbunyi kecil seolah ikut menyampaikan pada sang angin, betapa hancurnya pria itu. Betapa menyedihkan kisah cintanya. Betapa kejamnya sang takdir mempermainkan jalan hidup. Ia yang mencintai sepenuh hati, harus kalah oleh permainan sialan. Ia yang menanamkan akar cinta begitu dalam, harus menarik akar itu hingga tubuh rusak dan berdarah. Percuma bertahan, bahkan bagai patung tidak mampu mengembalikan sang waktu. Seandainya detik memihak, menolak takdir menentukan, maka kisah cinta itu tidak akan pernah hilang.

Tidak akan meninggalkan luka.

Dari balik pintu, Sahee membekap mulutnya. Menyembunyikan isakan dalam lingkup tangan renta. Putranya hancur lebih dari yang Gyuri lakukan. Sosok tangguh itu tergeletak dalam diam hanya untuk menanti istrinya pulang. Tidakkah Tuhan begitu kejam? 

Kimbum mencarinya. Mencari si cinta pertama hingga mengabaikan kesehatannya. Berlari seperti orang gila tiap kali seseorang menekan bel rumah.  Mengabaikan pekerjaannya yang bahkan tidak pernah ia lakukan. Menyiksa tubuhnya dengan berulang kali mencoba mengakhiri hidupnya.  Tidakkah takdir itu keterlaluan? Tidakkah ada kesempatan bagi pria itu?

"Nak," berbisik lirih, Sahee melangkah lebih mendekat.  Ada tikaman di hatinya ketika pria di balik selimut itu tidak bergeming menatapnya. Sejak dulu, Kimbum menutup dirinya. Memilih menjadi pecundang yang gila bekerja. Mengabaikan keluarganya. Menganggap jika ia hidup hanya seorang diri. Namun hanya sampai saat itu. Ketika Soeun muncul, Kimbum kembali seperti dulu. Ia bertanya apakah Soeun cinta pertamanya? Dan Sahee mengatakan, ya. Tidak ada yang salah. Hari dimana Soeun menghilang di jeju, itu adalah hari kehancuran pertama kali Kimbum.  

Untuk pertama kalinya pria itu mabuk. Sakit yang menikam tubuhnya membuat Kimbum lupa akan kesadaran.  Entah karena apa, tapi Sahee tidak percaya pada setiap kalimat Minjae. 

Kimbum tidak mungkin menyentuh Gyuri, sementara pria itu mengetahui siapa sebenarnya cinta pertamanya. Ketika Soeun jatuh pingsan, pria itu berteriak memaki semua orang. Berkali-kali Kimbum memakinya yang menutupi penyakit itu. Kimbum menjaga Soeun seperti menjaga hidupnya. Tidak membiarkan wanita itu jatuh sakit kembali.  Tidak membiarkan wanita itu bersedih. Mati-matian mencari rumah sakit terbaik untuk penyembuhan Soeun. Lalu bagaimana bisa hati itu berselingkuh? Bagaimana bisa ia melakukan tindakan bodoh yang akan membunuhnya secara perlahan?!

Tidak! Putranya tidak semenjijikkan itu. Semua hanya permainanan bodoh rangkaian Siwon.  Sahee menyesal tidak mengetahui segalanya sejak awal.  Harusnya Kimbum menolak. Seharusnya pria itu membelenggu istrinya. Tapi kenapa??! Apa yang sebenarnya terjadi?! 

Sahee tahu betul siapa putranya. Kimbum mencintai Soeun begitu luar biasa. Mengetahui sosok cinta pertamanya membuat pria itu jauh lebih ketat menjaga Soeun. Sakit wanita itu bahkan memaksa Kimbum menjadi pribadi yang lebih pendiam, hingga ada banyak hal yang tertutupi. 

"Dungu adalah cara bersembunyi sayang. Kau bahkan mampu menaklukkan egomu. Ini menjijikkan Kimbum. Apa kau tidak bisa bangun? Apa kau lumpuh?!" 

