Search This Blog

Monday, August 16, 2021

Reality (Part 10)

 




Jangan kembali melalui jalan setapak, singgah laah sesaat untuk memulihka diri, agar kau tidak tersesat. — Shine 






**************************************



"Dia kembali." gumam Darien lirih. Bukan kepada siapapun, tapi lebih pada dirinya sendiri.


Dia kembali. 


Ya, gadis mungil bersurai hitam itu akan segera kembali. Kepala Darien nyaris pecah hanya karena mengingat itu. 


Kenapa Shine harus kembali? Dan kenapa harus ada seorang wanita menumpang di rumahnya? Darien mengacak rambutnya frustasi. 


Sharon. 


Nama itu entah mengapa begitu familiar ditelinganya. Darien yakin pernah mendengarnya. Tapi di mana? 


Tapi tunggu, haruskah ia menemui Shine? Tidak. Darien menggelengkan kepalanya kuat. Bagaimana pun juga Darien tidak pernah melupakan kejadian itu. Luka yang dimilikinya masih begitu terasa perih. Bertahun-tahun Darien menyembuhkannya, dan demi apapun Darien tidak siap jika harus kembali menatap wajah gadis itu.


"Hahh" 


Darien menghembuskan napasnya berat, ketika bola matanya bergerak menyusuri bingkai besar yang tertempel tepat di depan ranjang. Ada dia di sana, Mica dan juga Katarina. Mereka selalu berada disana. Tidak pernah tersentuh, dan Darien pun begitu. 


Katarina. Jantung Darien bergemuruh ketika memikirkannya. Darien tidak menyangka jika  sudah begitu banyak waktu yang dihabiskannya untuk menyendiri. Darien cukup merindukan wanita  itu. Katarina adalah sosok yang berada di balik bayang-bayangnya selama ini. Kataina cantik, lembut, dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Hanya saja, dulu wanita itu lebih dekat dengan Mica dibanding dengannya. Membuat Darien tidak memiliki interaksi yang lekat seperti kepada gadis di masa lalu itu. 


Darien kembali menatapnya. Sosok kecil yang selalu menghantui kehidupannya. Gadis itu bukan sosok wanita yang lembut, tetapi gadis pendek yang manja dan cerewet. Shine, nama itu tidak pernah hilang dari ingatan Darien. 


Apakah dia cantik? Ya dia cantik. Tapi menurut Darien itu hanya menurut pria-pria bodoh yang menggilai gadis mungil itu. Tidak dengan Darien. Karena Darien betahun-tahun berada di sisinya. Darien mengenali Shine begitu baik dari luar maupun dalam. Setidaknya, dulu setiap kali mereka bertemu Darien akan selalu memeluk gadis itu erat. Menghantarkan rasa sayangnya yang begitu besar. Mengukung tubuh Shine dalam jarak pandangnya, agar tidak ada seorang pria pun yang berani mendekatinya, lalu membawa Shine pergi dari hidup Darien. Tapi itu dulu! Sebelum Shine menghancurkan semua perasaannya


Berapa lama Darien merindukannya? Darien bahkan sudah lupa. Darien hanya ingat kehancurannya saat gadis itu memilih pergi meninggalkannya. Menyisahkan luka yang tidak pernah bisa terobati. 



Darien membencinya. Membenci Shine dengan seluruh hatinya. Seberapa jauh pun Tuhan menuntun mereka untuk kembali bertemu, hanya akan ada dendam untuknya. Cerita di masa lalu, Darien muak mengingatnya. 







*****





"Shine, kau di mana?!"


"Kenapa kau melakukan ini padaku? Kenapa?!!"


"Ku mohon kembali! Apa salahku?!"


"Kembali sialan!!!" 


Darien mengerang ketika sebuah memori menghantam keras alam pikirannya. Pria ini mencengkram kepalanya kuat-kuat. Berteriak keras, lalu membanting semua barang yang terlihat. Sebuah siksa di masa lalu tidak akan semudah membalik telapak tangan untuk melupakannya. Ketika jarum suntik ratusan kali menusuk kulit di tubuhnya, ketika tubuhnya harus diikat berminggu-minggu di sebuah ranjang, Darien tidak bisa melupakannya begitu saja. 


"Aku membencimu! Aku sangat membencimu!!" desis Darien. 


Ia bukan seorang manusia yang sempurna. Yang ketika sakit hanya akan menangis. Pria ini begitu lelah menanti. Darien begitu lelah menangis, dan tidak ada yang pernah mengetahuinya. 


"Jangan kembali! Jangan pernah kembali, karena aku membencimu." 


Dulu ketika ia tersenyum, Darien tahu selalu ada hari baik yang menantinya. Ketika sebuah daun menyapa bingkai jendela kamarnya, ia selalu tahu ada seseorang yang juga akan selalu menyapa kehidupannya. Tapi kini, ketika desisan-desisan menguap bersama manik mata yang memerah, Darien tahu ia kembali terluka. 


Setiap kata yang terlontar, semua itu bagai janji di gelap malam. Telunjuk pria ini mengacung begitu dingin, sebelum akhirnya berubah menjadi kepalan tangan. Dan dalam satu kali helaan nafasnya Darien meraih kenop pintu. Membukanya, lalu segera keluar untuk menjauh. 


Hana yang baru saja menyelesaikan kegiatan berbenahnya mengernyit heran, menatap kemunculan putranya yang muncul dari lantai dua. Ini masih cukup pagi bagi seorang direktur untuk kembali pulang. Tapi pria tampan itu justru muncul secara tiba-tiba dengan sikap yang kurang menyenangkan. Apalagi selama ini Darien tidak pernah pulang lebih cepat, sekalipun mereka memaksanya untuk acara yang penting. Bagi Darien waktunya terlalu berharga untuk di sia-siakan.  


"Kau tidak bekerja nak?" tegur Hana, saat Darien melangkah melewatinya. Namun Darien mengabaikannya begitu saja. Hana menghela napasnya. Sebagai seorang ibu yang juga mengandung Darien, Hana tahu ada sesuatu yang mengganggu putranya itu. 


Melangkah mendekati, Hana mengusap lengan kekar Darien. Wanita ini nampak cantik dengan balutan maron dress yang mencolok. Meski garis-garis halus tercipta di raut wajah tuanya, namun Hana masih terlihat mempesona.


"Tidak." jawab Darien singkat.


Darien melanjutkan kembali langkahnya dengan ringan. Membuat wanita tua itu kembali menghela nafas sedih. Hana telah terbiasa menghadapi perubahan sikap putranya itu. Darien memang akan selalu menjadi dingin dan tidak perduli apapun ketika sedang bermasalah. Tapi ada saat-saat dimana pria itu akan berbicara panjang. Tepatnya, ketika Darien akan mencemooh atau membicarakan hal yang penting.


Hana melangkah pelan. Namun teratur mengikuti setiap langkah Darien menuju kursi taman yang terletak di bawah pohon pinus. Tanah luas itu memang akan selalu pria itu kunjungi ketika suasana hatinya sedang buruk.


"Jika kau sedang memiliki masalah, kau bisa menceritakannya kepada ibu, Dar. Ibu akan dengan senang mendengarkannya." 


Sekali lagi Hana membuka percakapan. Ia duduk di sisi kiri Darien. Berpura-pura tidak melihat tatapan jengah yang dilayangkan oleh  putranya itu. 


Darien sendiri mendengus tidak terlalu perduli. Hana sangat mengganggu dengan bibirnya, dan itu tak jauh berbeda dengan si mungil. "Tidak."  Itu jawaban yang singkat. Tetapi Darien tidak perduli jika Hana akan tersinggung. Hatinya sedang kacau, dan Darien butuh waktu untuk sendiri.


Hana menghembuskan napasnya perlahan. Menariknya kembali dalam-dalam, mencoba mengisi udara pada dadanya yang menyesak. Hana tidak mengalihkan sedikit saja pandanganya. Ia tetap menatap hamparan tangkai bunga yang tesebar. Bunga-bunga cantik itu hasil pekerjaannya sendiri, meski kali ini tidak ada mekar yang menghiasi. Tapi setidaknya ada cemara-cemara mungil berdaun salju.


"Kau tau, ibu merasa kau begitu jauh. Kau berada di dekat ibu, tapi ibu tidak bisa menggapaimu." bisik Hana kecil.


Sudah lama Hana memilih diam untuk memendam keingintahuannya. Namun saat ini Hana tidak mampu lagi menanggung kesedihannya. Ada sengatan pedih di dalam dirinya, ketika masa kelam itu menghampiri kembali. Masa dimana ia harus merelakan sang putra hidup jauh darinya, dan menderita seorang diri. Ketika ia hanya bisa menangis dari balik putih kaca. Tanpa bisa melakukan apapun, meski hanya sekedar pelukan seorang ibu.


Darien yang mendegar perubahan suara Hana segera memalingkan wajahnya, dan terkejut ketika mendapati aliran bening mengalir begitu deras dari kedua manik mata renta itu. "Aku hanya lelah ibu. Berhentilah bersikap berlebihan. Aku tidak pergi ke mana pun." ucapnya lembut. Darien meraih wajah Hana.  Lalu mengusap tetesan air suci itu menggunakan ibu jarinya.


Membuat Hana semakin tidak mampu menahan isakannya. Hana berhambur memeluk tubuh Darien. Darien hancur, Hana tahu itu. Putranya hanya berpura-pura tegar dihadapan semua orang. Seberapa banyak pun Darien berbohong,  Hana akan selalu mengetahuinya. Karena ia ibunya, Hana tahu apa yang mengganggu putranya. 


"Maaf nyonya, putra anda mengalami gangguan jiwa. " 


Hana bahkan masih mengingat setiap kata yang dokter itu lontarkan. Jeritan-jeritan Darien. Tangisannya. Hana semakin mengeratkan pelukannya. Waktu itu Hana tidak mengira dapat menjalani kehidupannya. Hana hanya berpikir betapa kejamnya Tuhan menghukum Darien. Membuat putranya itu sakit sedemikian parah. 


Hingga pada saat itu, saat dimana Darien memilih bangkit dan berubah. Di sanalah Hana juga berdiri untuk melupakan segalanya. Tapi sebagai seorang ibu, Hana tahu Darien masih berkabung dalam lukanya. Hana selalu berharap untuk satu kali saja, ia ingin berguna dengan mengembalikan tawa Darien kembali. Tanpa melukai siapapun. 


"Jangan berbohong pada ibu. Apapun yang mengganggumu, katakan. Ibu selalu menemanimu sayang." 


Meski impian itu terlihat tidak mungkin untuk dilakukan, Hana benar-benar ingin membebaskan Darien dari rasa sakitnya. 


"Hmm, aku akan mengingatnya. Dan aku akan mengatakan apapun kepada ibu, jika aku sudah bisa mengendalikan diriku sendiri." jawab Darien. 


"Kau berjanji?" 


