Search This Blog

Monday, August 16, 2021

Reality (Part 10)

 




Jangan kembali melalui jalan setapak, singgah laah sesaat untuk memulihka diri, agar kau tidak tersesat. — Shine 






**************************************



"Dia kembali." gumam Darien lirih. Bukan kepada siapapun, tapi lebih pada dirinya sendiri.


Dia kembali. 


Ya, gadis mungil bersurai hitam itu akan segera kembali. Kepala Darien nyaris pecah hanya karena mengingat itu. 


Kenapa Shine harus kembali? Dan kenapa harus ada seorang wanita menumpang di rumahnya? Darien mengacak rambutnya frustasi. 


Sharon. 


Nama itu entah mengapa begitu familiar ditelinganya. Darien yakin pernah mendengarnya. Tapi di mana? 


Tapi tunggu, haruskah ia menemui Shine? Tidak. Darien menggelengkan kepalanya kuat. Bagaimana pun juga Darien tidak pernah melupakan kejadian itu. Luka yang dimilikinya masih begitu terasa perih. Bertahun-tahun Darien menyembuhkannya, dan demi apapun Darien tidak siap jika harus kembali menatap wajah gadis itu.


"Hahh" 


Darien menghembuskan napasnya berat, ketika bola matanya bergerak menyusuri bingkai besar yang tertempel tepat di depan ranjang. Ada dia di sana, Mica dan juga Katarina. Mereka selalu berada disana. Tidak pernah tersentuh, dan Darien pun begitu. 


Katarina. Jantung Darien bergemuruh ketika memikirkannya. Darien tidak menyangka jika  sudah begitu banyak waktu yang dihabiskannya untuk menyendiri. Darien cukup merindukan wanita  itu. Katarina adalah sosok yang berada di balik bayang-bayangnya selama ini. Kataina cantik, lembut, dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Hanya saja, dulu wanita itu lebih dekat dengan Mica dibanding dengannya. Membuat Darien tidak memiliki interaksi yang lekat seperti kepada gadis di masa lalu itu. 


Darien kembali menatapnya. Sosok kecil yang selalu menghantui kehidupannya. Gadis itu bukan sosok wanita yang lembut, tetapi gadis pendek yang manja dan cerewet. Shine, nama itu tidak pernah hilang dari ingatan Darien. 


Apakah dia cantik? Ya dia cantik. Tapi menurut Darien itu hanya menurut pria-pria bodoh yang menggilai gadis mungil itu. Tidak dengan Darien. Karena Darien betahun-tahun berada di sisinya. Darien mengenali Shine begitu baik dari luar maupun dalam. Setidaknya, dulu setiap kali mereka bertemu Darien akan selalu memeluk gadis itu erat. Menghantarkan rasa sayangnya yang begitu besar. Mengukung tubuh Shine dalam jarak pandangnya, agar tidak ada seorang pria pun yang berani mendekatinya, lalu membawa Shine pergi dari hidup Darien. Tapi itu dulu! Sebelum Shine menghancurkan semua perasaannya


Berapa lama Darien merindukannya? Darien bahkan sudah lupa. Darien hanya ingat kehancurannya saat gadis itu memilih pergi meninggalkannya. Menyisahkan luka yang tidak pernah bisa terobati. 



Darien membencinya. Membenci Shine dengan seluruh hatinya. Seberapa jauh pun Tuhan menuntun mereka untuk kembali bertemu, hanya akan ada dendam untuknya. Cerita di masa lalu, Darien muak mengingatnya. 







*****





"Shine, kau di mana?!"


"Kenapa kau melakukan ini padaku? Kenapa?!!"


"Ku mohon kembali! Apa salahku?!"


"Kembali sialan!!!" 


Darien mengerang ketika sebuah memori menghantam keras alam pikirannya. Pria ini mencengkram kepalanya kuat-kuat. Berteriak keras, lalu membanting semua barang yang terlihat. Sebuah siksa di masa lalu tidak akan semudah membalik telapak tangan untuk melupakannya. Ketika jarum suntik ratusan kali menusuk kulit di tubuhnya, ketika tubuhnya harus diikat berminggu-minggu di sebuah ranjang, Darien tidak bisa melupakannya begitu saja. 


"Aku membencimu! Aku sangat membencimu!!" desis Darien. 


Ia bukan seorang manusia yang sempurna. Yang ketika sakit hanya akan menangis. Pria ini begitu lelah menanti. Darien begitu lelah menangis, dan tidak ada yang pernah mengetahuinya. 


