Sebuah kisah lebih baik dari tutur kata yang terdengar. Biarkan seperti ini, karena aku menikmatinnya. ─ Darine
***************************************
"Anak-anak tolol!" teriak Shine lantang. Shine masuk ke dalam ruang kelasnya, dan membanting begitu saja tas yang sejak tadi ia sandang.
"Wow, wo, slow girl. Ada apa denganmu?"
Katarina mengernyit bingung. Shine terlihat mengerikan di matanya dengan rambut acak-acakan dan kemeja yang basah berkat keringat yang merembes. Ini bahkan masih terlalu pagi, namun gadis itu sudah tampak mengenaskan.
"Kondom dan pil? Sinting! Apa mereka tidak memiliki pikiran?!"
"Ck, Ada apa denganmu? Kenapa kau marah-marah?"
"Brengsek!!"
"Kau gila? Apa yang kau katakan." tegur Katarina.
Ia menatap Shine marah. Yang benar saja! Jika Darien dan Mica mendengar itu Shine mungkin tidak akan selamat. Darien bisa saja memarahinya semalam suntuk, dan Mica akan dengan senang hati menjelaskan bahwa kalimat-kalimat itu sangat tidak pantas keluar dari bibir Shine yang memiliki sifat lembut dalam hal apapaun. Jadi Cukup aneh ketika Shine justru mengucapkan kalimat tersebut dengan raut wajah tidak biasa.
Shine membuang napasnya kasar, lalu merangsek duduk masih dengan emosi yang meluap-luap. "Itu bukan kalimatku! Anak-anak bodoh itu yang mengucapkannya." ucapnya kesal. Gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, kemudian menangis terisak.
Katarina terkejut. "Hey, kenapa menangis Shine? Apa yang mereka lakukan? Apa mereka menyakitimu? Katakan padaku.". Melihat Shine tidak merespon, Katarina segera menarik kursinya mendekati, lantas memeluk Shine dengan erat.
Ruang kelas masih cukup sepi karena memang masih begitu pagi. Hanya beberapa murid wanita yang terlihat. Beberapa orang nampak memperhatikan Shine, namun yang lainnya lebih memilih berbisik-bisik. Katarina mengusap lembut punggung Shine mencoba menenangkan gadis itu, karena Shine tidak akan perrnah mau bicara jika tangisannya masih belum usai. Namun saat tubuh mungil tersebut bergetar Katarina justru semakin merasa cemas. Bagaimana jika seseorang mencoba melukai Shine? Adam mungkin akan memaki mereka semua setelah ini, sementara ia bahkan tidak mengetahui apapun.
Pagi ini ia memang terpaksa pergi lebih dahulu, karena sang ayah memintanya untuk berkunjung ke perusahaan. Meski tidak masuk akal Katarina tetap menyanggupi dan datang tepat di pukul lima pagi, sehingga Katarina terpaksa membatalkan janjinya kepada Shine untuk berangkat sekolah bersama.
"Shine, jangan menangis lagi." bujuk Katarina.
"Kat,—" Shine mencoba bicara, namun isakannya membuat tenggorokannya tercekat. Rasa takut kembali menyergap perasaannya, membuat Shine kembali panik dan menangis keras.
"Ada apa Shine? Jangan membuatku takut."
"Mereka,— mereka menyentuhku. Mereka melakukannya Kat. Aku harus bagaimana?"
"Apa???" jerit Katarina. Katarina menggebrak meja. Ia benar-benar terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja Shine katakan. Otaknya mulai berpikir yang tidak-tidak, tetapi sebisa mungkin Katarina mengelaknya.
"Tolong aku Kat," bisik Shine lirih.
Katarina membeku. Jantungnya berdebar kuat saat Shine mengangkat wajahnya dan menatapnya sakit.
"Apa yang mereka sentuh?" Tanya Katarina. Nada suaranya menyusut signifikan. Katarina mengusap lembut rambut hitam Shine, mengabaikan tingkahnya beberapa detik yang lalu. Ia tidak peduli banyak mata kini memandang aneh padanya. Bagai Katarina Shine jauh lebih penting. Katarina kembali mendekap tubuh Shine. Ia benar-benar menyesal membiarkan Shine berkeliaran seorang diri.
"Kat, bagaimana ini? Aku takut mereka mencariku. Tolong aku."