Berulang kali bibir itu menjerit sakit. Sahee menatap benci Kimbum.  Menangis keras ketika tidak ada jawaban.  Ia lelah melontarkan makian dan permohonan.  Karena apapun yang ia lakukan, tetap saja pria itu diam dalam kebodohan. Mengabaikan setiap manusia yang mencoba menyadarkannya.  Menatap kosong dengan lafalan yang sama. Soeun. Bukan hanya Kimbum, Sahee bahkan berharap semua ini hanya mimpi. Tiap kali matanya terpejam, Sahee selalu berharap Soeun kembali saat fajar menyingsing. 

"Ibu mohon Kimbum, harapan wanita tua ini hanya pada sepasang kakimu. Jika kau mencintainya, maka bawa dia kembali. Bawa putriku kembali."  Bawa Soeun kecilnya kembali.  Jika air mata tidak bisa menghancurkan benteng kedunguan itu, maka Sahee akan menjatuhkan kepalanya di atas marner. Bukan hanya Kimbum yang kehilangan. Ia bahkan melupakan putrinya. Melupakan cara makan yang baik. Melupakan cara tidur setiap malam. Bukan hanya Kimbum yang terluka. Sang Woo bahkan berulang kali menghancurkan tangannya. Tembok putih tidak lagi bersih. Bercak darah menjadi corak menyedihkan. 

Berdiam diri tidak akan membuat Soeun kembali. Jika berlari bisa mempertemukan titik persimpangan si luka dan harapan, maka Sahee akan memaksa Kimbum lari sejauh mungkin. Takdir memang kejam. Tapi Tuhan murah hati. Sahee merapalkan kembali kalimat itu. Beribadah setiap minggu tidak akan membuatnya suci, tapi penggalan ayat kitab suci mengajarkan pengharapan.  Seburuk apapun makian, ia tetap di sana. Mendengar setiap keluh kesah umatnya, dan memberi jalan menggunakan jalannya sendiri. 

"Waktu tidak berjalan mundur Kimbum. Setiap detik yang berlalu, Soeun di sana menunggumu. Kau harus bangkit nak. Percayalah pada hatimu."

Mengusap air matanya, Sahee meghela nafas untuk menghentikan isakannya.  Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan. Kalimat itu akan merasuk ke dalam darah. Sahee beranjak meninggalkan Kimbum. Menatap dalam kesenduan, sebelum akhirnya menutup katupan pintu memisahkan jarak. 

Percuma memaksa, itu tidak akan membuat kekeraskepalaan berubah.  Sahee akan biarkan Kimbum bergelung. Tidak akan sia-sia seorang ibu merawat dan mendidik anaknya. Satu tarikan nafas sang putra pun memberi jawaban jika pria itu mendengarnya. Jika bukan sekarang, maka nanti kaki lemah itu akan beranjak. Cepat atau lambat, Soeun akan kembali, dan Kimbum yang akan membawanya. 


  🍂🍂


Conqeror Chocolate 66









Orang menangis bukan karena mereka lemah. Tapi karena mereka terlalu lama harus berusaha terlihat kuat. — Johnny Depp

.
.
.


Seberapa jauh langkah akan membawa ingatan pergi? Ketika gema menghasilkan nada, pada akhirnya ratapan luka itu kembali mundur seperti kilasan waktu dari masa lalu. Kenangan tidak menjadi bagian hidup di masa depan, namun keyakinan mampu menjadi dorongan untuk kembali memulai perjalanan. 

Ada begitu banyak cara, sebagaimana hati yang hancur meleburkan ingatan. Membiarkan pola menyusun kembali memori. Menempatkan yang salah pada yang salah, dan yang benar pada yang benar.  Hingga pada kehidupan selanjutnya, nafas akan menjadi faktor dominan logika menolak sesuatu yang menjadi trauma. 

Akan timbul berbagai pertentangan. Yang mungkin saja akan menimbulkan rasa sakit-sakit laiinnya. Namun wanita ini berkeras diri.  Membunuh logika, meski pada kenyataannya rasa benci itu tersemat tersembunyi. Berada di titik terdalam ruang hatinya. Satu persatu raga itu menghilang bersama jiwa. Dari semua pertahanan yang dibangun, rasa sakit melebur bersama bulir kekecewaan. Logika mencoba menghanguskan kepercayaan yang dibangun oleh si hati. Tapi kata penyesalan tidak menjadi titik akhir dari maaf.

