Semua orang terkadang merasa seperti ingin berlari. Tetapi jika kita melakukan itu semua, maka tidak akan ada yang bisa dimulai.
******************************************
Desember, 2019
Sebenarnya sebuah perubahan jaman tidak mampu mengubah sebuah pemikiran yang sempit. Kadang kala sesuatu yang dirapalkan oleh otak itu sendiri, justru akan membawa manusia jatuh ke dalam sebuah lembah yang dapat juga disebutkan sebagi ketakutan. Manusia jelas mengetahui bahwa setiap pemikiran tidaklah akan selalu sesuai dengan kenyataan. Tahun-tahun yang terlewati pun jauh dari sebuah kenangan. Rasa sakit mungkin tidak akan pernah lenyap. Tapi setidaknya persahabatan lebih kuat dari sebuah pertemanan.
Saat ini dimana sesuatu mungkin tidak akan sama kembali seperti di masa lalu. Awan mulai redup bersamaan dengan sepasang manusia berbeda jenis yang duduk memenuhi Colio Cafe, yang jauh lebih lengang dibanding biasanya. Tempat bising ini mendadak sunyi setelah beberapa menit berlalu. Ada wanita muda menduduki kasir, bertubuh tinggi namun tidak terlalu putih. Seperti campuran Korea dan Thailand. Wanita itu tersenyum lebar tiap kali seseorang masuk, dan menimbulkan dentingan pada lonceng di atas pintu.
Di luar jalanan masih terlihat padat. Kendaraan dan matahari mendadak tidak kompak, karena salah satunya telah lama menghilang. Butiran salju jelas tersebar di setiap pinggiran jalan. Menjadikan tumpukan putih menjadi lukisan pemandangan tersendiri bagi sepasang insan yang bergurau di sudut terujung ruangan.
Kursi di sudut ruangan ini hanya berbentuk kayu jati lama. Namun di beberapa bagiannya tersampir beberapa kain penghias yang mempercantik setiap sisi-sisinya.
Sejauh yang ia lihat, tempat ini tidak pernah berubah. Semua masih terlihat sama seperti dahulu. Ada kerinduan yang tidak tersampaikan dari balik bibir-bibir yang berucap. Hanya mata mereka saja yang mampu menyiratkan, jika mereka masih menginginkan perubahan. Meski sejujurnya kedua hati itu tetap dalam kebekuan.
Gadis ini yang pertama mengangkat tangannya. Mengarahkan jemari untuk meraih cangkir berisikan cairan kecoklatan Coffe Latte kesukaannya. Membuat kepulan asapnya menebar, ketika bibirnya yang tipis mencecap dengan perlahan.
Hoppang di atas meja menemani cangkir kopi seorang yang lainnya. Pria itu memiliki tinggi yang menjulang, serta proporsi tubuh yang bisa digambarkan seperti manusia kekurangan gizi. Kurus.
Katarina menyimpan tawanya di dalam hati. Memandang secara tersembunyi sembari terus menikmati cangkir dalam genggamannya. Ah, ini waktu yang begitu lama. Seperti tahun-tahun yang terlewat dan mereka selalu seperti ini. Memesan hoppang namun akan selalu tersisa dua, karena sebagian akan berpindah pada perut seseorang.
"Astaga Mica, hentikan. Ya Tuhan, kau tampak mengerikan."
Ketika akhirnya jarum panjang bergerak turun ke angka enam, wanita ini mengeluarkan suaranya begitu nyaring. Hingga membuat pria itu tertawa senang. Oh shit! Seharusnya memang dirinya hanya diam saja dan memperhatikan. Kini ketika nada telah terlontar, Katarina yakin pria itu tidak akan pernah berhenti.
Mica bahkan tidak perduli ketika seluruh pengunjung melemparkan tatapan aneh pada dirinya. Bukan hanya itu, kue yang berbentuk bulat mirip bakpau itu bahkan kembali diraupnya, hingga kini lenyap tak bersisa.
Katarina menggelengkan kepalanya gemas. Lalu segera meletakkan kembali gelasnya. Akan semakin banyak pertanyaan jika dirinya terus mengikuti kebodohan pria dihadapannya itu.
"Ini terlalu lezat. Kau tahu? Aku kelaparan. Aku lupa menikmati makan siangku."
