Tertawalah bersama nyanyian para burung, tetapi jangan membenci dikala hujan tidak turun.
— Shine
*************************************
Matahari telah perlahan bersembunyi di garis cakrawala. Senja kini tampil menyinari dan memperindah setiap kuncup tanaman yang tersebar di sebagian halaman rumah. Rumah ini besar, lengkap dengan berbagai hiasan di setiap ruangannya. Terdapat guci-guci mahal tersebar di sudut tangga dan beberapa ruang yang jauh lebih besar. Ada beberapa bunga hidup di tata di atas meja. Warna-warna mereka yang cerah membuat mata segar ketika tanpa sadar memperhatikan. Ada juga gambar dan bingkai pada setiap dinding-dinding yang putih, di paku dengan teknik yang tinggi sehingga menciptakan tata letak yang berkelas.
Melemparkan pandangannya Katarina mendengus, ketika waktu yang berputar seperti putaran lambat yang menyebalkan. Sudah satu setengah jam ia duduk di sini, dan demi apapun bahkan manusia tolol tidak akan melakukannya.
Di sisinya ada Mica menemani. "Apa yang kalian lakukan padanya? Sudah ku katakan jangan menggodanya!" tegur pria itu datar.
Katarina kembali berdecak. Demi Tuhan, ia bahkan telah menjelaskan sebanyak lima kali. Tapi sialnya pria bodoh di hadapannya itu terus saja menegurnya dengan tidak manusiawi. Pria itu bahkan tidak menyapanya sejak tiba.
"Aku tidak melakukan apapun. Kau sendiri tahu Shine memang sangat kekanakan."
Bukankah Katarina sudah mengatakan jika Shine adalah makhluk paling istimewa? Dan inilah yang terjadi, pria itu akan selalu menggerutu meski kelak bibirnya sobek, atau nafasnya akan berhenti.
"Oeh, benarkah? Lalu jika sudah begini siapa yang harus disalahkan?"
Mica menajamkan matanya. Ia baru saja menyelesaikan babak pertama ketika Darien menariknya pergi. Sepanjang perjalanan ia bertanya namun pria menyebalkan itu justru hanya mengabaikan pertanyaannya.
Lalu ketika tiba tempat ini, ia juga harus menerima kenyataan bahwa gadis cantik kesayangannya itu sedang menangis. Mica membanting tubuhnya kasar di atas sofa. Berdiri satu jam membuatnya ingin mati karena keram di kaki. Yang benar saja, ia bahkan baru selesai bertanding.
Darien memang tolol. Pria itu seharusnya di pukul menggunakan besi berkarat agar cepat sadar. Entah apa manusia super tampan itu lakukan, hingga Shine menangis seperti ini.
"Salahkan saja Darien!! Pria bodoh itu yang tertawa besar."
Katarina mengikuti Mica. Ia duduk di sisi kanan pria itu. Sejujurnya Katarina bisa mengerti kekalutan Mica, tapi ia juga sama. Bukankah ia hanya membalas Shine? Tapi kenapa gadis itu yang justru kini merajuk? Jika saja waktu bisa di ulang, maka Katarina akan lebih memilih menuruti perintah Darien.
"Apa hanya dia yang tertawa? Ku rasa kau melakukan hal yang sama."
Tapi seberapa banyak pun Katarina memberi alasan, semua akan tetap sama di matanya. Mica tahu mungkin gadis itu lelah menemani Shine ketika Darien tidak berada di sisinya, karena biar bagaimanpun Mica juga mengakui Shine memiliki sifat manja yang berlebihan. Jangankan Katarina, ia bahkan tidak akan pernah mampu menangani Shine, jika Darien tidak berada di dekatnya. Tapi ayolah, jika sudah begini mereka semua yang akan mendapatkan akibatnya.
"Aku tidak melakukan itu! Dan lagi, kenapa kau membesar-besarkan masalah?"
"Siapa yang membesar-besarkan masalah?"
"Bukankah sudah ku katakan aku tidak bersalah. Kau bisa memurkai Darien jika kau masih tidak terima Shine menangis."
"Tolol! Kalian berdua sama saja. Adam akan membunuh kita jika dia tahu Shine tidak juga mau bicara."
Katarina membeku. Benar, kenapa ia bisa melupakan Adam? Katarina menghembuskan nafasnya lirih. Ada kekhawatiran di hatinya, namun ia juga tidak terima disalahkan begitu saja.
Apa yang terjadi saat ini adalah Shine merajuk, dan hingga kini menangis tidak henti-hentinya. Satu jam yang lalu Darien telah telah tiba. Lalu dengan tergesa-gesa memasuki kamar Shine untuk membujuk gadis kesayangannya itu. Katarina cukup menyesal telah membuat Si mungil itu menangis.
Sejujurnya tadi Katarina tidak bermaksud untuk mengusik gadis itu, hanya saja keusilan Shine mengganggu pendengarannya. Katarina hanya berniat membalasnya keusilan gadis nakal itu saja. Tapi justru Shine menanggapinya dengan berlebihan.
Jika sudah begini ia harus mati-matian membujuk gadis berkulit susu itu untuk memaafkannya, karena jika tidak Shine akan semakin memperparah tingkah manjanya dengan melakukan aksi mogok makan yang buruk.