Mungkinkah ia bodoh? Atau lebih dari sekedar pecundang? Seperti kenari dalam sangkar, nyatanya ia kembali pada nada yang sumbang. Hidup di balik pintu yang terkunci bersama debu dan rasa sepi. Jikapun di masa lampau lensa berbentur sepasang manik penuh cinta, maka saat ini bibir tidak berguna berbicara. Hanya detak jam yang didengar sang telinga. Hanya sibakan gorden yang mampu memperlihatkan sang awan. Sepi.

Soeun memandang gelap. Membiarkan luka menenggelamkannya kembali ke dalam rasa takut. Suara-suara yang merangkak di balik daun pintu tidak mengalihkan pikirannya. Kesadaran itu melangkah jauh meninggalkan nirwana. Membiarkan sang jiwa tinggal bersama debu dari udara bebas.  

"Bisakah kau bertahan bersamaku?"  

Ada banyak cerita yang ingin bibir itu sampaikan. Pada sosok yang tidak terlihat, namun bertahan tanpa meninggalaknanya. Katakanlah ia bodoh, idiot, tapi Soeun tidak tahu berapa lama waktu yang Tuhan berikan untuknya. Berkenala sepanjang hidup nyatanya tidak membuatnya lepas dari belenggu kebencian. Bertemu jutaan manusia juga nyatanya tidak membuat rasa takut sialan itu menjauh dari hatinya. Jika bukan karena sosok mungil itu, Soeun tidak yakin ia akan bertahan. Menahan isakannya, Jemari-jemari lentik bermain di sepanjang garis perut.  

Suatu saat mungkin saja ia tidak akan lagi menyentuhnya. Suatu saat mungkin jemari lemah itu tidak akan mampu lagi menyalurkan cintanya. Namun, satu kali saja; setidaknya jika memang ia tidak diperkenankan menyentuhnya, Soeun bisa menyampaikan rasa sayang itu. Menyampaikan pada sang buah hati, jika di mana pun ia berada, bagaimana pun kondisinya, Soeun akan selalu mencintainya. Mencintai gumpalan darah yang terbentuk dari cintanya. 

"Sepi. Aku muak pada gelap. Ini menyakitkan, tapi aku merindukannya."

Air mata kembali terjatuh. Membuat kaos yang melapisi basah, dan mencetak bagian dalam pakaian. Soeun mengusap pipinya kasar.  Rindu itu sialan. Menyakitkan dan membuat seluruh sendi di tubuhnya mengilu. Dulu ketika Joon berlari menyongsong tubuh lemahnya, Soeun tahu, seberapa banyak pun orang-orang yang menginginkannya mati, ia masih memiliki satu tujuan hidup. Ia bertahan untuk memberikan pria itu kebahagian. Berharap suatu saat, di salju yang sama, ia bisa membalas semua kebaikan itu, cinta itu, kasih sayang itu, dan seluruh hal yang diberikan Joon di bawah kakinya. Hingga semua hilang. Musnah. Menyisakan sepi tak berujung. 

"Berjanjilah, kau akan mencintainya seperti aku mencintainya."

Ya, berjanjilah. Janin kecil itu harus berjanji padanya. Apapun yang terjadi nanti, tidak ada yang boleh membencinya. Mati-matian Soeun bertahan di tengah badai dan benci. Mengutuk kelahirannya; menciptakan luka tak kasat mata dengan menggunakan isakan kepiluan. Membobol dinding-dinding luka menggunakan pisau cacian. Sudah begitu jauh. Di masa lampau, ada tekad di hati itu. Soeun mengingatnya. Bangkit dan berlari, atau mati dalam sepi. Sebelum pada akhirnya sosok itu muncul. Pria itu hadir, dan mengisi seluruh kekosongan.

"Ia ayah yang tampan. Dia baik. Kau tahu, pria itu begitu sempurna."