"Jangan kembali! Jangan pernah kembali, karena aku membencimu." 


Dulu ketika ia tersenyum, Darien tahu selalu ada hari baik yang menantinya. Ketika sebuah daun menyapa bingkai jendela kamarnya, ia selalu tahu ada seseorang yang juga akan selalu menyapa kehidupannya. Tapi kini, ketika desisan-desisan menguap bersama manik mata yang memerah, Darien tahu ia kembali terluka. 


Setiap kata yang terlontar, semua itu bagai janji di gelap malam. Telunjuk pria ini mengacung begitu dingin, sebelum akhirnya berubah menjadi kepalan tangan. Dan dalam satu kali helaan nafasnya Darien meraih kenop pintu. Membukanya, lalu segera keluar untuk menjauh. 


Hana yang baru saja menyelesaikan kegiatan berbenahnya mengernyit heran, menatap kemunculan putranya yang muncul dari lantai dua. Ini masih cukup pagi bagi seorang direktur untuk kembali pulang. Tapi pria tampan itu justru muncul secara tiba-tiba dengan sikap yang kurang menyenangkan. Apalagi selama ini Darien tidak pernah pulang lebih cepat, sekalipun mereka memaksanya untuk acara yang penting. Bagi Darien waktunya terlalu berharga untuk di sia-siakan.  


"Kau tidak bekerja nak?" tegur Hana, saat Darien melangkah melewatinya. Namun Darien mengabaikannya begitu saja. Hana menghela napasnya. Sebagai seorang ibu yang juga mengandung Darien, Hana tahu ada sesuatu yang mengganggu putranya itu. 


Melangkah mendekati, Hana mengusap lengan kekar Darien. Wanita ini nampak cantik dengan balutan maron dress yang mencolok. Meski garis-garis halus tercipta di raut wajah tuanya, namun Hana masih terlihat mempesona.


"Tidak." jawab Darien singkat.


Darien melanjutkan kembali langkahnya dengan ringan. Membuat wanita tua itu kembali menghela nafas sedih. Hana telah terbiasa menghadapi perubahan sikap putranya itu. Darien memang akan selalu menjadi dingin dan tidak perduli apapun ketika sedang bermasalah. Tapi ada saat-saat dimana pria itu akan berbicara panjang. Tepatnya, ketika Darien akan mencemooh atau membicarakan hal yang penting.


Hana melangkah pelan. Namun teratur mengikuti setiap langkah Darien menuju kursi taman yang terletak di bawah pohon pinus. Tanah luas itu memang akan selalu pria itu kunjungi ketika suasana hatinya sedang buruk.


"Jika kau sedang memiliki masalah, kau bisa menceritakannya kepada ibu, Dar. Ibu akan dengan senang mendengarkannya." 


Sekali lagi Hana membuka percakapan. Ia duduk di sisi kiri Darien. Berpura-pura tidak melihat tatapan jengah yang dilayangkan oleh  putranya itu. 


Darien sendiri mendengus tidak terlalu perduli. Hana sangat mengganggu dengan bibirnya, dan itu tak jauh berbeda dengan si mungil. "Tidak."  Itu jawaban yang singkat. Tetapi Darien tidak perduli jika Hana akan tersinggung. Hatinya sedang kacau, dan Darien butuh waktu untuk sendiri.


Hana menghembuskan napasnya perlahan. Menariknya kembali dalam-dalam, mencoba mengisi udara pada dadanya yang menyesak. Hana tidak mengalihkan sedikit saja pandanganya. Ia tetap menatap hamparan tangkai bunga yang tesebar. Bunga-bunga cantik itu hasil pekerjaannya sendiri, meski kali ini tidak ada mekar yang menghiasi. Tapi setidaknya ada cemara-cemara mungil berdaun salju.


"Kau tau, ibu merasa kau begitu jauh. Kau berada di dekat ibu, tapi ibu tidak bisa menggapaimu." bisik Hana kecil.


Sudah lama Hana memilih diam untuk memendam keingintahuannya. Namun saat ini Hana tidak mampu lagi menanggung kesedihannya. Ada sengatan pedih di dalam dirinya, ketika masa kelam itu menghampiri kembali. Masa dimana ia harus merelakan sang putra hidup jauh darinya, dan menderita seorang diri. Ketika ia hanya bisa menangis dari balik putih kaca. Tanpa bisa melakukan apapun, meski hanya sekedar pelukan seorang ibu.