Masih dengan isakannya Shine membalas pelukan Katarina. Menatap gadis bermata cantik itu dengan pandangan memohon. Ia benar-benar merasa takut hingga tubuhnya bergetar kuat. Shine bahkan masih mengingat jelas bagaimana berandalan-berandalan itu menyentuh tubuhnya.
"Katakan, katakan padaku apa saja yang mereka lakukan. Berhenti menangis sayang, aku akan membunuh mereka." ucap Katarina bergetar. Pertahanannya runtuh membayangkan bagaimana ketakutannya Shine saat melawan pria-pria itu. Shine seoorang diri tanpa dia atau Darien, dan juga Mica.
Melihat Katarina menangis, Shine kembali meloloskan isakannya. Membiarkan bibirnya bergetar kuat, tanpa memperdulikan teman-temannya yang semakin penasaran.
Shine tidak menyangka hal itu akan menimpa dirinya di saat Darien atau Mica tidak berada di dekatnya. Karena Katarina membatalkan janjinya, Shine terpaksa memilih berangkat seorang diri dengan menyusuri jalan setapak yang sepi. Tadinya Shine hanya berpikir jika jalan tersebut akan memotong waktu yang ia perlukan, karena dulu Mica pernah membawanya melalui jalan itu. Tetapi saat Shine memasuki jalan tersebut sedikit lebih dalam, beberapa pemuda menengah pertama mencegat laju langkahnya. Shine ingin melawan, namun ia mengurungkan niat itu saat bau alkohol menyerang penciumannya. Para lelaki itu mabuk.
Merasa dalam bahaya Shine mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun belum sempat ia berlari, seorang pemuda lebih dulu menahannya dan menghempas kasar tubuhnya pada batang pohon yang keras. Mengukungnya dengan mencekal kedua tangannya. Dalam keadaan cemas Shine hanya bisa melontarkan kalimat-kalimat kotor, sembari memikirkan cara untuk membebaskan diri. Tapi kungkungan tangan disekitar tubuhnya membuat Shine tidak mampu melakukan apapun. Lalu ketika seorang pemuda lain menyentuh dadanya, dengan kekuatan yang entah dari mana Shine menendang alat vital pria yang tersebut, lalu berlari secepat yang dirinya bisa.
Katarina menggeleng tidak percaya mendengar cerita Shine. Shine menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya, membuat Katarina sedih bukan kepalang. Katarina meraih kedua tangan Shine, lalu menghapus air mata sahabatnya itu yang tidak berhenti mengalir deras.
"Katakan padaku siapa yang melakukannya?"
Namun Katarina harus lagi-lagi terkejut ketika sebuah geraman menyela dengan begitu menakutkan. Di hadapannya Shine semakin bergetar dan menunduk ketakutan. Katarina memaling, detik berikutnya gadis itu menahan seluruh nafasnya ketika mendapati Darien dan Mica telah berdiri garang di balik punggungnya.
Tidak mampu menanggapi, Katarina memilih diam dan semakin mengeratkan genggaman tangannnya. Manik mata Katarina hanya mampu menatap takut manik mata Darien yang memerah murka seolah siap untuk membunuh seseorang. Sementara Mica belum bersuara, namun pria itu juga berdiri dengan wajah khas malaikat pencabut nyawa.
"Katakan siapa yang MELAKUKANNYA?!!"
Shit!
Katarina terlonjak terkejut mendengar teriakan itu. Beberapa murid juga memandang mereka dengan cepat lalu mengernyit tidak mengerti.
Darien benar-benar mengerikan ketika murka. Mica berulang kali mengumpati sikap sahabatnya itu di dalam hati. Detak jantungnya bergemuruh berkat hardikan bibir iblis Darien. Siapa yang tidak terkejut? Ia bahkan berdiri tepat di sisi pria tampan itu.
"Bicaralah Kat, atau kau akan melihat pria ini membunuh seseorang."
Pada akhinya Mica mengangkat suaranya untuk menegur Katarina yang kembali memilih bungkam dengan menundukkan kepalanya. Jika hanya diam saja Darien akan semakin tak terkendali. Bertanya pada Shine juga hanya akan membuat gadis itu semakin ketakutan. Dan percayalah itu hanya semakin memancing tanduk siluman Darien mencuat keluar.
