Search This Blog

Monday, August 16, 2021

Reality (Part 4)

 



Kisah lama kita hanya sebuah ulasan senja. Aku menemani dalam sepi, dan kau akan membasuh dalam kegetiran. 


─Mica






***************************************





Di tempat ini rintik-rintik gerimis semakin menipis. Sama seperti empat bulan yang lalu hujan sesekali menerpa. Juli adalah musim penghujan sehingga tidak akan ada terik matahari. Angin topan akan secara langsung merusak tanaman. Curah hujan juga akan menunjukkan persentase yang signifikan dibanding biasanya. Untuk beberapa minggu kota ini akan selalu berawan disertai hujan yang sering hingga tiga minggu.


Di waktu yang sama seorang gadis terus berlari-lari kecil menyusuri pinggiran jalan. Membiarkan roda-roda kendaraan yang berlalu-lalang menyipratkan genangan air keruh pada seragam putih sekolahnya. Shine berlari melewati atap-atap toko yang biasa ia singgahi. Sesekali nafasnya berhembus kasar, ketika tanpa sengaja aroma sedap makanan merayapi penciumannya. 


Hingga,


Srattttt 


Shine menghentikan langkahnya, lalu mengeram saat merasakan terpaan air kotor di wajahnya. Mengatur napasnya, Shine kemudian duduk di bangku keramik yang dingin, lalu mendekap erat tubuhnya menggunakan kedua tangan. 


Hujan memang hanya berupa rintikan kecil, namun berkat sapuan air kubangan kini tubuhnya mulai mengigil. Setidaknya flu akan segera menyerang jika ia tidak segera tiba di rumah dan mengganti semua pakaiannya. 


Bergerak perlahan, Shine menatap pergelangan tangannya. Ia menghembuskan nafas berat ketika manik matanya menangkap angka yang cukup sial.  Pukul enam sore.  Senja sudah lebih dulu muncul, dan sudah barang tentu akan cukup lama baginya menanti bus yang ia inginkan. Terlebih halte ini begitu sepi,— menunggu sendiri benar-benar terasa mengerikan.


"Menyebalkan! Ini karena mereka meninggalkanku. Ya Tuhan, ku mohon kutuk saja mereka menjadi lumut." lirihnya. Shine menggerutu seorang diri.  Ketika bulu-bulu halus disekitar lehernya meremang secara tiba-tiba, Shine menangis. 


Halte itu benar-benar terlihat menakutkan. Sekalipun berada tidak jauh dari sekolahnya, tidak banyak murid yang bersedia menunggu di sana.  Mengingat orang-orang sekitar pernah mengatakan jika bayangan hitam akan muncul saat seseorang menunggu seorang diri.  Dan Shine bersumpah ia sangat menyesal berteduh di bawah atap halte sialan ini.


"Astaga, ini mengerikan. Aku akan mengadukan Darien pada Adam."


 Shine menarik ingusnya kasar, lalu kembali mengisak kecil. Ia tidak menyadari seseorang tersenyum mendengar ucapan-ucapan konyolnya. 


"Mom, ini menakutkan." Bisik Shine semakin lirih. Ia membungkam bibirnya, ketika sekelebat bayangan melintas begitu cepat di belakang tubuhnya. 


Ini tidak lucu. 


Shine mencoba memalingkan kepalanya secara perlahan, namun— sial! Ia justru semakin bergidik manakala manik matanya tidak mendapati seorangpun duduk menunggu bersama dirinya. Beberapa bohlam bahkan mati dan hanya beberapa yang bercahaya redup. 


Shine semakin menutup rapat matanya. Terkutuklah orang-orang bodoh yang tidak becus memperhatikan fasilitas. Shine terus menyumpahi para manusia yang bahkan tidak terlihat dihadapannya.  Membuatnya telihat begitu bodoh, karena kenyataanya beberapa kendaraan masih sesekali melintasi jalanan.


"Tidak baik menggerutu seorang diri." 


