Kisah ini, apa akan seperti ini? Bantu aku meski hanya sebuah jawaban.
─Shine
***************************************
Dalam sebuah kehidupan ada ikatan dimana bukan hanya saudara atau keluarga yang dapat menjadi teman dalam kesendirian. Sahabat adalah saudara yang tidak sedarah. Sebagian orang mengatakan daun tidak selamanya dapat mengantikan tangkai. Atau pun akar menggantikan benih, tetapi hati lebih dari sekedar cinta.
Mungkin ketika lisan tidak mampu menyerap makna, maka untaian akan terasa baik dibalik sebuah senyuman. Apa yang pernah ia katakan? Mencintai dan dicintai, itu hanya sebuah harapan. Hari ini semua akan menjelaskan setiap rasa yang tertuang. Meski jika luka dan tawa tidak mampu memastikan, Shine tetap melangkah tenang keluar dari kantin sekolah.
Matahari bersinar dengan terik. Gadis ini sedikit menikmatinya. Musim panas memang menggerahkan, namun angin yang berhembus dapat sedikit menyegarkan pori-pori. Batang-batang pohon juga terlihat indah. Ada beberapa kuncup bunga nampak layu tidak berdaya berkat terpaan sinar matahari.
Tiga minggu nyatanya menjadi waktu yang panjang bagi pemulihannya. Shine bahkan yakin ia melewati akhir musim penghujan begitu saja. Kini air akan terasa membakar bila terlalu lama terkena terpaan matahari.
Shine menyusuri koridor yang sedikit riuh berkat lontaran-lontaran tawa para murid perempuan. Sesekali gadis ini mengalihkan pandangannya. Bola basket memantul membentuk bunyi gema yang berbeda. Seperti permainan para amatir pemukul drum. Tidak ada Mika atau Darien, tapi Shine yakin kedua pria itu tengah asik menikmati panas di atap tertinggi.
"Selamat iang Shine,"
Shine tersenyum kecil, lalu menghentikan langkahnya sejenak untuk menanggapi sapaan beberapa anak laki-laki yang mencoba menarik perhatiannya.
"Siang," balasnya.
"Woah, kau semakin cantik saja."
"Benarkah? Terimaksih jika begitu." ucap Shine, lalu kembali melanjutkan langkahnya.
Kejadian beberapa minggu yang lalu beruntung tidak tersebar. Shine yakin ketiga sahabatnya yang telah meredam bibir-bibir iblis yang bisa saja menghancurkan nama baiknya. Dan Shine benar-benar bersyukur atas hal itu. Dengan begitu traumanya dapat pulih dengan cepat.
Berbelok ke kiri, Shine perlahan menaiki tangga menuju atap. Beberapa hari terakhir Darien sedikit berubah dan menjadi jarang mengunjunginya lagi. Berbeda dengan Katarina dan Mica yang sesekali datang melihat keadaannya.
Shine menghela nafas. Bolehkah ia jujur? Ingin sekali rasanya Shine melukai dirinya sendiri saat mengingat kenyataan jika tubuhnya telah ternoda. Namun sebagaian hati kecilnya menghalangi. Ia takut, takut jika kematian adalah pilihan yang salah. Shine hanya berpura-pura bersikap tegar demi senyum dibibir renta Merry.
Dokter mengatakan ia harus tenang untuk menghilangkan rasa traumanya. Dan Shine berusaha untuk kembali ceria demi Merry. Mica selalu menyemangatinya. Shine merasa beruntung pria itu rela berada di sisinya sepanjang waktu, meski bahkan Shine tidak menanggapi kehadirannya dengan perasaan yang gembira.
Masih melangkah lambat, sesekali Shine tersenyum kecil membalas sapaan para junior. Tingkat dua membuatnya sedikit dikenal.Terlebih ia juga menjadi salah satu sahabat dari dua pria tampan yang menjadi incaran di sekolah ini. Tapi terkadang Shine mengutuk level ketampanan Darien yang berada di atas rata-rata, karena itu sangat mengganggu. Terutama ketika para gadis berusaha untuk mencuri perhatiannya.
Shine tersenyum samar, saat mengingat kembali percakapannya dengan Mica.
"Jangan sampai kau menyesal, jika pada akhirnya gadis lain memiliki Darien lebih dulu."
Mica mengatakan hal yang benar. Dan kalimat terakhir pria itu sukses membuat Shine membulatkan tekadnya. Ia berdiri tegap di depan pintu atap sekolah, lalu membukanya dengan sangat perlahan.