"Aku tidak mengetahui apapun Mica. Shine hanya mengatakan kepadaku, jika pemuda disekitar jalan setapak Aleumdaum,—"
"Brengsek!!!"
Belum sempat Katarina menarik nafasnya untuk menenangkan diri, teriakan Darien sudah kembali menekan debaran jantungnya. Pria itu menerjang meja dan kursi dengan membabi buta. Membuat para murid lainnya memilih berlari keluar untuk menyelamatkan diri. Mica yang mencoba menenangkan justru harus menerima satu pukulan di pipi kanannya.
"Darien stop!!"
Katarina menjerit keras manakala Darien berlari keluar dengan cepat. Ia tahu betul tahu apa yang akan dilakukan pria tampan itu. Tidak ingin terjadi hal buruk cepat-cepat Katarina bangkit berdiri. Ia melepas genggaman tangannya pada Shine, lalu berlari mengejar Darien.
Mica mendengus melihat tingkah Katarina yang dengan polosnya berlari. Apa gadis itu berpikir bisa menenangkan Darien? Salah-salah juatru Darien melampiaskan kemarahanya kepada Katarina. Menenangkan seluruh emosinya Mica merenggangkan kepalan tangannya. Ketika mendengar isakan Shine, Mica beranjak mendekat lalu menarik Shine ke dalam pelukannya.
Mica mengusap setiap helaian rambut Shine untuk memberikan rasa aman kepada gadis itu. Dan beruntung Shine bisa sedikit mengurangi isakannya. Mica tersenyum sedih. Gadis dalam pelukannya itu adalah gadis yang dicintainya, lalu bagaimana ia harus bersikap? Mica tidak tahu.
Mica ingin melakaukan hal yang sama seperti yang Darien lakukan. Tapi ia tidak mampu meninggalkan Shine seorang diri dalam trauma ketakutannya. Setidaknya jika ia tidak bisa menjadi pahlawan bagi Shine, ia bisa berguna dengan pelukannya. Setidaknya, rasa sayang yang yang dirinya miliki dapat tersampaikan dirasakan kepada Shine. Shine tidak perlu mengerti. Asalkan Shine merasa aman itu sudah lebih dari cukup bagi Mica.
"Berhentilah menangis, aku ada disini. Ayo, aku akan mengantarmu pulang." Bisik Mica lirih. Mica mengangkat Shine, membawanya keluar tanpa memperdulikan tatapan bingung yang teman-temannya lemparkan. Biarlah. Tatapan itu tidak berpengaruh untuknya. Bagi Mica hanya satu yang ingin ia lakukan, yaitu menenangkan Shine dan membuat gadis itu merasa aman.
******
Katarina terus berlari cepat. Dedaunan yang gugur di atas kepalanya tidak lagi dihiraukan. Kakinya seperti tidak merasakan letih meski peluh membanjiri dahi putihnya. Dari titik di dalam kelasnya, hingga kini ia telah berada dijalan setapak katarina masih berusaha menyusuri setiap tempat untuk mencari sosok sahabatnya tersebut.
Sekali lagi gadis ini berbelok, menyusuri cabang kiri untuk membawanya menuju jalanan di sekitar perumahan Shine. Dan benar saja. Tepat di ujung sana, di bawah batang pinus yang besar Katarina menemukan Darien. Pria itu terlihat melayangkan pukulan bertubi-tubi pada seorang brandalan yang telah terkapar tak berdaya.
"Darien berhenti! Apa yang kau lakukan dia bisa mati!" Teriaknya keras.
Katarina berlari mendekati, lalu menarik tangan Darien, mencoba menarik pria itu untuk menjauhi tubuh para brandalan itu. Namun emosi yang melingkupi hatinya membuat Darien menutup mata. Darien melepas genggaman itu dan kembali menerjang tanpa ampun. Membuat Katarina berjengit terkejut, lalu dengan segera kembali mendekap Darien.
"Cukup Darien. Kau akan membuat nyawa pria brengsek itu melayang." ucap Katarina. Ia sedikit bergetar takut mendapati sahabatnya yang terlihat tidak biasa. Darien begitu terlihat muka murka. Ada cubitan aneh yang merasuk ke dalam perasaanya ketika Katarina menyadari Darien seperti seorang kekasih yang tengah membalaskan rasa sakit gadisnya. Entah mengapa Katarina mendadak merasa tidak terima.