Darien mengangguk pasti.  Darien akan mengingatnya. Seberapa banyak pun kalimat yang Hana ucapkan, Darien tidak akan pernah melupakannya. Darien tahu Hana hanya merasa tidak berguna. Tetapi Hana tidak tahu, Darien hanya tidak siap untuk menceritakan kegundahannya. Karena Darien takut, takut Hana akan membencinya, seperti gadis itu. 


Darien merangkul erat pundak Hana. Lalu medaratkan kecupan kecil di pipi renta sang ibu. Akan ada masa dimana ia akan menangis dihadapan Hana, tapi tidak untuk saat ini.


Sementara Hana kembali tersenyum. Ia meraih tangan kiri Darien lalu meremasnya lembut. Menghantarkan jutaan cinta yang dirinya miliki. Dulu Darien adalah pria yang begitu lembut. Namun suatu kejadian membuat putranya itu kehilangan gadis yang begitu disayanginya. Kejadian itu membuat Darien hancur dan menjadi gila. Ketika Darien keluar dari pusat rehabilitasi, putanya itu telah berubah. Darien menjadi arogan, dingin dan keras kepala. Tidak ada yang berani membahas masa lalunya. Semua memilih merapatkan bibir agar luka itu tidak lagi terbuka. 


"Saat pernikahan Adam, bisakah kau membawa Katarina?"


Darien menatap Hana dengan sejuta kebingungan. Wanita tua itu mendadak terlihat aneh setelah menghentikan tangisannya.  Hana seperti sedang merencanakan sesuatu. 


Bukankah terdengar lucu jika tiba-tiba wanita tua itu menanyakan Katarina? Sementara selama ini mereka bersikap seperti tidak mengenal wanita itu. 


"Dia sahabatku ibu. Apakah ada alasan untukku tidak membawanya?"


Darrien melepaskan rangkulannya. Namun pandangannya masih terpatri di tempat yang sama. Gemerisik daun menyentuh pendengarannya dengan lembut. Membuat sesak yang mengganggu terhempas dan tidak bersisa. 


Hana mengalihkan tatapannya pada seekor camar yang hinggap di ranting pohon.  Camar kecil itu bersiul beberapa kali, sebelum akhirnya kembali pergi.  Itu sama seperti perjalanan masa muda Darien.Jika sebuah kepergian adalah kesalahan, maka kedatangan bisa menjadi sebuah pengorbanan. 


Hana tersenyum kecil. Ia mengetahi semua permasalahan yang terjadi masa lalu. Tetapi Hana hanya bisa menyimpannya di dalam hati.  Benar, Hana dan keluarganya membenci Katarina, karena gadis itu adalah sumber dari semua kesalahan, tetapi Hana tidak merasa pantas mengadilinya. Biar bagaimana pun gadis itu juga merasakan hal yang sama seperti mereka.  Kehilangan gadis di masa lalu. 


"Entahlah, kau jarang sekali membawanya ke tempat ini." 


Setidaknya berdusta bukan hal yang terlalu buruk. Ada sebuah janji yang harus ia tepati, dan Hana bukan wanita pembual murahan. Jika hanya sekedar untuk mengundang maka itu bukan masalah besar baginya. 


"Ibu, Katarina bukan seorang pengangguran. Gadis itu sibuk."  jawab Darien tenang. 


Namun kedua matanya menghindari tatapan selidik sang ibu. Bukan karena Darien takut. Darien hanya belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya.  Keluarga ini mengharapkan Shine memiliki hatinya, tapi Katarina dianggap sebagai perusak persahabatan hanya karena kedekatan mereka. 


"Apa kau tidak merindukannya? Kalian sudah lama tidak bertemu."


"Bagaimana aku bisa merindukannya, jika gadis itu selalu datang ke kantorku." 


Darien bahkan merasa Katarina seperti makhluk yang tidak kasat mata, yang selalu datang tanpa diundang. 


Hana mengangguk. "Baiklah jika seperti itu. Setidaknya kau tidak sendirian." 


Lalu tersenyum kecut saat Darien tersenyum lembut. Ada kalanya Hana merasa sedih saat menyadari Darien tidak lagi mengutamakannya. Hana menjulurkan tangannya mengusap kepala Darien. 




*****




Shine mengatupkan bibirnya dalam kuat-kuat. Sudah lima jam berlalu sejak pesawat meninggalkan landasan, tapi Shine tetap tidak memesan apapun. Hawa dingin yang merasuk cukup membuat bibir lembutnya sedikit mengering, tapi jika mengingat enam jam lagi ia akan tiba di Fuuto, Shine merasa seperti ia akan segera mati. 


Demi Tuhan, Merry benar-benar keterlaluan. Tujuh tahun lari bukanlah hal yang mudah untuknya. Bertahun-tahun ia berusaha bersembunyi agar tidak ada seorang yang menemukannya, namun Merry justru mengirimnya kembali. Sial! Jika saja Shine mampu menolak, maka ia akan menolak keinginan ibunya itu mati-matian. 


Tapi jika Merry telah mengancam, mengalah adalah pilihan yang terbaik sebelum wanita tua nan cerewet itu mengirimya ke Rusia.


"Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan? Melarikan diri? Bodoh! Itu benar-benar bodoh." gumamnya lirih. 


Shine terlihat seperti orang sinting yang berbicara seorang diri. Tapi persetan. Ia memesan VVIP class,  jadi ia hanya duduk seorang diri dan tidak akan ada orang yang mampu mendengar gumaman lirihnya. 


Shine kembali berpaling. Memandang hamparan awan yang begitu putih, lalu menghembuskan nafasnya sedih. Seandainya saja bisa, Shine ingin memeluk bongkahan awan, lalu mencurahkan semua tekanan yang ia rasakan. 


"Shine, apa kau tahu? Darien dan Katarina resmi berkencan." 


"Kau bercanda? Itu tidak mungkin. Darien dan Katarina tidak mungkin menutupi sesuatu dariku." 


"Tidak Shine, semua orang sudah mengetahuinya." 


Bersamaan dengan kalimat usang di masa lalu, setetes air mata lolos dari pelupuk mata Shine.  


Shine membiarkan hatinya mengeluarkan segala perasaan sakitnya. Penghianat akan tetap menjadi pecundang baginya. Shine hanya perlu bertahan. Enam bulan bukanlah waktu yang lama. Setelah itu ia akan menikah. 


Dan luka itu akan segera lenyap bersama dengan datangnya cinta yang baru.






<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3901966446423879"

     crossorigin="anonymous"></script>

<ins class="adsbygoogle"

     style="display:block; text-align:center;"

     data-ad-layout="in-article"

     data-ad-format="fluid"

     data-ad-client="ca-pub-3901966446423879"

     data-ad-slot="2773620573"></ins>

<script>

     (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

</script>



Reality (Part 9)

 Semua orang terkadang merasa seperti ingin berlari. Tetapi jika kita melakukan itu semua, maka tidak akan ada yang bisa dimulai.






******************************************




Desember, 2019



Sebenarnya sebuah perubahan jaman tidak mampu mengubah sebuah pemikiran yang sempit. Kadang kala sesuatu yang dirapalkan oleh otak itu sendiri, justru akan membawa manusia jatuh ke dalam sebuah lembah yang dapat juga disebutkan sebagi ketakutan. Manusia jelas mengetahui bahwa setiap pemikiran tidaklah akan selalu sesuai dengan kenyataan. Tahun-tahun yang terlewati pun jauh dari sebuah kenangan. Rasa sakit mungkin tidak akan pernah lenyap. Tapi setidaknya persahabatan lebih kuat dari sebuah pertemanan.


Saat ini dimana sesuatu mungkin tidak akan sama kembali seperti di masa lalu. Awan mulai redup bersamaan dengan sepasang manusia berbeda jenis yang duduk memenuhi Colio Cafe, yang jauh lebih lengang dibanding biasanya. Tempat bising ini mendadak sunyi setelah beberapa menit berlalu. Ada wanita muda menduduki kasir, bertubuh tinggi namun tidak terlalu putih. Seperti campuran Korea dan Thailand. Wanita itu tersenyum lebar tiap kali seseorang masuk, dan menimbulkan dentingan pada lonceng di atas pintu. 


Di luar jalanan masih terlihat padat. Kendaraan dan matahari mendadak tidak kompak, karena salah satunya telah lama menghilang. Butiran salju jelas tersebar di setiap pinggiran jalan. Menjadikan tumpukan putih menjadi lukisan pemandangan tersendiri bagi sepasang insan yang bergurau di sudut terujung ruangan. 


Kursi di sudut ruangan ini hanya berbentuk kayu jati lama. Namun di beberapa bagiannya tersampir beberapa kain penghias yang mempercantik setiap sisi-sisinya. 


Sejauh yang ia lihat, tempat ini tidak pernah berubah. Semua masih terlihat sama seperti dahulu. Ada kerinduan yang tidak tersampaikan dari balik bibir-bibir yang berucap. Hanya mata mereka saja yang mampu menyiratkan, jika mereka masih menginginkan perubahan. Meski sejujurnya kedua hati itu tetap dalam kebekuan. 


Gadis ini yang pertama mengangkat tangannya. Mengarahkan jemari untuk meraih cangkir berisikan cairan kecoklatan Coffe Latte kesukaannya. Membuat kepulan asapnya menebar, ketika bibirnya yang tipis mencecap dengan perlahan. 


Hoppang di atas meja menemani cangkir kopi seorang yang lainnya. Pria itu memiliki tinggi yang menjulang, serta proporsi tubuh yang bisa digambarkan seperti manusia kekurangan gizi. Kurus. 


Katarina menyimpan tawanya di dalam hati. Memandang secara tersembunyi sembari terus menikmati cangkir dalam genggamannya. Ah, ini waktu yang begitu lama. Seperti tahun-tahun yang terlewat dan mereka selalu seperti ini. Memesan hoppang namun akan selalu tersisa dua, karena sebagian akan berpindah pada perut seseorang. 


"Astaga Mica, hentikan. Ya Tuhan, kau tampak mengerikan." 


Ketika akhirnya jarum panjang bergerak turun ke angka enam, wanita ini mengeluarkan suaranya begitu nyaring. Hingga membuat pria itu tertawa senang. Oh shit! Seharusnya memang dirinya hanya diam saja dan memperhatikan. Kini ketika nada telah terlontar, Katarina yakin pria itu tidak akan pernah berhenti.


Mica bahkan tidak perduli ketika seluruh pengunjung melemparkan tatapan aneh pada dirinya. Bukan hanya itu, kue yang berbentuk bulat mirip bakpau itu bahkan kembali diraupnya, hingga kini lenyap tak bersisa. 


Katarina menggelengkan kepalanya gemas. Lalu segera meletakkan kembali gelasnya. Akan semakin banyak pertanyaan jika dirinya terus mengikuti kebodohan pria dihadapannya itu. 


"Ini terlalu lezat. Kau tahu? Aku kelaparan. Aku lupa menikmati makan siangku." 