Mica bersidekap ketika waktu kembali berputar. Angin musim dingin memang menyebalkan. Tapi setelan yang digunakan cukup aman untuk menjaga kestabilan suhu tubuhnya. Mica tersenyum lembut. Di masa lalu detik tidak memberi kesempatan baginya, tetapi saat ini detik seolah menyadarkannya kembali kepada sesuatu yang juga pernah mereka alami bersama. Mica ingat untuk apa ia duduk tenang di sini. Banyak kenangan yang tertinggal di tempat ini, sehingga membuatnya memilih kembali ke tempat di mana mereka memulainya.
"Lalu? Apa hubungannya denganku? Memangnya kau pikir aku tidak lapar?!" dengus Katarina.
Mica mengeratkan jasnya, lantas tersenyum kembali. "Tentu saja itu berhubungan. Kau terlalu sedikit memesannya." balas Mica.
Mica bergidik saat melihat butiran salju turun semakin banyak. Musim ini memang tidak menguntungkan untuknya, yang kurang menyukai udara beku.
Jika saja setelah ini ia sakit, dan kekasihnya mengetahui itu, Mica yakin wanita itu akan menyembelihnya dengan menggunakan gunting rumput tetangga.
Tapi apa boleh buat bukan? Jauh di lubuk hati yang terdalam Mica masih menyimpan banyak keraguan atas semua hal yang membuatnya memilih untuk bertindak dalam bayangan. Musim dingin hanya akan berlangsung selama tiga bulan saja, tetapi jikia ia hanya berdiam diri maka tidak akan ada yang berubah.
"Apa itu sebuah pembelaan? Kau terdengar semakin bodoh, Mic."
Ada kekehan ketika wanita ini mencibir. Katarina menatap sebal Mica yang tertawa tidak tahu diri. Mereka telah lama saling mengenal, dan bukan hanya berjalan bersisian. Ada banyak cerita dibalik sebuah masa lalu. Seperti potret usang merangkai sebuah kisah di dalam sebuah ingatan. Cara bicara pria itu juga tidak pernah berubah. Selalu saja membuat Katarina kesal, tapi juga selalu menggelitik.
"Tidak, itu alasan sayang." jawab Mica.
Mica tersenyum jahil, membiarkan bola matanya bergerak tak tentu arah. Menikmati wajah Katarina adalah anugrah, tetapi tidak akan selamanya akan sempurna. Wanita itu sangat baik. Seberapa lama pun mereka tidak bertemu, Mica tahu Katarina tidak pernah berubah.
Katarina hanya berdecih. "bodoh!" umpatnya.
Ia melemparkan tissue kepada Mica, lalu memberengut pada sandaran kursinya. Sayang? Yang benar saja!
Mulut Mica penuh dengan hoppang, namun bibir tebal itu tetap mampu merangkai kata-kata yang menyebalkan. Katarina kembali menyesap minumannya, namun secara sembunyi-sembunyi memandang Mica.
Berbicara pada Mica memang harus menggunakan kewarasan yang maksimal.
Mica tersenyum kecil. "Aku senang melihatmu baik-baik saja." Pandangannya tertuju lurus pada manik mata Katarina.
Gadia itu tersenyum lembut, namun sebagaimanapun Katarina bersikap, Mica tidak bisa memungkiri jika telah banyak waktu yang merenggut semua kebahagaiaan mereka.
"Benarkah?"
Katarina kembali meletakkan cangkir kopinya. gadis itu menghela nafasnya, berusaha melemparkan keraguan yang menyelinap, sejauh yang dirinya inginkan. Mata itu begitu indah, namun dengan jelas menyiratkan kesedihan. Lalu ketika retinanya menatap bola mata Mica, Katarina menyimpan air matanya. Ada hentakkan keras yang tidak pernah mampu ia hilangkan untuk pria itu.
Pernyatan Mica tidak salah. Katarina bisa mengetahui bahwa pria itu memahami apa yang ia tidak mengerti.
"Hmm. Cobalah untuk bersikap terbuka. Kau tahu, aku bahkan merasa ada yang berbeda. Persahabatan ini, kita tidak lagi sama."
Dan ketika kalimat itu terlontar, Katarina merasa terlempar begitu jauh, hingga ia seperti ia dipaksa mendarat pada hamparan pisau yang tajam. Begitu menyakitkan.
Katarina juga bisa melihat, pancaran kebahagiaan yang Mica pancarkan beberapa saat yang lalu menghilang dalam sekejap. Kesepian begitu jelas terlukis pada manik mata pria itu.
