Kata maaf tidak akan selalu menjadi kalimat penghubung. — Darien
****************************************
Di sebuah kediaman mewah, di kawasan elit kensington, London barat, Inggris. Shaine mengamati wanita tua dihadapannya. Gadis itu duduk gelisah di kursi berlengan di depan perapian yang terbuat dari bata dan semen. Bau bakar arang yang berasal dari kayu perapian memenuhi seluruh ruang.
Sembari menyendukan bola matanya Shaine berdoa agar dia diberi secercah harapan meski hanya seujung kukunya saja. Namun sepertinya wanita tua itu tetap tenggelam dalam keputusan. Matanya jernih namun tampak ketegasan di dalamnya.
"Ku mohon mom," pinta Shaine lagi, "Tidakkah menurutmu itu berlebihan?" tanyanya fristasi. Shine memandang wanita cantik itu penuh permohonan.
Merry tersenyum samar. Ia lalu mengelus tangan lembut Shaine sembari menyentil kecil dahi putrinya itu. Membuat Shine dalam waktu singkat segera menahan air matanya. Seluruh usahanya, —apakah akan berakhir sia-sia?
Dia telah bertahan selama lebih daro tujuh tahun di Inggris hanya untuk melupakan masa lalunya. Ketika dulu ayahnya menyampaikan akan membawa dirinya pindah, Shaine bahkan tidak memikirkan dua kali untuk mengambil keputusan. Tidak perduli jika sekalipun ia diaggap telah lari dari permasalahan.
Shaine bahkan masih mengingat jelas betapa bahagianya dia saat pertama kali menatap kediaman mewah yang disediakan ayahnya. Namun kini rasa itu bahkan terkikis dan memunculkan kembali segala luka lama yang berusaha ia timbun jauh di dasar hatinya. Memang benar sudah bertahun-tahun dia tidak menemui saudara dan sahabatnya; bahkan ia juga telah melupakan bagaimana rupa wajah mereka semua.
Fuuto tetaplah indah, dan masih lekat diingatannya, ia berumur delapan belas tahun ketika memilih meninggalkan negara kelahirannya itu.
"Kau tahu keputusan mom mutlak bukan?" Merry menatap sang putri dengan tajam, tetapi hatinya mencair saat gadis itu menangis lebih tidak terkendali.
"Mom keputusanmu salah. Aku,— "
"Come on Shaine, bahkan tunanganmu berada di sana!"
Shaine membungkam bibir saat mendengar Mery berujar keras. Merry selalu menyebalkan jika sedang bersikukuh. Lihat, bahkan wanita tua itu dengan seenaknya memotong laju ucapannya.
"Oke kau benar. Tapi tetap saja itu tidak berguna."
"Tidak berguna untukmu, tapi berguna untuknya."
"Kau tidak bisa mengatakan itu mom! Dia kekasihku."
"Ya, dia memang kekasihmu. Tapi Mom lebih memahaminya dibanding dirimu."
"Ayolah mom,"
Merry kembali tersenyum bersimpati, bahkan ketika wanita itu menggelengkan kepalanya. "Keputusan mom dan dad mutlak."
Kekecewaan Shaine begitu kentara. Sehingga Merry memaksanya menikmati secangkir teh panas yang telah disediakannya.
"How long?"
Lagi, senyum mengembang di bibir gincu Merry. Bukankah dirinya begitu ahli? Dua jam yang lalu Shaine bahkan masih bertahan dengan penolakannya.
"Just, six month."
Topik itu sejujurnya bukanlah hal yang menyakiti. Hanya masalah kepindahan sementara, karena salah satu cabang perusahan mengalami masalah. Lagipula gadis itu juga akan menikah dalam waktu dekat. Dan meninggalkannya di Fuuto adalah pilihan yang paling tepat.
Sementara Shaine mati-matian mengendalikan rasa takutnya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tetap berdoa agar Tuhan membatalkan segala rencana bodoh Merry dan tetap membuatnya bertahan di London. Meski Mery memang benar dengan perkataannya mengenai, kekasihnya berada di sana, tetapi tetap saja Shine tidak bisa terima. Ia benar-benar tidak siap.