Mica bersidekap ketika waktu kembali berputar. Angin musim dingin memang menyebalkan. Tapi setelan yang digunakan cukup aman untuk menjaga kestabilan suhu tubuhnya. Mica tersenyum lembut. Di masa lalu detik tidak memberi kesempatan baginya,  tetapi saat ini detik seolah menyadarkannya kembali kepada sesuatu yang juga pernah mereka alami bersama. Mica ingat untuk apa ia duduk tenang di sini. Banyak kenangan yang tertinggal di tempat ini, sehingga membuatnya memilih kembali ke tempat di mana mereka memulainya. 


"Lalu? Apa hubungannya denganku? Memangnya kau pikir aku tidak lapar?!" dengus Katarina. 


Mica mengeratkan jasnya, lantas tersenyum kembali. "Tentu saja itu berhubungan. Kau terlalu sedikit memesannya." balas Mica. 


Mica bergidik saat melihat butiran salju turun semakin banyak. Musim ini memang tidak menguntungkan untuknya, yang kurang menyukai udara beku. 


Jika saja setelah ini ia sakit, dan kekasihnya mengetahui itu, Mica yakin wanita itu akan menyembelihnya dengan menggunakan gunting rumput tetangga. 


Tapi apa boleh buat bukan? Jauh di lubuk hati yang terdalam Mica masih menyimpan banyak keraguan atas semua hal yang membuatnya memilih untuk bertindak dalam bayangan. Musim dingin hanya akan berlangsung selama tiga bulan saja, tetapi jikia ia hanya berdiam diri maka tidak akan ada yang berubah. 


"Apa itu sebuah pembelaan? Kau terdengar semakin bodoh, Mic." 


Ada kekehan ketika wanita ini mencibir. Katarina menatap sebal Mica yang tertawa tidak tahu diri. Mereka telah lama saling mengenal, dan bukan hanya berjalan bersisian. Ada banyak cerita dibalik sebuah masa lalu. Seperti potret usang merangkai sebuah kisah di dalam sebuah ingatan. Cara bicara pria itu juga tidak pernah berubah. Selalu saja membuat Katarina kesal, tapi juga  selalu menggelitik.


"Tidak, itu alasan sayang." jawab Mica. 


Mica tersenyum jahil, membiarkan bola matanya bergerak tak tentu arah. Menikmati wajah Katarina adalah anugrah, tetapi tidak akan selamanya akan sempurna. Wanita itu sangat baik. Seberapa lama pun mereka tidak bertemu, Mica tahu Katarina tidak pernah berubah.


Katarina hanya berdecih. "bodoh!" umpatnya. 


Ia melemparkan tissue kepada Mica, lalu memberengut pada sandaran kursinya. Sayang? Yang benar saja! 


Mulut Mica penuh dengan hoppang, namun bibir tebal itu tetap mampu merangkai kata-kata yang menyebalkan. Katarina kembali menyesap minumannya, namun secara sembunyi-sembunyi memandang Mica. 


Berbicara pada Mica memang harus menggunakan kewarasan yang maksimal. 


Mica tersenyum kecil. "Aku senang melihatmu baik-baik saja." Pandangannya tertuju lurus pada manik mata Katarina. 


Gadia itu tersenyum lembut, namun sebagaimanapun Katarina bersikap, Mica tidak bisa memungkiri jika telah banyak waktu yang merenggut semua kebahagaiaan mereka.


"Benarkah?" 


Katarina kembali meletakkan cangkir kopinya. gadis itu menghela nafasnya, berusaha melemparkan keraguan yang menyelinap, sejauh yang dirinya inginkan. Mata itu begitu indah, namun dengan jelas menyiratkan kesedihan. Lalu ketika retinanya menatap bola mata Mica, Katarina menyimpan air matanya. Ada hentakkan keras yang tidak pernah mampu ia hilangkan untuk pria itu. 


Pernyatan Mica tidak salah. Katarina bisa mengetahui bahwa pria itu memahami apa yang ia tidak mengerti.


"Hmm. Cobalah untuk bersikap terbuka. Kau tahu, aku bahkan merasa ada yang berbeda. Persahabatan ini, kita tidak lagi sama." 


Dan ketika kalimat itu terlontar, Katarina merasa terlempar begitu jauh, hingga ia seperti ia dipaksa mendarat pada hamparan pisau yang tajam. Begitu menyakitkan. 


Katarina juga bisa melihat, pancaran kebahagiaan yang Mica pancarkan beberapa saat yang lalu menghilang dalam sekejap. Kesepian begitu jelas terlukis pada manik mata pria itu.


Katarina menundukkan wajahnya penuh sesal.  Dulu jauh sebelum Tuhan menciptakan takdir menyedihkan mereka, mereka bersahabat hingga terlihat sulit untuk dipisahkan. Mereka selalu bersama seolah persahabatan itu diikat oleh tali yang tak terlihat. 


Namun sekarang? 


Mica bahkan tidak lagi sama. Ada sekat yang membatasi mereka. Memalingkan wajahnya, Katarina menatap hamparan salju yang tersebar. Ada beberapa mobil terparkir di ujung jalan. Asap putih yang mengepul cukup menghibur kesedihannya.


"Kau benar. Perpisahan itu mengubah segalanya. Kita seperti orang yang saling tidak mengenal."  lirih Katarina. 


Katarina mengigit bibir lembut. Ia tentu sadar bahwa semua yang terjadi dimulai dari bibirnya, dan berakhir juga karena dirinya. 


Sudah berapa lama mereka terpisah? Mungkin satu atau dua tahun. Entahlah, Mica juga tidak begitu mengingatnya. Hal terakhir yang pria ini ingat hanyalah kepergian Shine 7 tahun yang lalu. 


Hari dimana dirinya juga memutuskan untuk ikut pergi, dan hari dimana Kimbum menorehkan luka.


"Apa Shine berubah?" 


Katarina melanjutkan kalimatnya dengan nada berharap. Membuat tersenyum samar, sembari memandang kaca. 


Katarina berdecak. Mica tidak membuka suaranya, dan ia benci kebisuan.


"Apa dia berubah, Mic?" tanya Katarina lagi. 


Mica menggeleng, kemudian mengalihkan kembali tatapannya kepada Katarina.  


"Tidak ada yang berubah. Gadis itu tetap manja seperti tujuh tahun yang lalu. Dan ya, seperti yang kau tahu, Soeun sangat cerewet." 


Katarina terkekeh mendengar candaan Mica. Gigi putihnya terlihat berkilau berkat rekahan bibirnya yang semakin melebar. 


Gadis itu luar biasa cantiknya. Bahkan hanya dengan balutan T-Shirt ungu dan Jeans hitamnya gadis itu masih tampak begitu mempesona. Katarina juga tidak menggunakan polesan make up yang berlebihan. Mica hanya melihat segaris tipis lipstik berwarna pink yang berpadu dengan polesan bedak, yang sama tidak terlihat. 


Bolehkah Mica jujur? Ia menyukai Katarina yang seperti ini. Apa adanya dan tetap menjadi dirinya sendiri. Sayang, ia telah terikat pada seseorang. Mungkin jika ia masih seorang diri, Mica akan dengan sangat pasti menjadikan Katarina sebagai miliknya. 


"Kau membuatku menjadi rindu padanya." 


"Kau memang harus merindukannya. Tapi Darien sangat buruk. Aku membencinya." 


Lagi-lagi gadis itu tertawa. Katarina mengangguk setuju. Apa yang Mica katakan memang benar. Pria tampan yang memiliki tinggi maksimal itu memang begitu kaku dalam bersikap. Darien bahkan cenderung dingin, tegas, dan tidak perduli pada apapun. Tapi Katarina begitu mencintainya sejak tujuh tahun yang lalu, meski rasa itu hanya miliknya seorang. 


"Kau benar. Darien memang sangat keras kepala. Aku akan mencoba membujuknya." jawab Katarina.


Selama ini mereka cukup dekat, jadi Katarina yakin mampu membujuknya. Meski mungkin kelak pria itu akan sedikit memberang, tapi tidak masalah. Setidaknya hari itu akan berubah dengan cara yang ia pikirkan. 


Tidak akan selamanya luka itu membatasi jarak mereka. Dulu bahkan pria itu tidak mampu sekedar hanya untuk membenci. Jadi kini, ketika sebuah lonceng berdentang, Katarina memutuskan untuk mengembalikan semuanya.  


Mica mengangguk kecil. "Ku harap kau berhasil. Setidaknya setelah hari itu kita bisa berkumpul." jawabnya. 


Meski Mica masih sedikit ragu, tetapi senyum Katarina membuatnya memiliki harapan. 


Mica kemudian mengangkat jari telunjuknya, lalu mengarahkan pada Katarina yang mengangguk layaknya gadis kecil yang penurut. 


"Berjanjilah" lanjutnya.



Reality (Part 8)

 Langit boleh congkak ketika matahari menemaninya. Angin boleh tamak, ketika matahari juga menemaninya. Tetapi keadaan tidak akan selalu berpihak seperti sebuah harapan. Terik bukan berarti tidak akan hujan. Sama seperti cinta, senyum bukan berarti akan terluka. 


"Darien, aku menyukaimu." 


Shine menghembuskan napas lega, ketika kalimat yang telah lama dipendamnya itu terlontar begitu lancar. 


Darien sendiri hanya bisa menarik salah satu alisnya. Lalu tersenyum kecil. Udara terasa begitu panas, namun angin sedikit mengurangi kegerahan. 


"Apa yang kau katakan Shine? Apa kau sedang berusaha bersandiwara?" tanyanya setengah bercanda.  Membuat Shine membeku.


"Tidak, aku serius." cicit Shine. 


Darien kembali menarik kedua sudut bibirnya tersenyum tulus. Lalu memalingkan wajahnya, menyapu pandangan pada siswa di bawah sana yang hingar dengan lantunan bola basket. Biasanya ia juga akan berada di bawah sana, tapi hari ini ia mendadak merasa malas untuk bermain. 


"Hari ini aku tidak sedang berniat bermain sayang. Dan sandiwaramu sangat buruk." tuturnya lembut. 


"Tapi aku sedang tidak bercanda Darien. aku serius." 


Darien kemudian mengacak surai Shine. dengan gemas. Lalu setelahnya menjauh mendekati ujung pagar pembatas di sisi kanan, dan duduk di atas semen dingin yang padat. 


Atap sekolah menyenangkan diterik matahari. Tidak banyak yang berani menikmati hari ditempat ini, kecuali dirinya.


"Sudahlah, kau tidak bisa menipuku. Mengapa kau tidak bermain bersama Katarina saja?" 


Shine bergerak gelisah. 


"Kenapa kau tidak pernah mempercayaiku?" 


"Karena aku sangat mengenalmu. Ketika kau serius, atau ketika kau tengah bercanda, aku mengetahui itu." 


Karena mereka telah lama saling mengenal.  Darien menghela nafasnya samar. Meski sejujurnya ia merasa bahagia, tapi terdapat sesuatu yang menganggu pikirannya. Semacam keraguan yang tidak mampu untuk dijabarkan akal sehatnya. 