Darien yang mendegar perubahan suara Hana segera memalingkan wajahnya, dan terkejut ketika mendapati aliran bening mengalir begitu deras dari kedua manik mata renta itu. "Aku hanya lelah ibu. Berhentilah bersikap berlebihan. Aku tidak pergi ke mana pun." ucapnya lembut. Darien meraih wajah Hana.  Lalu mengusap tetesan air suci itu menggunakan ibu jarinya.


Membuat Hana semakin tidak mampu menahan isakannya. Hana berhambur memeluk tubuh Darien. Darien hancur, Hana tahu itu. Putranya hanya berpura-pura tegar dihadapan semua orang. Seberapa banyak pun Darien berbohong,  Hana akan selalu mengetahuinya. Karena ia ibunya, Hana tahu apa yang mengganggu putranya. 


"Maaf nyonya, putra anda mengalami gangguan jiwa. " 


Hana bahkan masih mengingat setiap kata yang dokter itu lontarkan. Jeritan-jeritan Darien. Tangisannya. Hana semakin mengeratkan pelukannya. Waktu itu Hana tidak mengira dapat menjalani kehidupannya. Hana hanya berpikir betapa kejamnya Tuhan menghukum Darien. Membuat putranya itu sakit sedemikian parah. 


Hingga pada saat itu, saat dimana Darien memilih bangkit dan berubah. Di sanalah Hana juga berdiri untuk melupakan segalanya. Tapi sebagai seorang ibu, Hana tahu Darien masih berkabung dalam lukanya. Hana selalu berharap untuk satu kali saja, ia ingin berguna dengan mengembalikan tawa Darien kembali. Tanpa melukai siapapun. 


"Jangan berbohong pada ibu. Apapun yang mengganggumu, katakan. Ibu selalu menemanimu sayang." 


Meski impian itu terlihat tidak mungkin untuk dilakukan, Hana benar-benar ingin membebaskan Darien dari rasa sakitnya. 


"Hmm, aku akan mengingatnya. Dan aku akan mengatakan apapun kepada ibu, jika aku sudah bisa mengendalikan diriku sendiri." jawab Darien. 


"Kau berjanji?" 


Darien mengangguk pasti.  Darien akan mengingatnya. Seberapa banyak pun kalimat yang Hana ucapkan, Darien tidak akan pernah melupakannya. Darien tahu Hana hanya merasa tidak berguna. Tetapi Hana tidak tahu, Darien hanya tidak siap untuk menceritakan kegundahannya. Karena Darien takut, takut Hana akan membencinya, seperti gadis itu. 


Darien merangkul erat pundak Hana. Lalu medaratkan kecupan kecil di pipi renta sang ibu. Akan ada masa dimana ia akan menangis dihadapan Hana, tapi tidak untuk saat ini.


Sementara Hana kembali tersenyum. Ia meraih tangan kiri Darien lalu meremasnya lembut. Menghantarkan jutaan cinta yang dirinya miliki. Dulu Darien adalah pria yang begitu lembut. Namun suatu kejadian membuat putranya itu kehilangan gadis yang begitu disayanginya. Kejadian itu membuat Darien hancur dan menjadi gila. Ketika Darien keluar dari pusat rehabilitasi, putanya itu telah berubah. Darien menjadi arogan, dingin dan keras kepala. Tidak ada yang berani membahas masa lalunya. Semua memilih merapatkan bibir agar luka itu tidak lagi terbuka. 


"Saat pernikahan Adam, bisakah kau membawa Katarina?"


Darien menatap Hana dengan sejuta kebingungan. Wanita tua itu mendadak terlihat aneh setelah menghentikan tangisannya.  Hana seperti sedang merencanakan sesuatu. 


Bukankah terdengar lucu jika tiba-tiba wanita tua itu menanyakan Katarina? Sementara selama ini mereka bersikap seperti tidak mengenal wanita itu. 


"Dia sahabatku ibu. Apakah ada alasan untukku tidak membawanya?"


Darrien melepaskan rangkulannya. Namun pandangannya masih terpatri di tempat yang sama. Gemerisik daun menyentuh pendengarannya dengan lembut. Membuat sesak yang mengganggu terhempas dan tidak bersisa. 


Hana mengalihkan tatapannya pada seekor camar yang hinggap di ranting pohon.  Camar kecil itu bersiul beberapa kali, sebelum akhirnya kembali pergi.  Itu sama seperti perjalanan masa muda Darien.Jika sebuah kepergian adalah kesalahan, maka kedatangan bisa menjadi sebuah pengorbanan. 