Shine mengakuinya. Jika seseorang memiliki Darien, mungkin ia akan meneguk racun rasa vanilla, lalu mati karena frustasi.
Dariennya yang tampan. Shine tidak akan pernah rela melihat pria itu bersama gadis lain.
"Darien," panggil Shine.
*****
Jika di atap sekolah Shine menguatkan hatinya untuk menemui Darien, maka di tempat ini Katarina bergetar menahan malu.
Katarina menutup matanya sesaat. Ia sedikit menyesali tindakannya yang dengan lancang mengungkapkan perasaan tanpa memikirkan perasaan pria itu. Dengan kepala tertunduk Katarina berusaha menyembunyikan rona merah di kedua pipinya, dari manik yang terus menatapnya.
Taman belakang sekolah begitu sepi. Rindangnya pepohonan membuat tempat ini menjadi salah satu tempat favorite mereka dikala kantuk melanda.
Pria itu masih berdiri dengan raut wajah datar.
"Kau menyukaiku?" tanyanya. Mica mengerutkan dahinya tidak mengerti. Ia anya menganggap Katarina sebagai seorang sahabat, tidak lebih. Dan sejauh yang Mica ingat, ia tidak pernah sekalipun memberikan perhatian lebih kepada Katarina, sehingga gadis itu bisa jatuh hati kepadanya.
Namun, sesaat kemudian Mica menyadari kebodohannya, ketika pundak kecil itu bergetar. Katarina tidak pernah terlihat serapuh itu.
"Maaf, aku hanya ingin memastikan." ucap Mica kembali. Berharap Katarina tidak menyalahartikan pertanyaannya yang seolah mencibir.
Katarina mengangkat kepalanya cepat, lalu menggeleng. "Tidak, tidak. Aku benar-benar menyukaimu." jawabnya gugup.
Tidak alasan baginya untuk kembali ragu. Ia sudah melangkah terlalu jauh, jadi ia hanya harus berusaha untuk menyelesaikan semuanya.
"Aaa, jadi aku tidak salah." lirih Mica.
Mica memalingkan wajahnya. Membuang nafas dengan susah payah. Ini gila. Ia hanya menyukai Shine. Tapi kenapa Katarina juga memiliki perasaan yang sama kepadanya? Mica mengerang dalam hati. Ia kemudian menarik napasnya lambat, mencoba untuk kembali tenang.
Bagaimana pun juga ia bukan tipe pria yang suka mempermaikan hati seseorang. Dan Mica tidak ingin melukai perasaan Katarina dengan cara berpura-pura menyukai gadis tersebut, hanya karena rasa kasihan.
Jadi dibanding memberikan harapan, Mica memilih untuk bersikap terbuka.
"Maaf Kat, tapi aku mencintai Shine." jawab Mica jujur.
Baginya, itu adalah jalan yang terbaik. Ia tidak mungkin bisa mencintai Katarina. Sekali pun seseorang memaksanya, hatinya hanya miliknya. Dan seberapa keras pun Mica berusaha membunuh perasaannya, Shine tetap tidak pernah pergi dari hatinya.
"Jadi, — kau menyukai Shine? Aaa, maafkan aku jika begitu."
Mica mengepalkan tangannya. Dari getar suara lembut itu Mica bisa memastikan jika Katarina sedang menangis. Dan Mica benar-benar mengutuk perilaku jahatnya, saat mata indah itu mengalirkan butiran-butiran lahar kepedihan.
Katarina berusaha mengabaikan apapun yang Mica katakan. Tidak perduli jika sekalipun kelak perduli pria itu akan mencemoohnya, Katarina tetap memandang lensa hitam yang telah menaklukkan hatinya tersebut.
Berharap seseorang bisa menolongnya dengan jika pendengarannya terganggu. Atau mengatakan kepadanya jika Mica hanya menipu dirinya.
"Ya, maka tolong lupakan aku. Lupakan perasaanmu."
Namun suara yang menjawab permohonannya mendengung begitu keras. Katarina menahan napasnya. Nada yang menyendu bersama angin yang berhembus membuat pertahanannya rubuh. Ia terperosot jatuh ketika Mica pergi begitu saja. Air mata yang mengalir bukan lagi menjadi duka baginya. Katarina benar-benar merasa terluka. Keadaan dimana nyatanya Tuhan lebih memilih mengujinya membuat Katarina sadar ia tidak pernah terlihat.
Di tempat ini mendekati awal musim gugur, angin membawa pergi seluruh hatinya. Meninggalkan kata yang tidak terucapkan, dan meninggalkan rasa yang tidak terbalaskan
No comments:
Post a Comment