"Apa aku benar-benar terlihat seperti sedang bercanda?" tanya Shine lirih. Shine semakin memperdalam tundukkan kepalanya untuk menyembunyikan butiran hangat yang perlahan mengalir di kedua pipinya, manakala suara Darien terdengar semakin berbeda.


Darien terlihat dingin di matanya.  


"Dari sudut pandangku, candaanmu terdengar begitu mengada-ada. Dan lagi, jika yang kau katakan itu benar, aku juga tidak bisa membalasnya." 


Nada suara itu naik satu oktav. Darien tidak memperhatikan jika Shine tidak lagi mampu bergerak setelah mendegar ucapannya.  


Bola mata pria itu justru lebih liar mencari sesuatu yang membuat hatinya gelisah. Dan Shine menyadari itu, Darien memiliki hati yang lain. 


Shine mengigit bibirnya, dan tersenyum kecil menghina kerapuhannya. Darien tidak sama sekali menatap wajahnya. 


Shine mengusap jejak-jejak air di pipinya, lalu mendekati Darien. 


Untuk pertama kalinya, Darien mengabaikan kehadirannya. 


"Kenapa?" 


Jarak mereka terkikis secara perlahan, karena Shine sendirilah yang mengikisnya. Shine butuh jawaban. Tidak perduli jika sekalipun Darien akan membencinya. Shine mengangkat tangannya, menangkup wajah Darien.  Memaksa sahabatnya itu untuk menatap wajahnya.


"Tentu saja karena kau sahabatku, Shine." 


Shine menahan isakannya. 


Benarkah? Benarkah hanya karena itu? Lalu bagaimana jika Katarina yang berada di posisinya? apakah Darien akan mengatakan hal yang sama. 


Sementara meski ia menahan wajah tampan itu, Darien tetap mengabaikan tatapannya. 


"Benarkah hanya karena itu? Apa hanya aku?" 


"Tentu saja, Shine. Kau dan Katarina. Kalian berdua." 


"Kau tidak sedang berbohong kepadaku bukan?" 


"Untuk apa aku berbohong. Aku mengatakan hal yang sebenarnya." 


Bohong. 


Shine menolak untuk terima. Apa yang Darien katakan tidak dapat diterima akal sehatnya. Shine tahu Darien berbohong. 


"Begitukah?" tanya Shine memastikan. Memastikan jika Darien akan kembali melanjutkan kebohongannya. 


Shine bukan manusia bodoh yang mudah ditipu. Shine paham betul dengan apa yang terjadi. Darien mencari Katarina. 


"Percaya padaku Shine. Kau harus mengerti sayang, kita memiliki batasan dalam sebuah janji." 


Darien menarik pinggul kecil Shine. Memangkas habis jarak di antara mereka, lalu mengusap lembut kepala gadis itu.  Tidak akan Darien biarkan Shine beranjak jika masalah ini belum diselesaikan. 


"Aku akan mencoba mengerti jika kau berjanji padaku?"


Darien mengangguk  "Apa?"  tanyanya.


Shine menarik dalam udara panas, lalu menghembuskan secara lembut. Manik matanya masih menatap Darien. Mencari celah untuk melihat kejujuran pria itu. Tapi kosong, bola mata itu terlalu kosong untuk dibacanya. Darien seolah menyelimutinya dengan sekat hitam yang tidak kasat mata.


"Jangan melukaiku dengan berbohong. Jangan mengingkari janjimu. Jangan menjalin kisah bersama gadis yang ku kenali, atau gadis yang berada di dekatku. Jalinlah hubungan bersama gadis lain." 


Hanya itu.  Hanya itu saja. Shine mengusap sesaat pipi Darien. Lalu secara peralahan menurunkan kedua tangannya, bersama dengan retaknya dinding di dihatinya. 


Kini tidak ada lagi daya bagi Shine untuk mempertahankan kepercayaan dirinya. Shine tidak memiliki wajah lagi untuk bertemu dengan para sahabatnya. Jadi biarkan saja rasa itu terkubur jauh dan tidak terkenali. Biarkan wajah sendu dan luka ditanggung oleh dirinya sendiri. 


Shine sadar, ia memang terlalu naif. Ia terlalu percaya diri menganggap Darien akan membalas cintanya.  Bodoh. Tidakkah dirinya terlalu egois? Ia memang pantas menerima semua ini.


Di tempatnya duduk, Darien membeku. Seluruh organ di tubuhnya terasa mati. Hanya jantungnya saja yang berdegub dengan debaran yang tidak normal. Entah karena apa, yang jelas Darien tidak tahu. 


Namun kalimat terakhir Shine mencubit sudut-sudut hatinya. Menciptakan denyutan yang begitu menyakitkan. Tatapan keduanya masih terkunci. Tidak ada satupun yang beranjak, karena mereka membiarkan angin membawa kata dalam hati, dan menebarnya di lautan lepas. 


Ketika kelak pria dengan sejuta pesona itu mewujudkan permintaannya, maka Shine akan berhenti. Ada kalanya sesuatu yang bukan untuk kita, tidak bisa kita miliki. Cinta yang datang ketika gerbang itu terbuka hanyalah semu yang terbalas. Mungkin dentang akan bernyanyi mencemooh kebodohannya, namun Shine tidak perduli. 


Tanpa Shine sadari,  gadis di balik daun pintu ikut tersenyum pedih.  Ternyata mereka sama-sama gadis bodoh yang tidak berguna.





*****




Kebiasan selalu menjadi awal dari kehancuran sebuah cerita. Tidak semua cerita akan berakhir dengan kebahagiaan. Waktu bukanlah hal yang mudah untuk dilewati. Terutama jika luka ikut berperan dan tawa justru pergi meninggalkan. Mereka tidak lagi sama. Persahabatan hanya seperti kata pelengkap yang tidak berarti. 


Tapi hari ini, setelah satu bulan Darien hanya diam, Shine tidak menyapa, Mica selalu menjauh, dan Katarina menjadi sosok gadis yang bisu dan tuli, pada akhirnya mereka memilih berkumpul. Memenuhi meja petak yang tidak terisi apapun. 


Colio adalah saksi persahabatan mereka. Musim panas belum berganti. Mica memilih tidak bicara. Entah mengapa mendadak ia merasa akan terjadi hal buruk pada hari ini. Ada Shine di sisinya, tetapi Darien beserta Katarina duduk bersisian. Keduanya sengaja meminta untuk bertemu, karena dua minggu belakangan Shine berusaha untuk semakin menjauh. 


Dan mau tidak mau Mica harus berusaha membujuk Shine yang selama ini menjadi patung tidak bernyawa. Meskipun awalnya gadis itu menolak, tetapi beruntung gadis itu kini ada bersamanya.


"Apa yang ingin kalian sampaikan pada kami?" tanya Mica. 


Ia memilih membuka suaranya. Suasana yang sepi membuatnya merasa seperti sedang berada di sebuah pemakaman. Dan itu mengerikan. Mica juga cukup kesal, ketika kedua manusia yang membuat acara itu justru asik menikmati kebungkaman. Apa mereka tidak tahu betapa sulitnya membujuk Shine. 


Darien yang pertama kali merespon. Pria itu menghembuskan nafasnya kasar, lalu memandang sosok yang dirindukannya. Tapi nihil. Sepanjang ia menanti, tidak ada senyum yang tercipta untuknya. 


"Aku akan bicara. Tapi bisakah kau memandangku, Shine? Aku bukan sampah yang menjijikkan, dan kita juga tidak memiliki masalah."  


Darien melontarkan kalimat itu begitu saja. Membuat Katarina dan Mica menatap dengan tidak percaya. Selama dua minggu terakhir Shine memang selalu menghindari Darien. Bahkan ketika pria itu mencoba mendekat, Shine akan dengan segera pergi menjauh. 


Hanya Mica yang mengetahui apa yang terjadi kepada gadis itu, karena memang dirinya lah yang memeluk tubuh ringkih itu, ketika Darien melukainya.


"Shine."  tegur Darien lagi. 


Namun Shine tetap tidak bergeming. Telinga dan hatinya telah ditulikan untuk mendengar suara itu. Sekalipun ia mendengarnya, Shine tetap tidak berniat untuk menjawab. Biar saja Darien murka, karena sejak awal Shine memang tidak berniat untuk datang ke tempat ini. 


Shine tahu apa yang sudah terjadi. Ia juga mengetahui apa yang akan di sampaikan oleh pria kesayangannya itu. Entah Darien menyadarinya atau tidak, desas-desus itu telah sampai ke telinganya. 


Tapi Shine selalu berharap semua itu hanyalah kebohongan belaka, sampai Darien memintanya bertemu. Shine menahan air matanya. Darien benar, mereka tidak memiliki masalah apapun. Bahkan sejak hari pengakuan itu pun hubungan mereka tetap baik-baik saja.


Hingga hal itu terjadi. Tanpa Darien ketahui, ia telah membuat Shine hancur disaat yang salah.


 Shine benci Darien.


"Gerania Shine!!" 


"Kecilkan volume suaramu. Kau akan membuatnya menangis." tegur Mica. 


"Aku tidak bicara denganmu. Aku bicara dengannya." 


"Tapi kau bisa menggunakan bahasa yang lebih halus, Dar." 


"Aku akan bicara lebih baik, jika saja sejak awal dia mau memandangku. Tapi apa yang dia lakukan? Dia terus saja menghindariku.  Aku bukan sampah, Mica." 


"Tidak ada yang mengatakan kau sampah." 


"Tapi Shine mempelakukan aku seperti itu." 


"Kau,—" 


"Shine? Apa kau akan terus diam? Kau akan membiarakan aku dan Mica terus berdebat?" 


Katarina masih belum bicara. Mica memandang tajam Darien, lalu meraih jemari Shine dan menggenggamnya erat. Getaran tubuh kecil itu begitu kuat. Mica bahkan bisa merasakannya tanpa harus memeluk Shine. Brengsek! Darien memang bajingan. 


Tapi dirinya juga bodoh. Seharusnya ia memang tidak pernah membawa Shine ke tempat terkutuk ini. Seharusnya Mica tahu Shine belum siap untuk bertemu Darien maupun Katarina. Isu-isu murahan yang menyebar memang tidak Mica perdulikan. Tetapi tidak dengan Shine. Gadis itu bahkan terus saja menyangkalnya.  


Jadi siapa yang sebenarnya salah saat ini?


"Aku mendengarmu, bicaralah." lirih Shine. 


Seperti bola api kemarahan. Shine muak dengan semua perdebatan itu. Shine muak dengan Darien. Dan Shine ingin segera beranjak pergi. 


Darien tertawa sinis mendengar jawaban tanpa minat itu. Shine memang sangat keras kepala. Dan Darien benar-benar kesal menghadapinya. "Aku membutuhkan bola matamu Shine, bukan hanya suaramu." Jawabnya tegas. Tapi sekali lagi, hanya udara yang menanggapinya. 


"Apa aku memiliki kesalahan padamu Shine? katakan padaku. Tidakkah kau tahu betapa sakitnya aku menerima sikapmu ini?!" 