Pria tampan dengan raut sejuta pesona. Angkuh, dingin, dan irit bicara. Soeun menyukainya. Sejak pertama kali manik almondnya menemukan pria itu duduk seorang diri di bangku taman, seperti pemuda patah hati.  Wanita ini begitu memujanya. Berharap dapat bicara, meski hanya sapaan singkat. Tidak banyak orang yang bersedia berteman dengannya. Joon mengatakan mereka terlalu bodoh, tapi Soeun tahu, anak-anak itu tidak menyukainya. Dan Soeun tidak perduli itu setelah beberapa waktu. 

Namun pria itu berbeda. Soeun menyukai segala yang ada padanya, meski mereka tidak saling mengenal. Menyukai mata tajamnya yang seolah mampu menguliti si hati. Menyukai suaranya, yang terdengar angkuh, namun menyiratkan kebohongan. Pria itu mengatakan tidak menyukainya, namun Soeun tahu dia suka. Juga menyukai wajah tampannya, yang melukiskan sejuta cinta yang terpendam.  

Hari-hari yang berlalu membawanya bertemu kembali pada sorot mata itu. Sorot kejam namun penuh kelembutan. Si lensa elang, yang selau membius kesadaran. Pria itu pernah mengatakan, akan membawanya berlari melintasi sepi. Melindunginya,  dan meletakkan dunia di bawah kekuasaannya. Soeun tidak akan pernah lupa janji itu. Janji masa kecil yang mampu membuang perasaan sakitnya. Janji yang membuat Soeun kembali memiliki tujuan hidup. Pria itu menggantikan posisi Joon. Mengikis sang luka, mengubah duka menjadi kebahagiaan. 

Dia,

Sang cinta pertama. 

"Cintai dia, ku mohon. Aku tidak lagi akan bisa mencintainya."

Kim Sang Bum.

Soeun benar-benar mencintainya. Mencintai sosok dalam keangkuhan. Si pria pongah yang dengan berani mengucapkan janji laknat; yang bahkan tidak mampu ia tepati. Namun sekeji apapun tindakan, nyatanya wanita ini tetap menanti.  Apa yang salah pada si hati? Tidak ada. 

Hujan yang kembali jatuh terdengar mencemooh. Hembusan angin yang menerjang kelopak daun jendela bukan peluru yang menembus sang jantung.  Namun ketika netra membentur bingkai di sisi nakas, air mata itu luruh semakin deras, lengkap beserta dengan denyut pada si jantung.

Wanita ini mengisak lebih keras. Jauh lebih memilukan bersama sengguk di ujung nafas. Mengabaikan jika saja orang-orang jahat itu mendengar suaranya, dan kembali mencacinya.  Hati itu begitu sakit. Si paru-paru begitu menyesakkan. Soeun benci merasakan rindu. Ia memukul dadanya kuat. Berharap dapat mengurangi, atau menghentikan tikaman. Sial!! Tuhan tidak pernah adil meski hanya satu kali. 

"Sedang apa? Apa kau bahagia?"

"Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu." 

"Ku mohon, peluk aku Bum-ah."

"Aku takut."

"Aku, takut."

Meringkuk semakin dalam, isakan wanita ini semakin pilu dan melemah. Sinar mata itu meredup. Pelupuk melindunginya; secara perlahan mengatup. Menghilangkan si warna merah, dan meninggalkan rembesan yang mengalir. Katakan saja mencoba menyembunyikan diri dalam kebohongan, Soeun tidak perduli. Rencana apapun yang pria tua pikirkan, akan menjadi rencana busuk. Biar saja takdir merajut kisahnya sendiri. Soeun akan duduk diam, memperhatikan dari jauh. Kaki itu terlalu lemah untuk beranjak. Biar seperti ini. Ia akan menyerahkan pengendalian tanpa mengikutsertakan si hati.

Mungkin besok, di minggu selanjutnya, atau tahun yang akan datang, semua menjadi rencana si logika. Apapun yang tidak meminta perasaan, akan selalu bermain dalam tangga lagu siksaan. Karena satu kali lompatan yang berbeda, akan menciptakan si sumbang; melukai si telinga hingga tawa tidak akan mampu di dengar.