"Lepaskan aku Kat! Aku harus menghabisi mereka!!"
Pria itu kembali berteriak keras. Darien bergerak mencoba melepaskan diri, namun Katarina tidak membiarkannya begitu saja. Dengan kuat Katarina memeluk tubuh Darien.
"Tidak, kau tidak boleh melakukan itu. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi seorang pembunuh."
"Kat,"
Katarina menggeleng kuat, dan semakin memperkuat pelukannya. Darien mengerang frustasi. Ia berteriak keras menyalurkan rasa sesaknya. Namun sekali lagi Katarina tetap tidak bergeming. Darien benar-benar menyesal tidak menemani Shine. Ia tidak bisa menerima pelecehan yang diterima gadisnya.Jika saja ia mendengarkan perintah Adam saat itu untuk menjemput Shine, semua ini tidak akan pernah terjadi. Kembali Darien berteriak lebih keras. Parasnya terlihat kacau dan jemarinya menarik helaian rambut seperti orang gila yang tidk terkendali.
"Tenanglah Dar, mereka sudah tidak berdaya. Apa kau tidak ingin menemui Shine?"
Ada tetesan bening ketika hati itu tergores. Katarina menggigit bibirnya, ketika Darien mengabaikan keberadaannya. Katarina berdiri dihadapan Darien dengan menahan kedua lengan pria itu dalam genggaman tangannya.
Berbeda halnya dengan Darien. Aliran darahnya mendadak terasa tersumbat seperti tidak mengalir. Nama Shine yang terlontar dari bibir Katarina menyadarkan kebodohannya. Darien mengacak rambutnya kasar. Bagaimana bisa ia justru meninggalkan Shine seorang diri tanpa menenangkan gadis itu terlebih dahulu.
Bodoh.
Menatap para berandalan itu, Darien kemudian meludah sebagai perpisahan terakhirnya. Lalu tanpa banyak berpikir, Darien segera menarik Katarin membawanya menuju motor yang terparkir di ujung jalan setapak.
Segala hal yang membuatnya hancur ditepisnya beberapa saat. Saat ini yang menjadi fokus utama Darien ialah segera tiba di kediaman Haichi untuk menenangkan Shine. Semenatara Katarina hanya diam tanpa berniat bersuara. Bibirnya tersenyum samar, miris mendapati kebodohannya.
Bagaimana bisa ia merasa cemburu mendapati Darien begitu memperdulikan Shine. Bahkan hanya dengan menyebut nama Shine saja, Darien menghentikan semua kemarahannya. Bersamaan dengan terpaan angin yang menyentuh wajahnya, Katarina menyadari ada rasa tak kasat mata yang mencoba membuainya.
Katarina merasakan hal yang sama seperti yang Shine rasakan. Darien.
****
Ruangan bercorak putih ini masih sunyi meski suara di balik kaca jendela begitu berisik. Detakan pada jam sesekali menyadarkan Mica jika waktu masih terus bergerak. Pintu dan tirai gorden yang tertutup membuatnya merasa seperti sedang berada didalam ruang isolasi. Sesekali isakan masih terdengar lirih. Ada bubur dan susu chocolate hangat namun tidak tersentuh.
Nakas terlihat penuh. Berbagai macam buah disediakan bagi sosok gadis yang masih tetap meringkuk takut di balik selimut. Langit masih cerah, karena ini masih hari yang sama. Mica mencoba beranjak, menarik selimut lalu menatap iba Shine yang terlelap namun masih dengan sesekali mengisak. Beruntung Haichi berada dikedimannya. Meskipun pria tua itu juga cukup shock dan marah, namun Haichi masih mampu mengendalikan dirinya dan juga menenangkan Merry yang menjerit-jerit. Pria tua itu juga cekatan memanggil dokter setelah berhasil menenangkan putrinya, juga membujuk Shine untuk tidur sebentar.
Pintu berderit. Mica berpaling singkat. Ia sedikit menyungging senyum miris ketika Darien bergegas masuk bersama Katarina yang mengekorinya. Pria itu menggeser posisi Mica yang duduk di sisi Shine. Darien juga mengusap lembut setiap inci dahi Shine yang kembali berkerit ketakutan.