Pada akhirnya emosilah yang tidak mampu untuk dikendalikan. Shine begitu egois pada hatinya. Darien semakin membesarkan volume suaranya manakala Shine tetap tidak mau bicara. 


"Shine aku bicara kepadamu?!" jeritnya marah. 


Pria ini bahkan tidak perduli sikutan Katarina pada lengannya. Darien juga tidak perduli pada tatapan mata Mica yang begitu marah. 


Yang Darien inginkan saat ini hanya satu. Manik mata Shine. Tetapi gadis itu begitu jahat padanya. Darien membiarkan satu tetes air mata lolos dari pelupuk matanya. Darien tidak perduli jika orang-orang mencemooh kerapuhannya. Ia hanya ingin mata yang selalu dirindukannya itu mau memandangnya, meski hanya untuk sesaat. 


Tidakkah Shine merasakan kerinduannya? Darien rindu. Sangat-sangat merindukan gadis itu, hingga bahkan rasanya ia ingin mati jika Shine tidak juga menatapnya. Darien tidak tahu apa kesalahannya. Semua baik-baik saja, sampai dua minggu yang lalu.


Di balik kebungkamannya, Shine menarik setiap ujung bibirnya. "Katakan padaku Dar. Katakan padaku jika kau telah menepati janjimu?" 


Lalu sedetik kemudian, Shine mengangkat wajahnya. Membiarkan netra Darien menangkap kehancurannya. Membuat Katarina merasa tidak bernapas dan bergetar sakit di tempat duduknya.


"Jangan diam. Ku mohon katakan padaku jika kau sudah menepati janjimu." 


Ya, katakan padanya. Di akhir kekuatannya Shine menyerah dalam isakan. Ia memang bodoh. Ia membiarkan luka kembali menyelimuti kesadarannya dan mengukungnya dalam kesedihan. 


Biar saja kedua manusia itu tahu keadaanya. Bukankah ia sudah memilih untuk berpura-pura bodoh? Tapi Darien memaksanya. 


Jadi kini biarkan dirinya menagih janji di atap sekolah.


"Hey, hey, hey, bukankah kau sudah berjanji padaku untuk tidak menangis lagi? Diamlah Shine, kau merusak acara kita."  bujuk Mica. 


Mica segera membawa Shine ke dalam dekapannya. Menenangkan gadis itu, agar tidak semakin histeris, atau Darien akan menghancurkan semuanya. Pertengkaran ini bisa menjadi lebih dasyat. Shine yang marah bukanlah hal yang baik untuk ditentang. Dan jika masalah ini masih terus dilanjutkan, maka Adam akan ikut turun tangan.  Itu akan sangat buruk. 


Sementara itu, Darien mematung. Tidak ada satu pun kata yang terlontar dari bibirnya. Ia tidak bisa mengelak. Dan tangisanya semakin memilu saat menyadari kesalahannya.  


Katarina sendiri hanya mampu menangis tanpa suara. Benar-benar seperti keledai yang bodoh.


"Pergilah menjauh Darien. Jika waktu adalah hukuman untukku, maka kau adalah pengkhianat di mataku."  


Bagai terhempas ke dalam lautan, baik Darien, Katarina dan Mica menekan dada mencari udara. Kalimat itu jelas ambigu, namun perintah yang terlontar bagai pisau yang merobek relung hati. Darien menatap Shine tidak percaya. Betapa jahatnya gadis itu? Ia memang salah menjalin hubungan dengan sahabatnya sendiri yang juga sahabat baik Shine, setelah Shine menyatakan perasaanya. Tapi bukankah gadis itu hanya tengah bermain-main?


Haruskah Shine mengatakan dirinya seorang penghianat?


Katarina menangis tergugu. Ia jelas mengerti siapa yang dimaksud oleh gadis mungil itu. Tapi apa lagi yang bisa ia perbuat? Maaf bukan jalan penghuhung. Shine benar-benar membencinya. Bahkan setelah ini Katarina yakin ia akan kehilangan gadis manja itu. 


"Shine, kau salah. Aku bisa menjelaskan semuanya." 


"Aku membencimu Darien. Sangat membencimu." 


"Shine, ku mohon dengarkan aku. Aku,—"


"Jangan lanjutkan Darren. Shine dalam keadaan yang tidak baik. Aku akan membawanya pulang." 


Mica menahan ucapan Darren, lalu dengan cepat mengangkat Shine dan membawanya pergi. Percuma saja Darrel melakukan pembelaannya. Shine terluka terlalu dalam. Mengajaknya bicara hanya akan membuat Shine semakin tidak terkendali. 


Jika Darien hanya ingin menyampaikan kata maaf atau menjelaskan duduk perkaranya, maka itu tidak perlu.  Sesuatu yang hanya membenarkan tindakannya hanya akan membuat Shine semakin sakit hati.  Dan Mica tidak bisa  membiarkan Shine semakin terluka.




Reality (Part 7)

 Kisah ini, apa akan seperti ini? Bantu aku meski hanya sebuah jawaban. 


─Shine




***************************************






Dalam sebuah kehidupan ada ikatan dimana bukan hanya saudara atau keluarga yang dapat menjadi teman dalam kesendirian. Sahabat adalah saudara yang tidak sedarah. Sebagian orang mengatakan daun tidak selamanya dapat mengantikan tangkai. Atau pun akar menggantikan benih, tetapi hati lebih dari sekedar cinta. 


Mungkin ketika lisan tidak mampu menyerap makna, maka untaian akan terasa baik dibalik sebuah senyuman. Apa yang pernah ia katakan? Mencintai dan dicintai, itu hanya sebuah harapan.  Hari ini semua akan menjelaskan setiap rasa yang tertuang. Meski jika luka dan tawa tidak mampu memastikan, Shine tetap melangkah tenang keluar dari kantin sekolah. 


Matahari bersinar dengan terik. Gadis ini sedikit menikmatinya. Musim panas memang menggerahkan, namun angin yang berhembus dapat sedikit menyegarkan pori-pori. Batang-batang pohon juga terlihat indah. Ada beberapa kuncup bunga nampak layu tidak berdaya berkat terpaan sinar matahari.


Tiga minggu nyatanya menjadi waktu yang panjang bagi pemulihannya.  Shine bahkan yakin ia melewati akhir musim penghujan begitu saja. Kini air akan terasa membakar bila terlalu lama terkena terpaan matahari. 


Shine menyusuri koridor yang sedikit riuh berkat lontaran-lontaran tawa para murid perempuan. Sesekali gadis ini mengalihkan pandangannya. Bola basket memantul membentuk bunyi gema yang berbeda. Seperti permainan para amatir pemukul drum. Tidak ada Mika atau Darien, tapi Shine yakin kedua pria itu tengah asik menikmati panas di atap tertinggi.



"Selamat iang Shine," 


Shine tersenyum kecil, lalu menghentikan langkahnya sejenak untuk menanggapi sapaan beberapa anak laki-laki yang mencoba menarik perhatiannya. 


"Siang," balasnya. 


"Woah, kau semakin cantik saja."


"Benarkah? Terimaksih jika begitu." ucap Shine, lalu kembali melanjutkan langkahnya. 


Kejadian beberapa minggu yang lalu beruntung tidak tersebar. Shine yakin ketiga sahabatnya yang telah meredam bibir-bibir iblis yang bisa saja menghancurkan nama baiknya. Dan Shine benar-benar bersyukur atas hal itu. Dengan begitu traumanya dapat pulih dengan cepat. 


Berbelok ke kiri, Shine perlahan menaiki tangga menuju atap. Beberapa hari terakhir Darien sedikit berubah dan menjadi jarang mengunjunginya lagi. Berbeda dengan Katarina dan Mica yang sesekali datang melihat keadaannya. 


Shine menghela nafas. Bolehkah ia jujur? Ingin sekali rasanya Shine melukai dirinya sendiri saat mengingat kenyataan jika tubuhnya telah ternoda. Namun sebagaian hati kecilnya menghalangi. Ia takut, takut jika kematian adalah pilihan yang salah. Shine hanya berpura-pura bersikap tegar demi senyum dibibir renta Merry. 


Dokter mengatakan ia harus tenang untuk menghilangkan rasa traumanya. Dan Shine berusaha untuk kembali ceria demi Merry. Mica selalu menyemangatinya. Shine merasa beruntung pria itu rela berada di sisinya sepanjang waktu, meski bahkan Shine tidak menanggapi kehadirannya dengan perasaan yang gembira. 


Masih melangkah lambat, sesekali Shine tersenyum kecil membalas sapaan para junior. Tingkat dua membuatnya sedikit dikenal.Terlebih ia juga menjadi salah satu sahabat dari dua pria tampan yang menjadi incaran di sekolah ini.  Tapi terkadang Shine mengutuk level ketampanan Darien yang berada di atas rata-rata, karena itu sangat mengganggu. Terutama ketika para gadis berusaha untuk mencuri perhatiannya. 


Shine tersenyum samar, saat mengingat kembali percakapannya dengan Mica.   


"Jangan sampai kau menyesal, jika pada akhirnya gadis lain memiliki Darien lebih dulu." 


Mica mengatakan hal yang benar.  Dan kalimat terakhir pria itu sukses membuat Shine membulatkan tekadnya. Ia berdiri tegap di depan pintu atap sekolah, lalu membukanya dengan sangat perlahan. 


Shine mengakuinya. Jika seseorang memiliki Darien, mungkin ia akan meneguk racun rasa vanilla, lalu mati karena frustasi. 


Dariennya yang tampan. Shine tidak akan pernah rela melihat pria itu bersama gadis lain. 


"Darien," panggil Shine. 




*****





Jika di atap sekolah Shine menguatkan hatinya untuk menemui Darien, maka di tempat ini Katarina bergetar menahan malu. 


Katarina menutup matanya sesaat. Ia sedikit menyesali tindakannya yang dengan lancang mengungkapkan perasaan tanpa memikirkan perasaan pria itu. Dengan kepala tertunduk Katarina berusaha menyembunyikan rona merah di kedua pipinya, dari manik yang terus menatapnya. 


Taman belakang sekolah begitu sepi. Rindangnya pepohonan membuat tempat ini menjadi salah satu tempat favorite mereka dikala kantuk melanda. 


Pria itu masih berdiri dengan raut wajah datar. 


"Kau menyukaiku?" tanyanya. Mica mengerutkan dahinya tidak mengerti.  Ia anya menganggap Katarina sebagai seorang sahabat, tidak lebih. Dan sejauh yang Mica ingat, ia tidak pernah sekalipun memberikan perhatian lebih kepada Katarina, sehingga gadis itu bisa jatuh hati kepadanya. 


Namun, sesaat kemudian Mica menyadari kebodohannya, ketika pundak kecil itu bergetar.  Katarina tidak pernah terlihat serapuh itu. 



"Maaf, aku hanya ingin memastikan." ucap Mica kembali. Berharap Katarina tidak menyalahartikan pertanyaannya yang seolah mencibir. 


Katarina mengangkat kepalanya cepat, lalu menggeleng. "Tidak, tidak. Aku benar-benar menyukaimu." jawabnya gugup. 