Conqeror Chocolate 65











Aku berusaha mati-matian manahan pilu.
Dan itulah sebabnya aku berhenti berlari.
Masa depan adalah milikku dan itu bukan aibmu. Karena pada akhirnya, tawamu adalah tujuanku. 
- Kim So Eun

.
.
.

Jika ada yang mengatakan maaf adalah jalan keluar, itu adalah salah. Sesempurna apapun diam, bahkan bukanlah titik pertemuan antara si luka dan perih. Ada lebih banyak kalimat yang mampu dibandingkan, meski kenyataan akal dan logika berpihak pada dendam dan ketidaksukaan. Pikiran mungkin memiliki hak untuk menciptakan kesan dari kemurkaan. Namun ia juga paham bahwa tidak selamanya kenyamanan akan memberikan tempat teraman dibanding dekapan seorang ibu.

Ini seperti pola abstrak kehidupan. Layakmya labirin, berkelok-kelok hingga dalam satu hari yang bergelung, Tuhan menghancurkan angan yang dibangun sang logika. Membiarkan si hati menjerit pilu seorang diri; teredam benci yang menyelimuti si kata baik-baik saja. Tidak meninggalkan anggapan dan sosok menjadi mereka dalam jejak masa lalu. 

Siapa sebenarnya yang memiliki cerita tidak berujung? Mengapa hanya satu orang saja? Dan mengapa harus dirinya? Bukankah Tuhan memiliki lebih dari satu umat?? 

Air mata boleh mengikis jarak antara masa lalu dan kenangan, tapi bibir menciptakan gerak. Membuktikan isak menjadi jalan terakhir untuk menyembuhkan luka. Ini menjadi yang terakhir. Lelah yang pundak itu pikul terjerembab dalam kungkungan kebencian yang mendalam. Malam itu adalah saksi, bahwa kemarin adalah hari pertama dari dimulainya cerita lama. 

Soeun membuka katupan matanya. Menatap kosong celah jendela; hal pertama yang ia sadari ialah ia kembali sendiri. Sebulir air mata jatuh ketika hati itu kembali menggumamkan satu kata. Kimbum. Wanita ini merindukannya hingga sesak sialan itu membuatnya ingin mati. Dunia nyatanya begitu kejam, menghukumnya lebih dari menyisakan takut dalam penyesalan. 

Kimbum pernah mengatakan jika pergi adalah kematian, tapi semua tidak lebih dari kata-kata pecundang. Wanita kecil ini membencinya. Mengutuk setiap ingatan di masa lampau. Satu kali ketika sang otak mengingat semua kata-kata laknat, Soeun ingin murka dan membunuhnya. Tapi hati sialan itu bertahan untuk mencintai. Duka yang ditorehkan sebanyak apapun hanya seperti hempasan hambar yang mudah tertelan rintik hujan.

Apakah diri itu memang begitu berdosa? Coba katakan yang sesungguhnya. Ia hanya ingin memeluk sang ayah, namun sosok gagah yang diharapkan justru kembali meninggalkan. Semu. Hujan itu kembali terdengar. Meninggalkan gema tawa cemooh para makhluk tak kasat mata. Membuat Soeun takut. Setelah sekian lama, gelap semakin mengukungnya dalam kesendirian. Wanita ini benci sepi. Soeun benci sendiri. Apa tidak bisa Tuhan mengirimkan Kimbum untuknya?

Dulu, nada menyandingkan pilu bersama titik di kejauhan. Minjae mengatakan padanya, sendiri itu adalah tujuan hidupnya. Hanna tidak pernah terlihat; Soeun membiarkan si hati meringkuk sendiri di dalam penyesalan. Menikmati setiap makian ataupun hujatan. Hidup mengajarkannya untuk menatap kenyataan, karena lari bukan jalan untuk bersembunyi.

"Apa kau akan terus bungkam? Rumah ini kotor dan kau bukan seorang ratu!!" 