Katarina menundukkan wajahnya penuh sesal. Dulu jauh sebelum Tuhan menciptakan takdir menyedihkan mereka, mereka bersahabat hingga terlihat sulit untuk dipisahkan. Mereka selalu bersama seolah persahabatan itu diikat oleh tali yang tak terlihat.
Namun sekarang?
Mica bahkan tidak lagi sama. Ada sekat yang membatasi mereka. Memalingkan wajahnya, Katarina menatap hamparan salju yang tersebar. Ada beberapa mobil terparkir di ujung jalan. Asap putih yang mengepul cukup menghibur kesedihannya.
"Kau benar. Perpisahan itu mengubah segalanya. Kita seperti orang yang saling tidak mengenal." lirih Katarina.
Katarina mengigit bibir lembut. Ia tentu sadar bahwa semua yang terjadi dimulai dari bibirnya, dan berakhir juga karena dirinya.
Sudah berapa lama mereka terpisah? Mungkin satu atau dua tahun. Entahlah, Mica juga tidak begitu mengingatnya. Hal terakhir yang pria ini ingat hanyalah kepergian Shine 7 tahun yang lalu.
Hari dimana dirinya juga memutuskan untuk ikut pergi, dan hari dimana Kimbum menorehkan luka.
"Apa Shine berubah?"
Katarina melanjutkan kalimatnya dengan nada berharap. Membuat tersenyum samar, sembari memandang kaca.
Katarina berdecak. Mica tidak membuka suaranya, dan ia benci kebisuan.
"Apa dia berubah, Mic?" tanya Katarina lagi.
Mica menggeleng, kemudian mengalihkan kembali tatapannya kepada Katarina.
"Tidak ada yang berubah. Gadis itu tetap manja seperti tujuh tahun yang lalu. Dan ya, seperti yang kau tahu, Soeun sangat cerewet."
Katarina terkekeh mendengar candaan Mica. Gigi putihnya terlihat berkilau berkat rekahan bibirnya yang semakin melebar.
Gadis itu luar biasa cantiknya. Bahkan hanya dengan balutan T-Shirt ungu dan Jeans hitamnya gadis itu masih tampak begitu mempesona. Katarina juga tidak menggunakan polesan make up yang berlebihan. Mica hanya melihat segaris tipis lipstik berwarna pink yang berpadu dengan polesan bedak, yang sama tidak terlihat.
Bolehkah Mica jujur? Ia menyukai Katarina yang seperti ini. Apa adanya dan tetap menjadi dirinya sendiri. Sayang, ia telah terikat pada seseorang. Mungkin jika ia masih seorang diri, Mica akan dengan sangat pasti menjadikan Katarina sebagai miliknya.
"Kau membuatku menjadi rindu padanya."
"Kau memang harus merindukannya. Tapi Darien sangat buruk. Aku membencinya."
Lagi-lagi gadis itu tertawa. Katarina mengangguk setuju. Apa yang Mica katakan memang benar. Pria tampan yang memiliki tinggi maksimal itu memang begitu kaku dalam bersikap. Darien bahkan cenderung dingin, tegas, dan tidak perduli pada apapun. Tapi Katarina begitu mencintainya sejak tujuh tahun yang lalu, meski rasa itu hanya miliknya seorang.
"Kau benar. Darien memang sangat keras kepala. Aku akan mencoba membujuknya." jawab Katarina.
Selama ini mereka cukup dekat, jadi Katarina yakin mampu membujuknya. Meski mungkin kelak pria itu akan sedikit memberang, tapi tidak masalah. Setidaknya hari itu akan berubah dengan cara yang ia pikirkan.
Tidak akan selamanya luka itu membatasi jarak mereka. Dulu bahkan pria itu tidak mampu sekedar hanya untuk membenci. Jadi kini, ketika sebuah lonceng berdentang, Katarina memutuskan untuk mengembalikan semuanya.
Mica mengangguk kecil. "Ku harap kau berhasil. Setidaknya setelah hari itu kita bisa berkumpul." jawabnya.
Meski Mica masih sedikit ragu, tetapi senyum Katarina membuatnya memiliki harapan.
Mica kemudian mengangkat jari telunjuknya, lalu mengarahkan pada Katarina yang mengangguk layaknya gadis kecil yang penurut.
"Berjanjilah" lanjutnya.
No comments:
Post a Comment