Shaine kembali menyeka air matanya saat merasakan dadanya kembali berdenyut perih. Merry telah kembali sibuk di lantai atas, dengan segala macam keperluan yang akan dibutuhkannya. Wanita tua itu bahkan tidak akan perduli jika Shine meraung. Shine menghela napasnya pasrah. Ia terpaksa memilih menuruti ibunya itu dibanding Merry merubah pikirannya dan justru mengirimnya ke Rusia, dimana sekumpulan sepupu menyebalkan berkumpul menjadi satu.
Oh Fuuto jaih lebik baik dari apapun juga.
****
"Sharon?"
Sementara di waktu bersamaan, Darien menarik ujung sudut salah satu alis tebalnya. Mengernyit aneh pada sepasang makhluk paruh baya yang berada dihadapannya.
Sejak kapan kedua orang tua itu memiliki sahabat berdarah eropa? Bukankah itu sangat aneh? Meski mereka kerap berpergian ke luar negeri, namun Darien tetap sanksi ayah dan ibunya itu bisa memiliki sahabat yang bukan asli masyarakat Fuuto.
Mendengar pertanyaan putra bungsunya tersebut Ai dan Yuke tertawa terbahak-bahak. Darien selalu tak acuh bila membahas seorang gadis. Wajah Darien bahkan begitu datar dengan bibir menyesap kopi.
"Ya, ku rasa itu bukan waktu yang lama." jawab Hana.
Adam dan Darien mengangguk mengerti.
"Bersikaplah hangat padanya. Dia gadis yang sensitif."
Yeke sendiri meraih sisa kopi dinginnya kemudian menyesapnya dengan cepat, sambil memperhatikan kedua putranya. Hal ini tidak selalu tercipta, karena jika Adam sedang sibuk, maka hanya akan ada Darien bersamanya. Dan sebaliknya jika Darien sibuk, maka hanya Adam yang akan menemaninya.
Darien dan Adam memang memiliki perbedaan dalam bersikap. Putra sulungnya begitu hangat dan ramah dalam berkepribadian. Masa lajangnya hanya tinggal beberapa bulan kedepan, karena Tuhan mengirimkan jodoh terlebih dahulu padanya.
Berbanding terbalik dengan si bungsu. Darien cenderung lebih dingin dan pembungkam. Terlalu keras dan kasar untuk ukuran pria dewasa Fuuto. Namun putranya itu memiliki keistimewaan sendiri. Darien diciptakan istimewa dengan wajah tampan, rahang tegas yang kokoh, dan kulit putih yang bersih. Pria itu bahkan dapat menaklukkan wanita hanya dengan satu kedipan matanya saja.
Namun hingga saat ini Darien justru tidak memiliki kekasih. Konyol. Bahkan ia terkenal sejak dulu menyandang gelar casanova.
"Kau memberi kami adik bersekolah?"
Sejak pertama kali mengandung, Hana telah menyadari bahwa calon bayinya akan memiliki otak kelewat cerdas. Jadi, adik bersekolah? Lelucon macam apa itu? Dan siapa yang akan memberi adik? Tidakkah Darien berpikir terlalu jauh? Sepandai-pandainya manusia juga akan berpikir logis sebelum bicara. Menerima orang baru bukan berarti adalah adik kecil seperti yang ia bicarakan. Bagaimana jika yang datang adalah wanita berumur 35 tahun? Pantaskah Darien menganggapnya adik kecil?
Adam terkekeh renyah dengan salmon di dalam mulutnya, yang memancing decak kesal di bibir Darien. Namun Adam tidak perduli meskipun Darien menatapnya tajam. Memiliki seorang adik memang menyenangkan. Dia selalu disegani meski tengah tertawa sekalipun.
"You're crazy boy? Dia wanita karir. Dan lagi, untuk apa dad memberimu adik?"
Fuuto tengah di landa musim dingin, bahkan suhu berada di 10° celcius. Cukup membekukan jika berniat menghabiskan waktu di bawah langit. Tapi akan ada satu orang bodoh yang akan tetap menghabiskan waktu di dalam ruangan kantor dengan ditemani ratusan berkas dan segelas kopi yang mendingin.