Alunan itu kembali menyadarkan atensinya. Soeun berpaling menatap Hanna. Memancarkan sendu lewat sang manik mata. Mengapa wanita itu begitu membencinya? Seolah-olah kelayakan tak terlihat di pahatan wajah. Jika memang sejak awal Hanna tidak menginginkan kehadiran, kenapa harus mempertahankan hingga ia lahir? Apa sebenarnya kesalahannya di masa lalu? Apa karena Joon? Tapi sejak dulu mereka memang membenci dirinya.

Hujan masih menjadi musik kehilangan. Derap langkah lain yang mendekat membuat rasa takut berkali-kali lipat menyentak gerak jantung di dalam sana. Wanita kecil ini mengedarkan pandangannya demi menghindari tatapan intimidasi sang ibu, tapi sialnya itu membuat Soeun justru menangkap keberadannya. Pria jahat yang sudah memisahkannya dari cintanya. Memejamkan matanya sesaat, Soeun berusaha menikmati aroma mint yang selalu dirindukan sang pernapasan. 

"Soeun, kembali ke atas!! Berhenti bersikap sinting karena Kimbum menghamili putriku!!"

Dan gema suara lainnya tidak akan pernah jauh berbeda. Pria itu benar. Hanya Gyuri putrinya. Soeun memejamkan matanya lebih erat. Mengabaikan sosok yang berdiri angkuh tepat di hadapan meja persegi. Perih itu kembali menjalar hingga ke tulang punggung. Membuat jantung merasa sakit yang menusuk. Apa bayi itu merasakannya??? Sakit yang menikam hingga tubuh terasa berdarah tanpa terlihat?

Kaki itu terlalu sulit digerakkan. Ribuan bisik hinggap memintanya untuk tetap bertahan dan mengatakan bahwa ia juga membutuhkan pria itu. Membutuhkan si berengsek yang telah menghancurkan seluruh hatinya. Bagaimana bisa Soeun kehilangan dirinya, sementara hati itu terpatri pada tubuhnya. Soeun mempercayainya, hingga tidak mampu untuk mengelak.

Ratusan hari yang ia lewati memberi dampak bodoh pada si hati dan pikiran. Satu kali saja pria itu menyebut nama dengan nada menyentuh langit-langit, maka seluruh persendian mengilu memaksa tubuh untuk menyerah pada marmer yang dingin. 

"Apa pendengaranmu terganggu? Kim So Eun!!" 

Kim So Eun?? 

Tulikah ia?

Soeun bergeming. Rasa takut itu ada, dibayangi kehancuran yang menenggelamkan si rasa hormat. Pria itu ayahnya. Ayah yang tetap Soeun banggakan, meski detik menghanguskan kenangan akan kebersamaan. Namun sebanyak apapun ia menolak, wanita ini masih menginginkan hal yang sama. 

"Ayah, seseorang akan membawanya, jika aku menjadi dirimu. Tolong, satu kali saja,—  aku ingin Kimbum, ayah." 

Hanya Kimbum. Sejauh apapun kakinya berlari, Soeun hanya ingin Kimbum berada di sisinya. Kembali pada posisi yang seharusnya. Membuktikan jika cinta terakhir jauh lebih berarti. Karena hati itu begitu sakit ketika nada melepaskan sang jemari dari tautan. Bibir itu begitu laknat mengucapkan kalimat perpisahan yang buruk. Pria itu bahkan masih menatap dalam kesedihan, lalu apa makna dari sebuah kehilangan? 

Satu hari sama seperti satu tahun. Ukiran raut wajah lelah itu membayangi lelah dalam mimpi yang mengalirkan peluh. Soeun rindu, hingga ketika wajah itu terbayang oleh si ingatan, ia benar-benar ingin mati rasanya. Sepakan-sepakan kecil di dalam sana seolah meminta sang ayah untuk datang merengkuhnya. Bukan hanya Soeun, tapi janin itu benci ketika si kaki menjauh tanpa memberontak. Mungkin pria tua itu ayahnya, tapi waktu membuangnya dalam kesendirian.

"Brengsek!!"