Belum lagi hilang ketakutannya, Shine menjerit ketika sebuah suara menyapa indera pendengarannya. Entah dari mana datangnya, tapi pria itu sudah duduk manis tepat di sisi kanan tubuhnya.


"Sial! Mati saja kau di neraka!" maki Shine.


Pria itu mengendik tidak perduli. Darien mengusap ringan surai Shine yang basah, lalu menyampirkan coat miliknya pada tubuh bergetar itu.  Jelas sekali udara yang dingin berkat gerimis membuat tubuh ringkih Shine menggigil kedinginan. Shine memiliki imune yang rendah, namun begitu malas menggunakan coat. 


"Jika aku mati kau akan menangis." 


Namun, baru saja ia akan menarik permen dari saku celananya, Shine sudah lebih dulu melempar coatnya, sembari berteriak marah.


"Bangga sekali kau. Menjauh dariku." 


Darien menarik napasnya, mengabaikan desisan tidak suka Shine. Ia memungut coatnya lalu memakaikan kembali benda tebal itu pada tubuh Shine, sembari tidak lupa mencengkram pundak Shine; memperingati gadis manja itu jika ia sedang tidak ingin dibantah. 


Setelah merasa Shine menyerah, Darien kembali membuka mulutnya. 


"Ku rasa tidak. Aku mengatakan yang sebenarnya, kau tahu?" 



"Terserah kau saja! Pergilah, jangan dekati aku."


"Astaga, ini tidak benar. Aku berharap mendapatkan ciuman manis, bukan justru diusir seperti ini." 


"Bermimpi saja sana! Jangan bicara padaku!" 



Darien tertawa geli. Ia kemudian berpura-pura membelalakkan matanya, bersikap seolah-olah terkejut dan tidak percaya. 


"Kenapa?" tanyanya kemudian, yang mau tidak mau membuat Shine semakin kesal. 


Raut wajah Darien benar-benar membuatnya ingin muntah.


"Kalian keterlaluan! Aku tidak mau bicara padamu." 


Sudut mata Shine kembali meneteskan air saat Darien justru tertawa dengan tidak tahu diri.  Merasa Darien hanya berniat menggodanya, Shine mengangjat tanganya lalu memukul keras dada bidang itu. 


"Kau menyebalkan. Pergi!!" isak Shine seball.


Darien semakin tertawa lebar. Ia menangkap jemari Shine lalu menggenggam jemari kuat. Mica dan Katarina memang memilih pulang lebih dulu. Tetapi tidak dengannya. Sejak tadi Darien berada di sekitar Shine. Sayangnya ia tidak sengaja tertidur dibalik dinding kelas, saat menunggu Shine keluar dari dalam kelas, sehingga Shine tidak menyadari kehadirannya. 


"Kau mengusirku? Setelah aku menunggumu begitu lama?" 


"Aku tidak memintamu untuk menungguiku!" 


"Baiklah-baiklah, aku minta maaf." 


"Kau jahat. Aku takut. Bagaimana bisa kalian melakukan ini padaku?" 


Dalam kurun waktu satu detik runtuh sudah segala pertahanan gadis itu. Shine mengisak semakin keras saat Darien memeluknya. 


"Kenapa kau menangis? Sejak tadi aku berada dibelakangmu. Kau yang tidak menyadarinya." 


"Kau yang tidak menyapaku."


"Itu karena kau sangat menggemaskan."


"Sinting!" 


Darien terkekeh. Shine selalu mampu menjawab semua kalimat-kalimatnya. 



"Kau memang menggemaskan, dan aku tidak bercanda." Ucap Darien serius. Lalu mengecup sayang rambut yang sedikit basah. 


Di balik dada Darien perlahan Shine tersenyum. Rasa yang dipendamnya selama empat tahun nyatanya mencuat begitu saja. Membuat detak jantungnya tidak terkendali. Terlebih ketika Darien mengecup lembut ceruk lehernya. 