Jangan pernah tanyakan alasan padanya, karena pria itu hanya akan menjawab bahwa waktunya terlalu berharga untuk seorang gadis. Well, itu hanya alasan untuk tidak menjawab kesendiriannya.
Darien mengangguk tidak terlalu perduli, "Well dad, berusahalah menyampaikan sesuatu dengan jelas." jawabnya datar. Ia meraih sisa kopinya dan meneguk hingga tuntas. Kopi selalu mampu menghilangkan kantuk, dan Darien bersyukur Hana selalu menyediakan kopi untuk teman sarapannya.
Yuke mendengus mendengar jawaban Darien yang terlamapau kurang ajar itu. Putranya itu menghabiskan waktu selama lima tahun di Jerman, namun justru bertumbuh dengan begitu berbeda. Dan lagi apa itu? Menyampaikan dengan jelas? He's seriously?
"Bukankah seharusnya bocah tampan itu yang mendengarkan hingga tuntas?!" gerutu Nam apa akhirnya ,ketika Darien telah menghilang dari pendangannya.
Hana terkikik geli mendengar lontaran suaminya itu. Pagi terlalu indah untuk menanggapi kekesalan. Darien dan Yuke memang memiliki sifat yang sama dalam hal kekanakan, keras kepala dan arogan. Gen keturunan yang sangat sempurna.
Tidak ingin merubah hawa dingin menjadi panas, wanita itu berdiri dari kursinya. Meraih peralatan makan dan segera membawanya pergi ke dapur. Biarkan saja Yuke menggeram sendiri. Pria itu tidak akan memberang, karena ia akan cukup menyadari resiko yang tertimbul akibat darah tingginya.
****
Dari tempatnya berdiri, tepat di depan lift khusus para pembesar, Mica mengamati pintu yang berada di ujung depan matanya. Tidak diragukan lagi pria yang dicarinya sejak tadi pasti telah berada di dalam ruangan kerjanya, karena dua bodyguard kekar telah berada di muka pintu siap untuk menghalau para perusuh layaknya dirinya.
Mica merasakan detak jantungnya bergemuruh. Entah karena ia telah lama tidak bertemu, atau karena informasi penting yang dibawanya. Tapi apapun itu, Mica tak memiliki banyak waktu untuk merubah keputusannya.
Sembari mengumpulkan keberaniannya, Mica melangkah mendekati pintu, lalu mendorong hingga terbuka. Bibirnya merekah saat memasuki ruangan bercat putih itu. Ruangan itu tidak sama sekali berubah, binkai-bingkai foto persahabatan mereka masih tetap tersusun rapi dan terawat. Sepertinya pria itu memang selalu menjaga kenangan lama itu.
Sementara di sudut ruangan terlihat pria yang di cari sedang duduk dengan santai, sembari sibuk membaca berkas yang berada di kedua jemari tangannya.
"Seperti inikah kesibukan serang direktur utama?"cibir Mica, menyadarkan Darien dari ketidakpekaannya.
"Shit! Bodyguard bodoh itu mati ?" umpat Darien.
Ia memandang sinis pria berkulit tan tersebut, lalu meletakkan kembali berkas-berkasnya di atas meja. Memasang penjaga seolah tidak ada gunanya bila berurusan dengan pria tolol di hadapannya itu.
"Tidak, ku harap kau tidak kecewa."
Mica melangkah kemudian duduk di atas sofa hitam yang tersedia, tanpa memperdulikan tatapan yang dilayangkan pada manik matanya. Tentu, Darien dengan sifat sombongnya adalah hal yang biasa baginya. Dan pria putih itu sama sekali tidak berubah sejak 12 tahun yang lalu.
Dua belas tahun bukanlah waktu yang singkat untuk saling memahami. Tuhan menciptakan banyak waktu dan mereka menikmati dengan mematrikan di dalam hati. Waktu boleh mengisahkan, jarak pun boleh memisahkan. Tapi hati akan tetap berada di mana tempatnya berada, seribu atau seratus macam teman datang pun tidak jadi masalah. Dahulu mereka telah bersumpah akan tetap bersama meski tidak saling berpegangan.
"Dan, aku sudah mendapatkan izin dari sekertaris cantikmu."
.
"Kau mencuci otak sekertarisku?"