"Dari seluruh keinginan, kau hanya bicara seolah bajingan itu Tuhan bagimu!! Tidak ada yang layak mewujudkan mimpi sialanmu!!"

Sialan? Bajingan? Pantaskah pria itu mengatakannya? Soeun membuka matanya. Menatap lensa tua itu dengan perasaan terluka. Jika Kimbum bajingan, lalu apakah pria itu? Seseorang yang membuang anaknya hanya karena kesalahan yang tidak dilakukan secara sengaja. 

Apa pria itu begitu suci hingga mengatakan Kimbum bajingan? Sementara pria itu merawatnya dengan begitu tulus. Sekalipun Kimbum berkhianat, setidaknya sejak awal pria itu sudah mengatakan jika ia akan terluka. Soeun hanya terlalu naif. Berpikir ia mampu mengalihkan dunia itu ke dalam dunianya. memaksa Kimbum lari ke dalam harapan yang dibangun tanpa perduli apakah hati itu menderita. Ia yang bodoh. Dirinya lah yang begitu egois, dan Kimbum pantas mencari cintanya. 

"Apa kau pernah merasakan sakitku? Dia mengambil putriku tanpa memintanya padaku, kemudian menghianatinya begitu saja, kau pikir bagaimana persaanku?!!! Dia putriku!! Putri tunggal kesayanganku!!!" 

Lalu bagaimana dengan perasaannya? Hatinya? Apa ia sama sekali tidak terlihat?

"Tapi Kimbum tidak melakukannya ayah!! Kimbum tidak melakukan itu!!" 

Katakanlah ia dungu, tapi Soeun tidak mampu mempercayai setiap perkataan Minjae. Ia mungkin sinting tapi pria itu benar-benar menyita seluruh kepercayaannya. 

Soeun tahu Gyuri hamil, tapi tidak pernah terlintas dipikirannya jika suami yang begitu ia banggakan adalah ayah dari anak yang wanita itu kandung. Soeun ingat segalanya. Ia memiliki ribuan waktu bersama Gyuri, dan wanita itu merebut semua tempat terbaiknya. Ingatan masa dimana Soeun berjanji akan mengembalikan Kimbum pada cinta pertamanya menyisakan tawa dalam detak irama. Tidak jika itu Gyuri!! Karena wanita itu memiliki semua yang harusnya Soeun miliki 

Kimbum hal terakhir yang ia miliki, dan Soeun tidak akan menyerahkan hatinya pada wanita yang bahkan tidak pernah memikirkan kisah hidupnya. Gyuri hidup dalam gelimangan harta dan kasih sayang tanpa melihatnya berada di sudut kegelapan. Meninggalkannya seorang diri, seolah tempat terkutuk pantas menenggelamkan seorang pembunuh. Tidak menariknya layaknya Joon yang menemani tanpa air dan roti. Namun Kimbum berada di tempat Joon. Pria itu berdiri memasang tubuh sebagai perisai dari kehancuran. Menggantikan isakan menjadi tawa yang indah.

Jika pun harus berpisah kenapa tidak membiarkan waktu yang bertindak. Hanya beberapa saat; biarkan janin itu bersama ayahnya. Jika memang Gyuri jodoh yang Tuhan tetapkan bagi suaminya, setidaknya biarkan anaknya berada di keluarganya. Soeun tidak bisa membiarkan anaknya hidup seorang diri. Berada dalam kesunyian adalah siksa tanpa akhir. 

Belasan tahun Soeun merasakan bagaimana sakitnya hidup dalam ketidakberdayaan tanpa cinta dan kasih sayang. Dan ia akan menanggung duka hingga dalam lubang kematian jika membiarkan anaknya hidup bersama keluarga iblis yang tidak memiliki hati.

Biar saja orang-orang mengatakannya si gadis tercela, atau wanita durhaka, karena kenyataannya si hati telah berduka sejak kaki menapaki salju bersama lukisan mata redup. Masa lalu itu Soeun yang jalani. Manusia di luaran sana bisa menciptakan cerita imaginer, tapi seseorang tidak bisa mencipatakan kenangan pahit yang sebenarnya. 