Tuhan, jika saja ia mampu menjerit, maka Shine akan lakukan. Tapi tidak, Shine hanya mampu menutupi semburat merah muda yang muncul pada permukaan pipinya di balik dada bidang itu. Terlalu banyak untaian yang ia ingin utarakan. Namun kata itu "Persahabatan" kembali membawanya masuk ke dalam pusaran kewarasan. Dimana di sana dirinya selalu merafalkan kalimat bahwa ia mungkin berkhianat, dan biar angin dan hujan saja yang mengetahuinya. 


Sementara di tempatnya duduk, Darien semakin melebarkan senyumnya. Shine semakin mempererat pelukan di antara mereka. Darien memejamkan matanya, merasakan gemuruh yang tidak biasa kembali memenuhi detak pada jantungnya. Detakan itu lebih kuat, seolah ada dua jantung tengah berdetak di dalam tubuh yang sehat. Darien tahu ia telah salah, tetapi gadis itu selalu berada di dalam pikirannya. Berapa kali pun ia berusaha untuk menyerah, sebanyak itu juga hatinya menuntut untuk berjuang. 


Rasa itu hadir begitu saja. Saat ia sadar bahwa kemungkinan tidak berada dekat dengannya, Darien mencoba untuk menghapus rasa. Namun tentu saja semua tidak semudah yang ia bayangkan. Di setiap hari yang mereka lewati takdir seolah semakin mendekatnya pada Shine. Dan ketika rasa di hatinya kian tak terkendali, rasa ingin memiliki semakin membuncah.




****Cuowu de Ai****






Cabang maple itu tumbuh begitu padat. Ranting-ranting yang penuh ditumbuhi daun orange membuat pohon itu tampak anggun dipandang mata. Daun-daun sedikit berserakan di atas rumput-rumput hujau yang hampir menyerupai bentangan permadani yang indah. Katarina memungut sehelai daun, dan mempermainkannya di antara ruas-ruas jarinya yang lentik, lalu membuangnya kembali.


"Apa yang ingin kau sampaikan?" tanyanya. 


Angin yang berhembus menerbangkan anak-anak rambutnya. Membuat jemarinya sedikit kewalahan menghalau rambut yang menutupi mata. Kakinya masih melangkah, berderap sama dengan gadis di sisinya.


"Kau siap untuk mendengarnya?"


"Apakah ini sesuatu yang sangat penting?"


"Hmm," gumam Shine. 


"Apa? Katakanlah."


Shine menarik nafasnya dalam sebelum menatap Katarina ragu-ragu. Gadis itu memang sahabatnya, namun untuk mengungkapkan sesuatu Shine merasa seperti di tahan begitu kuat. Kenyataan yang ada di antara benang persahabatan selalu memaksanya untuk bertahan, belajar melupakan, dan tidak untuk menuntut. Tapi saat hati menjerit, sembilu luka menginginkan kejujuran untuk mengucap sebait kata. 


Sekali lagi Shine menghela nafasnya. Lalu kembali menatap langit.


"Aku,— menyukai Darien." ucap Shine lirih.



Entah itu nyata atau hanya sebuah khayalan, Katarina menghentikan langkahnya. Angin masih berhembus kencang. Rintik kecil hujan membuatnya sedikit membeku karena dingin. Apalagi kedua kaki mereka telanjang tidak menggunakan alas. Tapi biar saja, kaki akan senang menikmati hamparan rumput yang tajam.


"Ah, jadi kau menyukai Darien?" 


Untuk sesaat Katarina merasa bingung, namun setelah memandang wajah Shine pandangan Katarina kembali bertaut pada langit yang gelap. 


Shine mengangguk, "Aku memang bodoh." Lirihnya. Gerakan gemiricik daun mencubit sebagian hati Katarina. Shine, tidak seharusnya merasa kecil diri. Perasaan itu lumrah dirasakan seorang gadis bukan? 


"Siapa yang mengatakan kau bodoh? Kemarilah." 


Katarina menarik Shine mendekati bangku taman yang cantik. Ukiran kelinci dan rumput sangat padu pada titik-titik cat yang berwarna hitam. Katarina lalu menarik kedua sudut biburnya, tersenyum bangga. 