"Itu kasar bung! Aku hanya merayunya."
Darien mendengus, lantas beranjak dari kursinya. Ia berpindah mendekati sang tamu yang tidak di undang kehadirannya itu. Ia juga tidak perlu beramah tamah atau menyediakan minuman, karena Mica hanya akan semakin besar kepala jika dirinya melakukan itu.
"Kurasa kau harus mencoba merayunya."
"Sinting!"
Pria itu terbahak, Darien benar-benar sangat lucu ketika sedang marah.
"Hentikan tawamu jerk! Kau membuang-buang waktuku. Dan kau tahu? Waktuku terlalu berharga jika hanya untuk menanggapi kebodohanmu."
Terkadang Darien juga berpikir, Tidakkah tuan Im waras menyerahkan hartanya pada Mica? Pria itu seorang CEO sama seperti dirinya, tetapi Mica tidak pernah bersikap dewasa meski umurnya hampir memasuki kepala tiga.
"Ck, mulutmu kasar sekali. Aku hanya ingin menyampaikan jika kita akan mengadakan pertemuan."
"Pertemuan?"
"Ya. Aku, kau, Katarina dan,— Shine." Mica memelankan suaranya ketika menyebutkan nama Shine untuk menelisik respon Darien.
"Shine?"
Namun jawaban yang dilontarkan Darien juatru membuatnya kesal bukan main.
"Apa kau sudah makan? Kau tampak bodoh pagi ini.". cibir Mica pada akhirnya Darien tidak perlu terus mengulang kalimatnya, karena ia todak bodoh.
"Dia akan tiba di Fuuto beberapa hari lagi." lanjut Mica. Mica menghembuskan napasnya lelah saat Darien memperluhat sikap pura-pura bodohnya.
"Aku sibuk."
Benar bukan? Mica berdecak. Ia sudah menebak jika sahabat menyebalkannya itu akan kembali menghindar untuk yang kesekian kalinya.
"Come on bung, apa kau tidak merindukannya?"
"Si gadis berbibir tipis? Aku pasti sudah gila jika merindukannya."
"Kau dan Shine adalah manusia berbibir tipis yang menyebalkan."
"Aku tidak perduli kau mau mengatakan apapun. Kau bisa meminta Katarina untuk memenuhi rencanamu itu." jawab Darien datar.
Mica mendengus kasar, lalu merekatkan punggungnya pada sandaran sofa. Hampir saja Mica melayangkan sepatunya, ketika Darien dengan angkuhny kembali ke balik meja kerjanya.
Memejamkan matanya, Mica mencoba mengendalikan emosinya. Adakalanya Mica mengaggumi sosok Darien yang dewasa dan dingin, namun adakalanya juga Mica mengutuk sikap sok sibuk Darien yang selalu bersikap layaknya seorang presiden yang tidak memiliki waktu luang. Lamanya persahabatan bahkan tidak lebih penting dari seonggok kertas rongsok bernilai jutaan yen.
Setelah merasa perasaannya lebih baik Mica segera berdiri dan menatap Darien untuk yang terakhir kalinya. "Baiklah, itu saran yang cukup beguna." lalu setelah mengucapkan kalimat tersebut Mica akhirnya beranjak pergi begitu saja. Jika uang adalah segalanya bagi Darien, maka Mica menyesal mengatakan Darien menjaga kenangan persahabatan itu. Pria itu bahkan tidak lebih baik dari anjing atau semut sekalipun, yang bahkan mengerti apa arti dari kesetiaan.
Setelah kepergian Mica, Darien menyentuh dada kirinya. Merasakan gemuruh kuat pada detak jantungnya yang begitu menyakitkan. Darien tahu ia bersikap bodoh. Tetapi Darien tidak bisa menampik jika senyumnya hanyalah kamuflase. Kenangan itu sudah musnah, bingkai yang terpasang di setiap dinding juga hanyalah ketololan yang tidak berarti. Siapa yang mengatakan dia baik-baik saja? Bahkan Darien sudah membenci semuanya setelah kesalahan yang menghampiri.
Mica boleh saja menghujatnya, mengutuknya dan mengatakan apapun tentangnya. Namun, gadis itu adalah warna berbeda di hatinya. Shine adalah penghancur mimpi dan segala harapannya di masa lalu.