Darien tampak berantakan. Cipratan darah terlihat kontras dengan seragam putihnya. Mica menundukkan kepalany. Sepertinya Darien berhasil menjadi seorang pahlawan.
"Bagaimana keadaaanya?"
Mica mengangkat kepalanya untuk sesaat menghela nafas, sebelum akhirnya melangkah mendekati Katarina yang hanya berdiri di ujung ranjang.
"Dokter sudah memeriksanya. Kondisi fisiknya baik-baik saja. Tapi, Shine sedikit tertekan dan,—" Mica menghentikan sesaat ucapannya, lalu membuang napasnya kasar.
"Shine juga trauma." lanjut Mica lirih.
Mica dapat mendengar Darien kembali mengerang emosi. Kedua sudut bibir Mica bergerak. Wajar bukan? Pria itu menyukai Shine, sama seperti dirinya.
"Aku bersumpah akan mengirim bajingan-bajingan itu ke neraka."
Tentu, bisik hati Mica dan Katarina.
Shine segalanya bagi Darien. Geraman pria itu bahkan sudah menunjukkan betapa berartinya Shine di dalam hidupnya. Katarina menatap sendu tubuh ringkih itu. Sejujurnya ia juga ingin berada di sisi Shine.
Namun Katarina sadar, untuk saat ini hanya Darien yang Shine butuhkan. Katarina mengangguk samar. Ia hanya perlu bersabar. Setidaknya esok hari banyak waktu yang dapat digunakannya untuk menghibur si mungil kesayangannya itu.
Sementara di tempatnya berdiri Mica mencoba sekuat mungkin menekan hatinya semakin ke dalam. Kemudian melangkah keluar, membiarkan udara mencemooh kerapuhannya. Pengecut.
Harusnya ia juga bisa melakukan hal yang sama.
Harusnya dirinya juga bisa menunjukkan rasa cinta itu.
Tapi,
Ia terlalu pecundang untuk melakukan sesuatu. Jika sudah begini hanya diam saja yang bisa dirinya lakukan.
*****
Matahari bersinar terang di atas kepala ketika manik lembut yang telah lama terpejam itu perlahan terbuka. Darien masih di posisinya, menatap awan dari balik jendela.
Mica dan Katarina berada di lantai bawah untuk menenangkan Merry. Namun Darien memilih bertahan. Sejak tadi ia tidak bergerak satu inci pun. Jantungnya masih bergemuruh keras. Rasa sesaknya juga belum berkurang, meski nafas Shine telah berhembus dengan normal.
"Mom."
Darien memaling wajahnya, lalu segera menarik Shine ke dalam pelukannya. Gadis itu masih bergetar dalam tangisannya. Mata kecil itu terbuka, namun kosong seolah tanpa jiwa.
"Berhentilah menangis sayang, aku ada di sini." Bisik Darien.
Darien mengepalkan tangannya di balik punggung Shine. Hatinya tertikam keras ketika gadis itu semakin mengisak dan memeluknya begitu erat. Ini salahnya. Darien semakin mengutuk keteledorannya. Jika saja ia menjalankan perintah Adam. Jika saja, maka hal ini tidak akan pernah terjadi. Bagaimana pantas ia mencintai Shine, jika menjaganya saja ia tidak bisa.
"Tapi kau tidak ada. Aku memanggilmu, tapi kau tidak datang. Aku takut. Mereka,— mereka menarikku Darien. Mereka tidak mengizinkan aku pergi."
Semakin nafasnya menyesak, semakin kuat cengkraman pada dadanya. Ingatan yang berputar-putar membuat seluruh tubuhnya lemas. Shine menutup matanya kuat. Ia disentuh bukan dengan pria yang dicintainya. Para pria brengsek, Shine membencinya.
"Maafkan aku Shine. Jangan takut lagi, aku sudah menghabisi mereka."
"Mereka jahat padaku."
"Maaf, aku benar-benar minta maaf Shine. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu sendirian lagi."
Darien menekan kuat emosinya yang kembali menguap, sekalipun amarah itu mendesak untu keluar. Hanya saat ini Darien berjanji. Karena setelah detak merubah warna, Darien pasti akan menghabisi para pria brengsek itu dengan kedua tangannya.
Sampai kapan, Darien tidak akan pernah memafkan brandalan-brandalan sinting yang telah berani menyentuh gadis kesayangannya.