Tidak alasan baginya untuk kembali ragu.  Ia sudah melangkah terlalu jauh, jadi ia hanya harus berusaha untuk menyelesaikan semuanya. 


"Aaa, jadi aku tidak salah." lirih Mica. 


Mica memalingkan wajahnya. Membuang nafas dengan susah payah. Ini gila.  Ia hanya menyukai Shine. Tapi kenapa Katarina juga memiliki perasaan yang sama kepadanya? Mica mengerang dalam hati. Ia kemudian menarik napasnya lambat, mencoba untuk kembali tenang. 


Bagaimana pun juga ia bukan tipe pria yang suka mempermaikan hati seseorang.  Dan Mica tidak ingin melukai perasaan Katarina dengan cara berpura-pura menyukai gadis tersebut, hanya karena rasa kasihan.


Jadi dibanding memberikan harapan, Mica memilih untuk bersikap terbuka. 


"Maaf Kat, tapi aku mencintai Shine."  jawab Mica jujur.  


Baginya, itu adalah jalan yang terbaik. Ia tidak mungkin bisa mencintai Katarina.  Sekali pun seseorang memaksanya, hatinya hanya miliknya. Dan seberapa keras pun Mica berusaha membunuh perasaannya, Shine tetap tidak pernah pergi dari hatinya. 


"Jadi, — kau menyukai Shine?  Aaa, maafkan aku jika begitu."


Mica mengepalkan tangannya. Dari getar suara lembut itu Mica bisa memastikan jika Katarina sedang menangis. Dan Mica benar-benar mengutuk perilaku jahatnya, saat mata indah itu mengalirkan butiran-butiran lahar kepedihan. 


Katarina berusaha mengabaikan apapun yang Mica katakan. Tidak perduli jika sekalipun kelak perduli pria itu akan mencemoohnya, Katarina tetap memandang lensa hitam yang telah menaklukkan hatinya tersebut. 


Berharap seseorang bisa menolongnya dengan jika pendengarannya terganggu. Atau mengatakan kepadanya jika Mica hanya menipu dirinya. 


"Ya, maka tolong lupakan aku. Lupakan perasaanmu." 


Namun suara yang menjawab permohonannya mendengung begitu keras. Katarina menahan napasnya. Nada yang menyendu bersama angin yang berhembus membuat pertahanannya rubuh. Ia terperosot jatuh ketika Mica pergi begitu saja.  Air mata yang mengalir bukan lagi menjadi duka baginya.  Katarina benar-benar merasa terluka. Keadaan dimana nyatanya Tuhan lebih memilih mengujinya membuat Katarina sadar ia tidak pernah terlihat. 


Di tempat ini mendekati awal musim gugur, angin membawa pergi seluruh hatinya. Meninggalkan kata yang tidak terucapkan, dan meninggalkan rasa yang tidak terbalaskan

Reality (Part 6)

 Sebuah kisah lebih baik dari tutur kata yang terdengar. Biarkan seperti ini, karena aku menikmatinnya. ─ Darine




***************************************






"Anak-anak tolol!" teriak Shine lantang. Shine masuk ke dalam ruang kelasnya, dan membanting begitu saja tas yang sejak tadi ia sandang. 


"Wow, wo, slow girl. Ada apa denganmu?" 


Katarina mengernyit bingung. Shine terlihat mengerikan di matanya dengan rambut acak-acakan dan kemeja yang basah berkat keringat yang merembes. Ini bahkan masih terlalu pagi, namun gadis itu sudah tampak mengenaskan. 


"Kondom dan pil? Sinting! Apa mereka tidak memiliki pikiran?!"


"Ck, Ada apa denganmu? Kenapa kau marah-marah?" 


"Brengsek!!"


"Kau gila? Apa yang kau katakan." tegur Katarina. 


Ia menatap Shine marah. Yang benar saja! Jika Darien dan Mica mendengar itu Shine mungkin tidak akan selamat. Darien bisa saja memarahinya semalam suntuk, dan Mica akan dengan senang hati menjelaskan bahwa kalimat-kalimat itu sangat tidak pantas keluar dari bibir Shine yang memiliki sifat lembut dalam hal apapaun. Jadi Cukup aneh ketika Shine justru mengucapkan kalimat tersebut dengan raut wajah tidak biasa. 


Shine membuang napasnya kasar, lalu merangsek duduk masih dengan emosi yang meluap-luap. "Itu bukan kalimatku! Anak-anak bodoh itu yang mengucapkannya." ucapnya kesal. Gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, kemudian menangis terisak. 


Katarina terkejut.  "Hey, kenapa menangis Shine? Apa yang mereka lakukan? Apa mereka menyakitimu? Katakan padaku.". Melihat Shine tidak merespon, Katarina segera menarik kursinya mendekati, lantas memeluk Shine dengan erat. 


Ruang kelas masih cukup sepi karena memang masih begitu pagi. Hanya beberapa murid wanita yang terlihat. Beberapa orang nampak memperhatikan Shine, namun yang lainnya lebih memilih berbisik-bisik.  Katarina mengusap lembut punggung Shine mencoba menenangkan gadis itu, karena Shine tidak akan perrnah mau bicara jika tangisannya masih belum usai. Namun saat tubuh mungil tersebut bergetar Katarina justru semakin merasa cemas. Bagaimana jika seseorang mencoba melukai Shine?  Adam mungkin akan memaki mereka semua setelah ini, sementara ia bahkan tidak mengetahui apapun. 



Pagi ini ia memang terpaksa pergi lebih dahulu, karena sang ayah memintanya untuk berkunjung ke perusahaan. Meski tidak masuk akal Katarina tetap menyanggupi dan datang tepat di pukul lima pagi, sehingga Katarina terpaksa membatalkan janjinya kepada Shine untuk berangkat sekolah bersama.


"Shine, jangan menangis lagi." bujuk Katarina. 


"Kat,—" Shine mencoba bicara, namun isakannya membuat tenggorokannya tercekat. Rasa takut kembali menyergap perasaannya, membuat Shine kembali panik dan menangis keras. 


"Ada apa Shine? Jangan membuatku takut."


"Mereka,— mereka menyentuhku. Mereka melakukannya Kat. Aku harus bagaimana?" 


"Apa???" jerit Katarina. Katarina menggebrak meja. Ia benar-benar terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja Shine katakan. Otaknya mulai berpikir yang tidak-tidak, tetapi sebisa mungkin Katarina mengelaknya. 


"Tolong aku Kat," bisik Shine lirih. 


Katarina membeku. Jantungnya berdebar kuat saat Shine mengangkat wajahnya dan menatapnya sakit. 


"Apa yang mereka sentuh?" Tanya Katarina. Nada suaranya menyusut signifikan. Katarina mengusap lembut rambut hitam Shine, mengabaikan tingkahnya beberapa detik yang lalu.  Ia tidak peduli banyak mata kini memandang aneh padanya. Bagai Katarina Shine jauh lebih penting. Katarina kembali mendekap tubuh Shine. Ia benar-benar menyesal membiarkan Shine berkeliaran seorang diri. 


"Kat, bagaimana ini? Aku takut mereka mencariku. Tolong aku." 


Masih dengan isakannya Shine membalas pelukan Katarina. Menatap gadis bermata cantik itu dengan pandangan memohon. Ia benar-benar merasa takut hingga tubuhnya bergetar kuat. Shine bahkan masih mengingat jelas bagaimana berandalan-berandalan itu menyentuh tubuhnya.


"Katakan, katakan padaku apa saja yang mereka lakukan. Berhenti menangis sayang, aku akan membunuh mereka." ucap Katarina bergetar. Pertahanannya runtuh membayangkan bagaimana ketakutannya Shine saat melawan pria-pria itu. Shine seoorang diri tanpa dia atau Darien, dan juga Mica. 


Melihat Katarina menangis, Shine kembali meloloskan isakannya.  Membiarkan bibirnya bergetar kuat, tanpa memperdulikan teman-temannya yang  semakin penasaran.  



Shine tidak menyangka hal itu akan menimpa dirinya di saat Darien atau Mica tidak berada di dekatnya.  Karena Katarina membatalkan janjinya,  Shine terpaksa memilih berangkat seorang diri dengan menyusuri jalan setapak yang sepi. Tadinya Shine hanya berpikir jika jalan tersebut akan memotong waktu yang ia perlukan, karena dulu Mica pernah membawanya melalui jalan itu.  Tetapi saat Shine memasuki jalan tersebut sedikit lebih dalam, beberapa pemuda menengah pertama mencegat laju langkahnya. Shine ingin melawan, namun ia mengurungkan niat itu saat bau alkohol menyerang penciumannya.  Para lelaki itu mabuk.


Merasa dalam bahaya Shine mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun belum sempat ia berlari, seorang pemuda lebih dulu menahannya dan menghempas kasar tubuhnya pada batang pohon yang keras. Mengukungnya dengan mencekal kedua tangannya.  Dalam keadaan cemas Shine hanya bisa melontarkan kalimat-kalimat kotor, sembari memikirkan cara untuk membebaskan diri. Tapi kungkungan tangan disekitar tubuhnya membuat Shine tidak mampu melakukan apapun. Lalu ketika seorang pemuda lain menyentuh dadanya, dengan kekuatan yang entah dari mana Shine menendang alat vital pria yang tersebut, lalu berlari secepat yang dirinya bisa.


Katarina menggeleng tidak percaya mendengar cerita Shine. Shine menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya, membuat Katarina sedih bukan kepalang. Katarina meraih kedua tangan Shine, lalu menghapus air mata sahabatnya itu yang tidak berhenti mengalir deras. 


"Katakan padaku siapa yang melakukannya?" 


Namun Katarina harus lagi-lagi terkejut ketika sebuah geraman menyela dengan begitu menakutkan. Di hadapannya Shine semakin bergetar dan menunduk ketakutan. Katarina memaling, detik berikutnya gadis itu menahan seluruh nafasnya ketika mendapati Darien dan Mica telah berdiri garang di balik punggungnya.


Tidak mampu menanggapi, Katarina memilih diam dan semakin mengeratkan genggaman tangannnya. Manik mata Katarina hanya mampu menatap takut manik mata Darien yang memerah murka seolah siap untuk membunuh seseorang. Sementara Mica belum bersuara, namun pria itu juga berdiri dengan wajah khas malaikat pencabut nyawa.


"Katakan siapa yang MELAKUKANNYA?!!" 


Shit! 


Katarina terlonjak terkejut mendengar teriakan itu. Beberapa murid juga memandang mereka dengan cepat lalu mengernyit tidak mengerti. 


Darien benar-benar mengerikan ketika murka. Mica berulang kali mengumpati sikap sahabatnya itu di dalam hati.  Detak jantungnya bergemuruh berkat hardikan bibir iblis Darien. Siapa yang tidak terkejut? Ia bahkan berdiri tepat di sisi pria tampan itu.


"Bicaralah Kat, atau kau akan melihat pria ini membunuh seseorang." 