Adam akan membunuh mereka jika sampai gadis itu sakit dan mendekam di dalam ruang perawatan. Dan demi apapun Katarina lebih memilih mengerjakan tugas puluhan soal dibanding menghadapi amukan maha dasyat seorang Adam Heycknes.
****
Sementara di lantai dua, pria ini masih sama kalutnya seperti satu jam yang lalu. Wajahnya kusut, pakaiannya berantakan, dan dahinya penuh dengan peluh. Berkali-kali ia menarik nafasnya lelah, namun bibirnya belum juga berhenti mengucapkan kata maaf. Tidak perduli pada ranjang yang telah berserakan akibat gulatan mereka berdua, pria ini terus saja bergerak meraih gadis yang masih sibuk dengan isakannya itu.
Sekali lagi pria ini bergerak ketika sang gadis kembali mengelak. Mencoba menahan emosinya, Darien lalu kembali mengacak rambutnya yang telah basah terkena peluh. Ini sangat menyebalkan. Gadis yang berada di atas ranjang itu terus saja menghindar dengan berpindah-pindah posisi, bertingkah seperti cacing yang terus menerus berkelit. Tapi meskipun begitu, Darien juga tidak memiliki pilihan selain bersabar dan bersabar.
"Ayolah Shine, aku minta maaf."
Darien masih berusaha mendapatkan maafnya, meski gadis bermata sipit itu tidak juga mau berhenti bererak. Pria tampan itu menyatukan tangannya, lalu menyendukan kedua bola matanya, berharap gadis cantik kesayangannya itu akan luluh dan mengampuninya.
Mungkin jika orang lain melihat bagaimana intimnya kedekatana mereka, orang-orang di luar sana akan mengatakan mereka gila. Tapi Darien tidak perduli, karena apapun yang orang lain katakan, baginya gadis itu adalah belahan jiwanya. Sehari saja Shine tidak bicara, Darien bahkan merasa seperti Tuhan sedang mengutuknya. Lalu bagaimana jika Shine menjauhi dan mengabaikannya? Oh, mati lebih baik itu pasti.
Darien bahkan segera berlari menyongsong motornya ketika Shine memutuskan panggilan. Pertandingan yang belum usai pun ia sudahi secara sepihak.
"Tidak mau! Kau jahat padaku."
Darien kembali menghela nafasnya. Di luar sana sinar matahari telah berubah menjadi jingga, sementara di sini isakan Shine justru semakin menjadi-jadi.
"Aku hanya tidak sengaja. Aku bersumpah, suara manjamu membuatku gemas."
"Pembohong! Aku akan mengadukanmu pada Adam!"
Sehun terbatuk terkejut. Lalu dengan gerakan cepat segera memeluk Shine, saat gadis mungil itu bersiap bangkit untuk pergi mencari ponsel ibunya.
"Ck, apa kau tega melihat Adam membunuhku?"
Darien tahu tidak akan mudah membujuk Shine. Namun ini adalah hal yang sangat biasa. Jika Shine belum melaporkannya, maka hingga mati pun Shine tidak akan berhenti untuk mengancamnya. Shine hanya akan berhenti jika ia sudah memaafkan kesalahan mereka.
"Tentu saja!"
"Bagaimana bisa kau melakukan ini pada kekasihmu?"
Kekasih?
Shine mendengus. Namun ia merutuki dirinya yang justru mendadak menjadi diam. Hatinya masih begitu sangat kesal tetapi pelukan Darien membuatnya urung untuk pergi.
Sementara Darien yang menyadari usahanya membuahkan hasil, tersenyum manis. "Aku tahu kau tidak akan tega melakukan itu padaku." Ucapnya senang.
Shine masih berada di dalam rengkuhannya, tetapi gadis itu tidak lagi melanjutkan kalimatnya ataupun memberontak. Ada kalanya gadis itu mencari perhatian dengan bersikap layaknya balita, namun ada kalanya juga Shine akan bersikap dewasa dengan melupakan kemarahannya begitu saja.
"Aku tidak mengatakan apapun."
"Tidak usah menutupi. Bukankah Shine menyayangi suami tampannya ini??"
"Siapa suamiku?"
"Tentu saja aku, Darien."
"Sinting! Kau terlalu percaya diri, Dar."
"Tidak apa, percaya diri itu diperlukan ketika kita merasa malu."
Pria ini mengecup sekilas pipi chuby Shine. Menikmati rasa asin dari jejak air mata yang mengalir dari pelupuk mata kecil itu, kemudian terkekeh mengikuti tawa riang Shine.
Berapa lama mereka bersahabat? Berapa banyak kenangan yang telah merekai bingkai? Darien tidak tahu. Sejak dulu hanya Shine saja yang terlihat olehnya. Hanya senyum gadis itu yang selalu mampu membuatnya tertawa lepas. Shine bagai obat terlarang yang selalu membuatnya candu untuk bersama. Di luaran sana sebagian orang menganggapnya sebagi kekasih Shine, namun Darien juatru tidak pernah berniat menyangkal itu.
Sementara di tempatnya duduk Shine tertawa merasakan pelukan Darien yang begitu erat. Kecupan pria itu begitu hangat dan lembut. Mereka terbiasa begitu intim. Tidak pernah ada yang akan melarangnya. Jalinan persahabatan itu begitu lama, maka ketika sesuatu muncul dan berakar hanya Shine saja yang mengetahuinya.
No comments:
Post a Comment