"Aku sudah benar-benar kotor. Mereka melecehkanku, Darien."
Ya Tuhan, Darien benar-benar tidak kuat mendengar Shine yang tergugu sakit.
Setiap kalimat yang terlontar dari bibir tipis itu, Darein merasa ingin mati saat itu juga. Cengkraman ketidakberdayaan membuatnya merasa tidak pantas hidup.
"Tidak, tidak. Jangan berkata seperti itu Shine. Kau masih sama cantik. Kau tetap Shine yang aku sayangi. Jadi jangan berpikiran yang tidak-tidak. Kau dengar?!" jawab Darien. pria itu dengan cepat menangkup wajah Shine, lalu mengarahkan pada lensa hitamnya.
Darien menatap geram manik mata Shine, namun jemarinya mengusap perlahan setiap tetes yang mengalir. Hatinya luar biasa terluka mendengar kenyataan sakit yang diucapkam oleh Shine. Tidak. Darein tidak perduli pada sebuah noda. Namun kenyataan trauma yang didapat Shine menghancurkan kepercayaan dirinya. Melihat Shine yang begitu frustasi, Darien bisa memastikan dia siap menjadi seorang pembunuh jika itu bisa membuat Shine kembali tersenyum.
Tapi bagaimana dengan Shine? Tanpa sosok itu ketahui, sebuah pikiran melalang buana mencari kejujuran. Sudah berapa banyak kehangatan yang Darein berikan? Sudah berapa lama Darein menemaninya? Sudah seberapa lelah Darien menjaganya?
Shine menggeleng kecil. Ia tidak tahu. Shine ingin mempercayai kalimat Darien, namun hatinya tidak bisa. Kenyataanya tidak ada manusia bodoh yang mau menerima gadis kotor seperti dirinya? Tidak ada.
Shine tidak mau Darien kesusahan karena menjaganya. Dan Shine tidak mau menuntut siapa pun bertahan menemaninya. Tidak meskipun itu Mica dan Katarina. Mereka sepantasnya bebas tanpa terkungkung pada dirinya yang hina. Biar saja bisu yang menjadi temannya. Karena jika saja sang tabir mengungkapkan jati diri, ia mungkin akan diam dalam kesendirian.
Tidak ada yang tahu keduanya sama-sama terluka.
Di balik daun pintu yang tertutup dua pasang mata menatap sendu, namun sekali lagi dengan arti yang berbeda.
"Ingin ku antar pulang?" tawar Mica.
Katarina menggeleng.
"Aku masih ingin di sini. Shine belum terluhat baik."
Benar, Shine masih terlihat terguncang. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Darien berada di garis terdepan. Tentu saja pria itu tidak membutuhkan mereka.
"Ada Darien di sana. Aku yakin Shine lebih membutuhkannya dibanding kita berdua. Lagipula ayahmu akan merasa cemas jika mendapat kabar kau membolos sekolah." bujuk Mica. Ia berharap Katarina mau merubah pikirannya. Karena Mica tahu betul Darien tidak akan mengizinkan mereka menemani Shine, meski hanya untuk satu malam.
Bagi Darien tugas untul menjaga Shine hanya miliknya seorang. Mica tidak keberatan dengam itu, hanya saja Katarina menjadi lebih sulit berada di dekat sahabatnya sendiri. Darien seolah memberi jarak diantara kedua gadis tersebut.
"Tidak Mica. Aku akan menghubungi ayah nanti. Tapi aku tidak akan pulang."
Tetapi Katarina juga bukan gadis yang mudah menyerah. Mica mengerang melihat kekeraskepalaan gadis cantik itu. Katarina hanya membuang waktunya saja, karena Darien pasti akan mengusir mereka segera.
"Aku tahu Darien tidak akan mengizinkan aku tidur bersama Shine, tapi setidaknya,— aku ingin Shine tahu jika aku akan selalu berada di dekatnya. Aku tidak akan meninggalkannya seorang diri." lanjut Katarina.
Mica terhenyak. Ia bisa melihat di pelupuk mata gadis itu cairan bening menumpuk siap untuk terjun bebas. Katarina menundukkan kepalanya. Lalu seperti yang sudah Mica pikirkan, gadis itu mengisak kecil.
"Ck, kenapa kau justru menangis?" decak Mica.