Pada akhinya Mica mengangkat suaranya untuk menegur Katarina yang kembali memilih bungkam dengan menundukkan kepalanya. Jika hanya diam saja Darien akan semakin tak terkendali. Bertanya pada Shine juga hanya akan membuat gadis itu semakin ketakutan. Dan percayalah itu hanya semakin memancing tanduk siluman Darien mencuat keluar.


"Aku tidak mengetahui apapun Mica. Shine hanya mengatakan kepadaku, jika pemuda disekitar jalan setapak Aleumdaum,—"


"Brengsek!!!" 


Belum sempat Katarina menarik nafasnya untuk menenangkan diri, teriakan Darien sudah kembali menekan debaran jantungnya. Pria itu menerjang meja dan kursi dengan membabi buta. Membuat para murid lainnya memilih berlari keluar untuk menyelamatkan diri. Mica yang mencoba menenangkan justru harus menerima satu pukulan di pipi kanannya. 


"Darien stop!!" 


Katarina menjerit keras manakala Darien berlari keluar dengan cepat. Ia tahu betul tahu apa yang akan dilakukan pria tampan itu. Tidak ingin terjadi hal buruk cepat-cepat Katarina bangkit berdiri. Ia melepas genggaman tangannya pada Shine, lalu berlari mengejar Darien.


Mica mendengus melihat tingkah Katarina yang dengan polosnya berlari. Apa gadis itu berpikir bisa menenangkan Darien? Salah-salah juatru Darien melampiaskan kemarahanya kepada Katarina. Menenangkan seluruh emosinya Mica merenggangkan kepalan tangannya. Ketika mendengar isakan Shine, Mica beranjak mendekat lalu menarik Shine ke dalam pelukannya. 


Mica mengusap setiap helaian rambut Shine untuk memberikan rasa aman kepada gadis itu. Dan beruntung Shine bisa sedikit mengurangi isakannya.  Mica tersenyum sedih. Gadis dalam pelukannya itu adalah gadis yang dicintainya, lalu bagaimana ia harus bersikap? Mica tidak tahu. 


Mica ingin melakaukan hal yang sama seperti yang Darien lakukan. Tapi ia tidak mampu meninggalkan Shine seorang diri dalam trauma ketakutannya. Setidaknya jika ia tidak bisa menjadi pahlawan bagi Shine, ia bisa berguna dengan pelukannya. Setidaknya, rasa sayang yang yang dirinya miliki dapat tersampaikan dirasakan kepada Shine. Shine tidak perlu mengerti. Asalkan Shine merasa aman itu sudah lebih dari cukup bagi Mica. 


"Berhentilah menangis, aku ada disini. Ayo, aku akan mengantarmu pulang." Bisik Mica lirih. Mica mengangkat Shine, membawanya keluar tanpa memperdulikan tatapan bingung yang teman-temannya lemparkan. Biarlah. Tatapan itu tidak berpengaruh untuknya. Bagi Mica hanya satu yang ingin ia lakukan, yaitu menenangkan Shine dan membuat gadis itu merasa aman. 




******




Katarina terus berlari cepat. Dedaunan yang gugur di atas kepalanya tidak lagi dihiraukan. Kakinya seperti tidak merasakan letih meski peluh membanjiri dahi putihnya. Dari titik di dalam kelasnya, hingga kini ia telah berada dijalan setapak katarina masih berusaha menyusuri setiap tempat untuk mencari sosok sahabatnya tersebut. 


Sekali lagi gadis ini berbelok, menyusuri cabang kiri untuk membawanya menuju jalanan di sekitar perumahan Shine. Dan benar saja. Tepat di ujung sana, di bawah batang pinus yang besar Katarina menemukan Darien. Pria itu terlihat melayangkan pukulan bertubi-tubi pada seorang brandalan yang telah terkapar tak berdaya. 


"Darien berhenti! Apa yang kau lakukan dia bisa mati!" Teriaknya keras. 



Katarina berlari mendekati, lalu  menarik tangan Darien, mencoba menarik pria itu untuk menjauhi tubuh para brandalan itu. Namun emosi yang melingkupi hatinya membuat Darien menutup mata.  Darien melepas genggaman itu dan kembali menerjang tanpa ampun. Membuat Katarina berjengit terkejut, lalu dengan segera kembali mendekap Darien.


"Cukup Darien. Kau akan membuat nyawa pria brengsek itu melayang." ucap Katarina. Ia sedikit bergetar takut mendapati sahabatnya yang terlihat tidak biasa.  Darien begitu terlihat muka murka. Ada cubitan aneh yang merasuk ke dalam perasaanya ketika Katarina menyadari Darien seperti seorang kekasih yang tengah membalaskan rasa sakit gadisnya. Entah mengapa Katarina mendadak merasa tidak terima.


"Lepaskan aku Kat! Aku harus menghabisi mereka!!" 



Pria itu kembali berteriak keras.  Darien bergerak mencoba melepaskan diri, namun Katarina tidak membiarkannya begitu saja. Dengan kuat Katarina memeluk tubuh Darien. 



"Tidak, kau tidak boleh melakukan itu. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi seorang pembunuh." 


"Kat,"


Katarina menggeleng kuat, dan semakin memperkuat pelukannya. Darien mengerang frustasi. Ia berteriak keras menyalurkan rasa sesaknya. Namun sekali lagi Katarina tetap tidak bergeming. Darien benar-benar menyesal tidak menemani Shine.  Ia tidak bisa menerima pelecehan yang diterima gadisnya.Jika saja ia mendengarkan perintah Adam saat itu untuk menjemput Shine, semua ini tidak akan pernah terjadi. Kembali Darien berteriak lebih keras. Parasnya terlihat kacau dan jemarinya menarik helaian rambut seperti orang gila yang tidk terkendali.


"Tenanglah Dar, mereka sudah tidak berdaya. Apa kau tidak ingin menemui Shine?" 


Ada tetesan bening ketika hati itu tergores. Katarina menggigit bibirnya, ketika Darien mengabaikan keberadaannya. Katarina berdiri dihadapan Darien dengan menahan kedua lengan pria itu dalam genggaman tangannya.


Berbeda halnya dengan Darien. Aliran darahnya mendadak terasa tersumbat seperti tidak mengalir. Nama Shine yang terlontar dari bibir Katarina menyadarkan kebodohannya.  Darien mengacak rambutnya kasar. Bagaimana bisa ia justru meninggalkan Shine seorang diri tanpa menenangkan gadis itu terlebih dahulu. 


Bodoh.


Menatap para berandalan itu, Darien kemudian meludah sebagai perpisahan terakhirnya. Lalu tanpa banyak berpikir, Darien segera menarik Katarin membawanya menuju motor yang terparkir di ujung jalan setapak. 


Segala hal yang membuatnya hancur ditepisnya beberapa saat. Saat ini yang menjadi fokus utama Darien ialah segera tiba di kediaman Haichi untuk menenangkan Shine. Semenatara Katarina hanya diam tanpa berniat bersuara. Bibirnya tersenyum samar, miris mendapati kebodohannya. 


Bagaimana bisa ia merasa cemburu mendapati Darien begitu memperdulikan Shine. Bahkan hanya dengan menyebut nama Shine saja, Darien menghentikan semua kemarahannya. Bersamaan dengan terpaan angin yang menyentuh wajahnya, Katarina menyadari ada rasa tak kasat mata yang mencoba membuainya. 


Katarina merasakan hal yang sama seperti yang Shine rasakan. Darien. 





****






Ruangan bercorak putih ini masih sunyi meski suara di balik kaca jendela begitu berisik. Detakan pada jam sesekali menyadarkan Mica jika waktu masih terus bergerak. Pintu dan tirai gorden yang tertutup membuatnya merasa seperti sedang berada didalam ruang isolasi. Sesekali isakan masih terdengar lirih. Ada bubur dan susu chocolate hangat namun tidak tersentuh.


Nakas terlihat penuh. Berbagai macam buah disediakan bagi sosok gadis yang masih tetap meringkuk takut di balik selimut. Langit masih cerah, karena ini masih hari yang sama. Mica mencoba beranjak, menarik selimut lalu menatap iba Shine yang terlelap namun masih dengan sesekali mengisak. Beruntung Haichi berada dikedimannya. Meskipun pria tua itu juga cukup shock dan marah, namun Haichi masih mampu mengendalikan dirinya dan juga menenangkan Merry yang menjerit-jerit. Pria tua itu juga cekatan memanggil dokter setelah berhasil menenangkan putrinya, juga membujuk Shine untuk tidur sebentar.


Pintu berderit. Mica berpaling singkat. Ia sedikit menyungging senyum miris ketika Darien bergegas masuk bersama Katarina yang mengekorinya. Pria itu menggeser posisi Mica yang duduk di sisi Shine. Darien juga mengusap lembut setiap inci dahi Shine yang kembali berkerit ketakutan. 


Darien tampak berantakan. Cipratan darah terlihat kontras dengan seragam putihnya. Mica menundukkan kepalany.  Sepertinya Darien berhasil menjadi seorang pahlawan. 


"Bagaimana keadaaanya?" 


Mica mengangkat kepalanya untuk sesaat menghela nafas, sebelum akhirnya  melangkah mendekati Katarina yang hanya berdiri di ujung ranjang.


"Dokter sudah memeriksanya. Kondisi fisiknya baik-baik saja. Tapi, Shine sedikit tertekan dan,—"  Mica menghentikan sesaat ucapannya, lalu membuang napasnya kasar. 


"Shine juga trauma." lanjut Mica lirih. 


Mica dapat mendengar Darien kembali mengerang emosi. Kedua sudut bibir Mica bergerak. Wajar bukan? Pria itu menyukai Shine, sama seperti dirinya.


"Aku bersumpah akan mengirim bajingan-bajingan itu ke neraka." 


Tentu, bisik hati Mica dan Katarina. 


Shine segalanya bagi Darien. Geraman pria itu bahkan sudah menunjukkan betapa berartinya Shine di dalam hidupnya.  Katarina menatap sendu tubuh ringkih itu. Sejujurnya ia juga ingin berada di sisi Shine. 


Namun Katarina sadar, untuk saat ini hanya Darien yang Shine butuhkan. Katarina mengangguk samar. Ia hanya perlu bersabar. Setidaknya esok hari banyak waktu yang dapat digunakannya untuk menghibur si mungil kesayangannya itu.


Sementara di tempatnya berdiri Mica mencoba sekuat mungkin menekan hatinya semakin ke dalam. Kemudian melangkah keluar, membiarkan udara mencemooh kerapuhannya. Pengecut.  


Harusnya ia juga bisa melakukan hal yang sama. 


Harusnya dirinya juga bisa menunjukkan rasa cinta itu.



Tapi,


Ia terlalu pecundang untuk melakukan sesuatu. Jika sudah begini hanya diam saja yang bisa dirinya lakukan.





*****




Matahari bersinar terang di atas kepala ketika manik lembut yang telah lama terpejam itu perlahan terbuka. Darien masih di posisinya, menatap awan dari balik jendela. 