Siapa yang mengetahui alasan di balik sebuah cerita? Tidak ada, karena hanya ada dirinya dan gadis itu yang berada di dalamnya. Itulah mengapa butuh obat untuk segala lukanya, sebelum ia siap untuk kembali menatap wajah cantik itu.
*****
Dominico market cukup sepi di siang hari ketika seorang gadis masuk dengan mendorong satu troly besar, sembari menggenggam ponsel dan menempelkan benda pipih tersebut ke telinganya. Waktu masih menunjukkan pukul dua belas siang, jadi untuknya ini adalah waktu yang sangat tepat untuk memenuhi kebutuhan yang telah menipis.
Tinggal seorang diri di sebuah apartemen membuatnya mengurus segala sesuatu tanpa bantuan siapapun. Pekerjaannya yang hanya seorang novelis biasa memaksanya hidup tetap bergantung kepada kedua orang tuanya.
"Are you serious?"
Setelah dua menit berlalu, ia berteriak cukup keras. Kemudian tanpa persiapan menghentikan langkahnya dan segera berlonjatan gembira. Lalu sedetik berikutnya ia mengulum senyum canggung, dan mengumpat lirih ketika menyadari semua tatapan pengunjung terarah padanya.
"ah, maafkan aku." ucapnya kemudian. Lalu dengan cepat membungkuk berulang kali. Astaga, hal memalukan ini selalu saja terjadi ketika dirinya bahagia. Wajah boleh cantik, namun sikap? gadis itu mensanksikannya.
"Ck, Mica, berhentilah tertawa!" gerutunya.
Gadus ini, Katarina menggembungkan pipinya saat pria yang berada di ujung sambungan terus saja tertawa tanpa menyadari kekesalannya. Telinganya peka, dan gadis itu menyadari pria itu sedang berada di dalam mobilnya.
"Kau tidak berubah Kat, konyol!"
Lagi, Katarina mendesis, namun dengan tangan yang bergerak lincah ia memilih beberapa kaleng minuman bersoda. Ia banyak menatap laptop dan soda cukup untuk menahan rasa kantuknya.
"Kau itu, aku hanya terlalu bahagia. Kau tau bukan aku sangat merindukannya."
Katarina membelokan keranjangnya ke arah kanan, memasuki blok yang menyediakan ragam makanan ringan. Ia meraih beberapa snack dan biskuit lalu memasukkanya ke dalam trolly. Kemudian mengecek kembali. Tidak ada yang boleh terlewat jika dia tidak ingin kelaparan di akhir penghujung bulan.
"Ya ya aku mengerti. Jadi, apakah kau memiliki waktu?"
"Ku harap aku bisa memukul kepalamu Mic!!"
Katarina membanting kasar sebongkah kol ke dalam troly. Ia bisa mendengar tawa menyebalkan Mica di ujung sana. Dan Katarina juga dapata memastikan jika pria itu sedang mengentikan laju mobilnya untuk melanjutkan tawanya. Karena untuk sesaat Katarina tidak lagi mendengar desau angin yang membentur kaca mobil.
"Astaga Kat, kau membuat perutku sakit. Aku benar-benar lupa jika kau pengangguran berwajah malaikat."
"Kau selalu membuatku kesal, Mica!"
"Maaf, maaf, kau hanya terlalu menggemaskan."
Katarina mengabaikan godaan Mica, lalu kembali melangkah ringan. Mencari-cari apalagi yang haris ia beli.
"Jadi, kapan Shine akan tiba?"
"Aku akan menghubungimu jika dia sudah tiba."
"Baiklah jika begitu."
"Apa kau sedang berbelanja?"
"Hmm, kenapa?"
"Tidak apa. Lanjutkan kegiatanmu dan kembali lah dengan hati-hati."
"Iya, terimaksih Mica."
Setelah merasa tidak memerlukan hal lain lagi Katarina segera menutup ponselnya dan sedikit mempercepat langkahnya menuju kasir. Ia tersenyum lebar saat mengingat jika si mungil kesayangan akan segera kembali.
Aku merindukanmu, Shine.....
No comments:
Post a Comment