Hana tersenyum kecil. Ia mengetahi semua permasalahan yang terjadi masa lalu. Tetapi Hana hanya bisa menyimpannya di dalam hati.  Benar, Hana dan keluarganya membenci Katarina, karena gadis itu adalah sumber dari semua kesalahan, tetapi Hana tidak merasa pantas mengadilinya. Biar bagaimana pun gadis itu juga merasakan hal yang sama seperti mereka.  Kehilangan gadis di masa lalu. 


"Entahlah, kau jarang sekali membawanya ke tempat ini." 


Setidaknya berdusta bukan hal yang terlalu buruk. Ada sebuah janji yang harus ia tepati, dan Hana bukan wanita pembual murahan. Jika hanya sekedar untuk mengundang maka itu bukan masalah besar baginya. 


"Ibu, Katarina bukan seorang pengangguran. Gadis itu sibuk."  jawab Darien tenang. 


Namun kedua matanya menghindari tatapan selidik sang ibu. Bukan karena Darien takut. Darien hanya belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya.  Keluarga ini mengharapkan Shine memiliki hatinya, tapi Katarina dianggap sebagai perusak persahabatan hanya karena kedekatan mereka. 


"Apa kau tidak merindukannya? Kalian sudah lama tidak bertemu."


"Bagaimana aku bisa merindukannya, jika gadis itu selalu datang ke kantorku." 


Darien bahkan merasa Katarina seperti makhluk yang tidak kasat mata, yang selalu datang tanpa diundang. 


Hana mengangguk. "Baiklah jika seperti itu. Setidaknya kau tidak sendirian." 


Lalu tersenyum kecut saat Darien tersenyum lembut. Ada kalanya Hana merasa sedih saat menyadari Darien tidak lagi mengutamakannya. Hana menjulurkan tangannya mengusap kepala Darien. 




*****




Shine mengatupkan bibirnya dalam kuat-kuat. Sudah lima jam berlalu sejak pesawat meninggalkan landasan, tapi Shine tetap tidak memesan apapun. Hawa dingin yang merasuk cukup membuat bibir lembutnya sedikit mengering, tapi jika mengingat enam jam lagi ia akan tiba di Fuuto, Shine merasa seperti ia akan segera mati. 


Demi Tuhan, Merry benar-benar keterlaluan. Tujuh tahun lari bukanlah hal yang mudah untuknya. Bertahun-tahun ia berusaha bersembunyi agar tidak ada seorang yang menemukannya, namun Merry justru mengirimnya kembali. Sial! Jika saja Shine mampu menolak, maka ia akan menolak keinginan ibunya itu mati-matian. 


Tapi jika Merry telah mengancam, mengalah adalah pilihan yang terbaik sebelum wanita tua nan cerewet itu mengirimya ke Rusia.


"Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan? Melarikan diri? Bodoh! Itu benar-benar bodoh." gumamnya lirih. 


Shine terlihat seperti orang sinting yang berbicara seorang diri. Tapi persetan. Ia memesan VVIP class,  jadi ia hanya duduk seorang diri dan tidak akan ada orang yang mampu mendengar gumaman lirihnya. 


Shine kembali berpaling. Memandang hamparan awan yang begitu putih, lalu menghembuskan nafasnya sedih. Seandainya saja bisa, Shine ingin memeluk bongkahan awan, lalu mencurahkan semua tekanan yang ia rasakan. 


"Shine, apa kau tahu? Darien dan Katarina resmi berkencan." 


"Kau bercanda? Itu tidak mungkin. Darien dan Katarina tidak mungkin menutupi sesuatu dariku." 


"Tidak Shine, semua orang sudah mengetahuinya." 


Bersamaan dengan kalimat usang di masa lalu, setetes air mata lolos dari pelupuk mata Shine.  


Shine membiarkan hatinya mengeluarkan segala perasaan sakitnya. Penghianat akan tetap menjadi pecundang baginya. Shine hanya perlu bertahan. Enam bulan bukanlah waktu yang lama. Setelah itu ia akan menikah. 


Dan luka itu akan segera lenyap bersama dengan datangnya cinta yang baru.






<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3901966446423879"

     crossorigin="anonymous"></script>

<ins class="adsbygoogle"

     style="display:block; text-align:center;"

     data-ad-layout="in-article"

     data-ad-format="fluid"

     data-ad-client="ca-pub-3901966446423879"

     data-ad-slot="2773620573"></ins>

<script>

     (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

</script>



No comments:

Post a Comment