Katarina akui ia cukup terkejut mendengar pengakuan Shine,  namun Katarina bersumpah ia bahagia mendengar penuturan sahabatnya itu. Shine, tidak pernah jatuh cinta. Bukan karena tidak mau, tetapi karena manusia bernama Darien yang selalu berada di sisinya. Pria itu selalu menghalangi pria lain yang mencoba mendekati Shine. Jadi wajar bila pada akhirnya Shine melabuhkan hatinya kepada Darien.


"Kau tidak membenciku?" tanya Shine 


Katarina tertawa kesal, lalu mendorong kecil kepala Shine. "Bodoh! Aku sangat menyayangimu, jadi jangan berpikir aku mampu membencimu."


Jika Shine berpikir ia juga memiliki perasaan yang sama pada Darien, Shine salah. Katarina hanya menganggap Darien sebagai sahabatnya. Tidak lebih. 


"Tanganmu, menyebalkan Kat. Aku akan mengadukanmu pada Adam." 


Mereka duduk bersisian, namun Katarina semakin memperbesar tawanya saat Shine mengembungkan pipinya seperti ikan koi. Shine memang sangat manja. Katarina yakin jika Darien juga memiliki rasa yang sama, maka pria itu akan semakin menjaga Shine dengan berlebihan. 


"Kau selalu mengandalkan Adam. Itu tidak adil" gerutu Katarina. 


Shine tersenyum manis.  "Aku hanya bercanda." jawabnya riang.


"Kenapa?" tanya lagi, ketika Katarina justru berubah menjadi serius. 


"Bolehkah aku juga mengungkapkan sesuatu juga?"


"Tentu,." jawab Shine. 


Katarina nampak terdiam sesaat, kemudian menghela nafasnya berulang kali. Gadis itu terlihat begitu ragu. Membuat Shine khawatir.  Shine takut Katarina akan mengakui hal yang sama. Namun Shine memutuskan diam dan menunggu.


"Aku,— aku juga menyukai Mica." 



Shine membeku. Mungkin memang benar tidak akan ada persahabatan di antara pria dan wanita.  Namun sesaat kemudian Shine mengerjapkan matanya tudak percaya, sebelum akhirnya ia berteriak keras.


"APAAA??" 


"Kecilkan suaramu. Kau membuat pendengaranku rusak."  


Shine terkekeh malu. 


"Benarkah? Kau sedang tidak berencana menipuku kan?" tanya Shine antusias, yang mau tidak mau membuat Katarina menyesali keputusan sesaatnya.  Bagaimana jika Shine membocorkan perasaannya pada Mica? Astaga, Katarina tidak bisa membayangkannya. 



Jadi dibanding Shine membeberkan semuanya cepat-cepat Katarina menganggukkan kepalanya. Namun sekali lagi Shine menjerit-jerit tidak karuan, membuatnya kesal bukan main. 



"Astaga, astaga aku bahagia." 


"Kecilkan suaramu Shine. Kau membuat pendengaranku rusak." 


"Aku tidak perduli." jawab Shine angkuh. Melihat Shine tetawa-tawa seorang diri, Katarina menjadi bingung. Apakah sahabatnya menjadi gila karena pengakuannya? 


"Apa kau marah padaku?"


"Aku pasti sudah gila."


"Kau memang sudah gila." jawab Katarina cepat, lantas ikut tertawa. Membiarkan langit merekam semua kebahagian persahabatan mereka. 


Biarkan seperti ini. Nanti disaat yang lain, biarkan cinta yang memilih. Seorang manusia tidak mengetahui jalan hidupnya, dan putaran poros tidak akan selamanya menemani desau hembusan angin. Biarkan melodi itu mengalun untuk mengantarkan lagu-lagu kenangan. Karena kelak ketika musik telah berhenti, maka itulah yang akan menjadi akhir dari kisah mereka.


No comments:

Post a Comment