"Tahu apa kau?! Sialan!! Bahkan Gyuri adalah cinta pertamanya!!" 

Bahkan jika itu ayahnya sendiri. Manusia tetaplah manusia. Daya khayal yang mereka miliki tidak sebesar biji kecambah. Pola pikir itu tidak lebih dari keidiotan manusia hina. Soeun tidak akan pernah mampu menyela hina untuk menghancurkan bibir tidak bertulang. 

"Kenapa diam? Kau tidak mampu mengelak?! Jalang sialan!!" 

Jalang? Benar. 

Soeun menarik nafasnya dalam-dalam. Membiarkan si lensa menatap sendu manik kejam di sudut sana. Iblis tidak akan pernah berubah menjadi malaikat, lalu untuk apa ia bicara. Sebanyak apapun ia melontarkan kata, pria itu nyatanya akan semakin menyerang pertahanannya. Tidak, untuk saat ini Soeun akan mengalah. Soeun tidak ingin pertengkaran itu merusak pikirannya. Karena bayi itu akan terluka jika ia bersikeras menantang lisan sang ayah. 

"Pergi dari sini!! Aku tidak suka melihat wajahmu." 

Minjae, benarkah pria itu ayahnya? Soeun menundukkan wajahnya. Bahkan ia lebih dari muak untuk sekedar menatap lensa yang menjijikkan. Manik itu tidak lagi menariknya untuk menangis. Kedengkian yang Minjae ciptakan membuat Soeun membenci pria berwajah tampan itu. Sebutan ayah tidak lagi terasa indah di telinga. 

"Setelah bayi itu lahir, kau akan menikahi pria pilihanku."

"Kau tidak bisa melakukan itu ayah!! Aku mencintai Kimbum, dan hanya Kimbum suamiku!!" 

Apa di dunia ini semua ayah memang biadap? Apa Minjae memang sudah kehilangan kemanusiaannya? Soeun menerjang tubuh renta pria tua itu. Memukulnya keras, mengabaikan fakta ia bisa saja melukai janinnya karena gesekan perut yang menonjol. Hati itu kini benar-benar berduka. Minjae keterlaluan!! Apa belum cukup sakit yang ia terima? Haruskah menambah luka baru? 

"Diam!! Jangan sebut nama bajingan itu di hadapanku, atau aku pastikan kau tidak akan bertemu bayimu!!" 

Kenapa? Kenapa tidak tikamkan belati pada jantungnya?! Mati lebih baik dibanding menanggung luka seorang diri. Menikah lagi, bahkan ia tidak sudi mengenal pria lain. Hujan bersahutan pada isakan yang tertahan. Soeun menahan tubuhnya pada sudut meja ketika Minjae mendorongnya kasar.

"Pergi!!" 

Ingin. Soeun ingin pergi ke dunia lain yang tidak ada Minjae di dalamnya. Tapi ia butuh Kimbum, sebentar saja. Soeun membutuhkan tubuh kekar itu untuk menghilangkan luka di hatinya. 

"Kenapa kau lakukan ini padaku? Apa kau benar-benar tidak mencintaiku ayah?" 

Sejak ia mengenal siapa itu ayah, pria itu tidak pernah memanggil namanya dengan lembut. Setiap kali alunan terdengar, Minjae hanya akan selalu memaki wajahnya. Pria itu berusaha menunjukkan kasta bahwa ia tidak pantas berada di keluarga ini. Lalu untuk apa memisahkannya dari Kimbum??? Apakah salju memang teman kematiannya? 

"Pergi Kim So Eun.

To be continue..
.
.
.

Tes, tes, tes... 1 2 3 (っ˘̩╭╮˘̩)っ
Pendek?? Iya cuma tes akun doang. 
Baru berhasil setelah hampir dua minggu bermasalah. 

Jangan lupa tinggalin jejak yah. Dan juga doa supaya malam ini akun saya tidak lagi bermasalah. Soalnya bakal update hingga ending. 

Udah gitu aja. 

Sampe ketemu di paper berikutnya.
.
.
.
.

Tertanda,

Istri sah Oh Sehun

😂😂😂❤❤❤
Muachhh