"Aku tidak mau pulang, Mica."
"Tapi kau tidak perlu menangis seperti itu. Bagaimana jika Shine melihatnya? Shine busa berpikir yang tidak-tidak."
"Habisnya, kau terus memaksaku. Kau membuat aku khawatir, jika kau akan benar-benar membawaku pulang."
Mica menghembuskan napasnya lelah. Katarina selalu mampu membalikkan setiap ucapannya begitu mudah. Sementara Mica hanya bermaksud ingin mengantarkan gadis itu pulang, agar Katarina bisa beristirahat. Setidaknya ketika ayahnya kembali Katarina berada di dalam rumahnya, jadi ayahnya tidak akan berpikir yang tidak-tidak. Lagi pula berada di tempat ini atau tidak semua akan tetap sama saja. Darien tidak akan lagi mengizinkan mereka masuk ke dalam kamar Shine, karena pria itu akan berada di sana selama yang ia mau.
Akan tetapi Katarina justru bertingkah seperti dirinya memaksa pulang kekasihnya sendiri. Mica jadi merasa bersalah, terlebih ketika Katarina menangis.
"Aku tidak memaksa Katarina. Aish, kau membuatku pusing." keluh Mica, lalu berjalan ke arah sofa dan membanting tubuhnya begitu saja.
Katarina mendengus, namun tetap mengikuti Mica duduk di sana.
"Maksudmu, aku semacam virus? Begitu?"
Mica mengernyit. "Apa hubungannya?" tanyanya tidak mengerti. Lalu meringis, saat merasakan pukulan telapak tangan Katarina di atas pahanya.
"Kau yang mengatakan aku membuat kepalamu pusing. Itu berarti kau menuduhku menyebarkan vurus bukan?!" gerutu Katarina.
Mica menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Otak mungkin cerda ketika mempelajari sesuatu, tapi kau bodoh saat memahami maksud ucapanku."
Katarina mencebikkan bibirnya.
"Kau saja yang tidak mengungkapkannya dengan benar. Jadi wajar jika aku salah paham."
"Ya ya ya, baiklah. Ayo hentikan ini aku mulai lapar."
"Makanan saja yang kau pikirkan. Kenapa kau tidak pulang saja?"
"Setidaknya aku tidak menangis, lalu marah-marah tidak jelas seperti bibi-bibi di pasar. Lagipula ini rumah Shine, bukan rumahmu. Jadi kau tidak bisa mengusirku."
takkk
"Aish, kau pikir itu tidak sakit?!"
"Rasakan! Apa itu belum cukup? Aku bisa melakukan yang lebih baik dari itu, jika kau mau."
Mica menatap Katarina kesal, lalu merendahkan tubuhnya untuk mengusap kakinya yang baru saja diinjak gadis itu dengan tidak manusiawi. Katarina sialan. Mica memandang sedih ibu jari kakinya yang memerah berkat tekanan sepatu jelek sahabatnya itu.
"Benar-benar gadis kasar. Jika sikapmu seperti itu terus, laki-laki bisa saja tidak mendekatimu." jawab Mica sinis.
Katarina membelalakkan matanya. "Kau menyumpahiku?!" teriaknya.
Mica yang sadar Katarina bersiap menginjak kakinya kembali segera melonjak jauh. Hampir, hampir saja kakinya terinjak, beruntung Katarina oleng dan terjatuh ke atas sofa. Mica ingin menertawakan kebodohan gadis itu, namun ia batalkan saat melihat wajah Katarina kembali menyendu.
"Sudah ku katakan kau harus beristarahat sejenak. Kau juga belum sarapan sejak pagi bukan?"
Mica mengusap rambut hitam kemerahan itu, lantas tersenyum ketika Katarina mengangguk ragu-ragu.
"Kalau begitu ayo. Aku akan membeli apa yang kau mau." ucap Mica serius.
"Benarkah?"
"Hmm, apa yang kau inginkan?"
"Ramen."
"Baiklah," jawab Mica, sembari mengulurkan tangannya.
Katarina tersenyum lebar. Ia meraih uluran tangan pria itu dan ikut melangkah turun. Tanpa Mica sadari, langkah kaki itu menjadi awal mula dari keberanian Katarina.
Jika bukan saat ini, maka tidak ada esok hari, Mica.
No comments:
Post a Comment