Mica dan Katarina berada di lantai bawah untuk menenangkan Merry. Namun Darien memilih bertahan. Sejak tadi ia tidak bergerak satu inci pun. Jantungnya masih bergemuruh keras. Rasa sesaknya juga belum berkurang, meski nafas Shine telah berhembus dengan normal. 


"Mom." 


Darien memaling wajahnya, lalu segera menarik Shine ke dalam pelukannya. Gadis itu masih bergetar dalam tangisannya. Mata kecil itu terbuka, namun kosong seolah tanpa jiwa.


"Berhentilah menangis sayang, aku ada di sini." Bisik Darien.


Darien mengepalkan tangannya di balik punggung Shine. Hatinya tertikam keras ketika gadis itu semakin mengisak dan memeluknya begitu erat. Ini salahnya. Darien semakin mengutuk keteledorannya. Jika saja ia menjalankan perintah Adam. Jika saja, maka hal ini tidak akan pernah terjadi. Bagaimana pantas ia mencintai Shine, jika menjaganya saja ia tidak bisa. 


"Tapi kau tidak ada. Aku memanggilmu, tapi kau tidak datang. Aku takut. Mereka,— mereka menarikku Darien. Mereka tidak mengizinkan aku pergi." 


Semakin nafasnya menyesak, semakin kuat cengkraman pada dadanya. Ingatan yang berputar-putar membuat seluruh tubuhnya lemas. Shine menutup matanya kuat. Ia disentuh bukan dengan pria yang dicintainya. Para pria brengsek, Shine membencinya.


"Maafkan aku Shine. Jangan takut lagi, aku sudah menghabisi mereka." 


"Mereka jahat padaku."


"Maaf, aku benar-benar minta maaf Shine. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu sendirian lagi."


Darien menekan kuat emosinya yang kembali menguap, sekalipun amarah itu mendesak untu keluar. Hanya saat ini Darien berjanji. Karena setelah detak merubah warna, Darien pasti akan menghabisi para pria brengsek itu dengan kedua tangannya. 


Sampai kapan, Darien tidak akan pernah memafkan brandalan-brandalan sinting yang telah berani menyentuh gadis kesayangannya. 


"Aku sudah benar-benar kotor. Mereka melecehkanku, Darien." 


Ya Tuhan, Darien benar-benar tidak kuat mendengar Shine yang tergugu sakit. 


Setiap kalimat yang terlontar dari bibir tipis itu, Darein merasa ingin mati saat itu juga. Cengkraman ketidakberdayaan membuatnya merasa tidak pantas hidup. 


"Tidak, tidak. Jangan berkata seperti itu Shine. Kau masih sama cantik. Kau tetap Shine yang aku sayangi. Jadi jangan berpikiran yang tidak-tidak. Kau dengar?!" jawab Darien. pria itu dengan cepat menangkup wajah Shine, lalu mengarahkan pada lensa hitamnya. 


Darien menatap geram manik mata Shine, namun jemarinya mengusap perlahan setiap tetes yang mengalir. Hatinya luar biasa terluka mendengar kenyataan sakit yang diucapkam oleh Shine.  Tidak. Darein tidak perduli pada sebuah noda. Namun kenyataan trauma yang didapat Shine menghancurkan kepercayaan dirinya. Melihat Shine yang begitu frustasi, Darien bisa memastikan dia siap menjadi seorang pembunuh jika itu bisa membuat Shine kembali tersenyum.


Tapi bagaimana dengan Shine? Tanpa sosok itu ketahui, sebuah pikiran melalang buana mencari kejujuran. Sudah berapa banyak kehangatan yang Darein berikan? Sudah berapa lama Darein menemaninya? Sudah seberapa lelah Darien menjaganya? 


Shine menggeleng kecil. Ia tidak tahu. Shine ingin mempercayai kalimat Darien, namun hatinya tidak bisa.  Kenyataanya tidak ada manusia bodoh yang mau menerima gadis kotor seperti dirinya? Tidak ada.


Shine tidak mau Darien kesusahan karena menjaganya.  Dan Shine tidak mau menuntut siapa pun bertahan menemaninya. Tidak meskipun itu Mica dan Katarina. Mereka sepantasnya bebas tanpa terkungkung pada dirinya yang hina. Biar saja bisu yang menjadi temannya. Karena jika saja sang tabir mengungkapkan jati diri, ia mungkin akan diam dalam kesendirian. 


Tidak ada yang tahu keduanya sama-sama terluka. 


Di balik daun pintu yang tertutup dua pasang mata menatap sendu, namun sekali lagi dengan arti yang berbeda.



"Ingin ku antar pulang?" tawar Mica. 


Katarina menggeleng. 


"Aku masih ingin di sini. Shine belum terluhat baik." 


Benar, Shine masih terlihat terguncang. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Darien berada di garis terdepan. Tentu saja pria itu tidak membutuhkan mereka. 


"Ada Darien di sana. Aku yakin Shine lebih membutuhkannya dibanding kita berdua. Lagipula ayahmu akan merasa cemas jika mendapat kabar kau membolos sekolah." bujuk Mica. Ia berharap Katarina mau merubah pikirannya. Karena Mica tahu betul Darien tidak akan mengizinkan mereka menemani Shine, meski hanya untuk satu malam.


Bagi Darien tugas untul menjaga Shine hanya miliknya seorang. Mica tidak keberatan dengam itu, hanya saja Katarina menjadi lebih sulit berada di dekat sahabatnya sendiri. Darien seolah memberi jarak diantara kedua gadis tersebut. 


"Tidak Mica. Aku akan menghubungi ayah nanti. Tapi aku tidak akan pulang." 


Tetapi Katarina juga bukan gadis yang mudah menyerah. Mica mengerang melihat kekeraskepalaan gadis cantik itu. Katarina hanya membuang waktunya saja, karena Darien pasti akan mengusir mereka segera. 


"Aku tahu Darien tidak akan mengizinkan aku tidur bersama Shine, tapi setidaknya,— aku ingin Shine tahu jika aku akan selalu berada di dekatnya. Aku tidak akan meninggalkannya seorang diri."  lanjut Katarina. 


Mica terhenyak. Ia bisa melihat di pelupuk mata gadis itu cairan bening menumpuk siap untuk terjun bebas. Katarina menundukkan kepalanya. Lalu seperti yang sudah Mica pikirkan, gadis itu mengisak kecil. 



"Ck, kenapa kau justru menangis?" decak Mica. 


"Aku tidak mau pulang, Mica." 


"Tapi kau tidak perlu menangis seperti itu. Bagaimana jika Shine melihatnya? Shine busa berpikir yang tidak-tidak." 


"Habisnya, kau terus memaksaku. Kau membuat aku khawatir, jika kau akan benar-benar membawaku pulang." 


Mica menghembuskan napasnya lelah. Katarina selalu mampu membalikkan setiap ucapannya begitu mudah. Sementara Mica hanya bermaksud ingin mengantarkan gadis itu pulang,  agar Katarina bisa beristirahat. Setidaknya ketika ayahnya kembali Katarina berada di dalam rumahnya, jadi ayahnya tidak akan berpikir yang tidak-tidak. Lagi pula berada di tempat ini atau tidak semua akan tetap sama saja. Darien tidak akan lagi mengizinkan mereka masuk ke dalam kamar Shine, karena pria itu akan berada di sana selama yang ia mau. 


Akan tetapi Katarina justru bertingkah seperti dirinya memaksa pulang kekasihnya sendiri. Mica jadi merasa bersalah, terlebih ketika Katarina menangis. 



"Aku tidak memaksa Katarina. Aish, kau membuatku pusing."  keluh Mica, lalu berjalan  ke arah sofa dan membanting tubuhnya begitu saja. 


Katarina mendengus, namun tetap mengikuti Mica duduk di sana. 


"Maksudmu, aku semacam virus? Begitu?" 


Mica mengernyit. "Apa hubungannya?" tanyanya tidak mengerti. Lalu meringis, saat merasakan pukulan telapak tangan Katarina di atas pahanya. 


"Kau yang mengatakan aku membuat kepalamu pusing. Itu berarti kau menuduhku menyebarkan vurus bukan?!" gerutu Katarina. 


Mica menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Otak mungkin cerda ketika mempelajari sesuatu, tapi kau bodoh saat memahami maksud ucapanku."


 Katarina mencebikkan bibirnya. 


"Kau saja yang tidak mengungkapkannya dengan benar. Jadi wajar jika aku salah paham." 


"Ya ya ya, baiklah. Ayo hentikan ini aku mulai lapar."


"Makanan saja yang kau pikirkan. Kenapa kau tidak pulang saja?"


"Setidaknya aku tidak menangis, lalu marah-marah tidak jelas seperti bibi-bibi di pasar. Lagipula ini rumah Shine, bukan rumahmu. Jadi kau tidak bisa mengusirku."


takkk


"Aish, kau pikir itu tidak sakit?!" 


"Rasakan! Apa itu belum cukup? Aku bisa melakukan yang lebih baik dari itu, jika kau mau." 



Mica menatap Katarina kesal, lalu merendahkan tubuhnya untuk mengusap kakinya yang baru saja diinjak gadis itu dengan tidak manusiawi. Katarina sialan. Mica memandang sedih ibu jari kakinya yang memerah berkat tekanan sepatu jelek sahabatnya itu. 


"Benar-benar gadis kasar. Jika sikapmu seperti itu terus, laki-laki bisa saja tidak mendekatimu." jawab Mica sinis. 


Katarina membelalakkan matanya. "Kau menyumpahiku?!" teriaknya. 


Mica yang sadar Katarina bersiap menginjak kakinya kembali segera melonjak jauh. Hampir, hampir saja kakinya terinjak, beruntung Katarina oleng dan terjatuh ke atas sofa. Mica ingin menertawakan kebodohan gadis itu, namun ia batalkan saat melihat wajah Katarina kembali menyendu. 


"Sudah ku katakan kau harus beristarahat sejenak. Kau juga belum sarapan sejak pagi bukan?" 


Mica mengusap rambut hitam kemerahan itu, lantas tersenyum ketika Katarina mengangguk ragu-ragu. 


"Kalau begitu ayo. Aku akan membeli apa yang kau mau." ucap Mica serius. 


"Benarkah?" 


"Hmm, apa yang kau inginkan?" 


"Ramen."


"Baiklah," jawab Mica, sembari mengulurkan tangannya. 


Katarina tersenyum lebar. Ia meraih uluran tangan pria itu dan ikut melangkah turun. Tanpa Mica sadari, langkah kaki itu menjadi awal mula dari keberanian Katarina. 



Jika bukan saat ini, maka tidak ada esok hari, Mica. 

Reality (Part 4)

 



Kisah lama kita hanya sebuah ulasan senja. Aku menemani dalam sepi, dan kau akan membasuh dalam kegetiran. 


─Mica






***************************************





Di tempat ini rintik-rintik gerimis semakin menipis. Sama seperti empat bulan yang lalu hujan sesekali menerpa. Juli adalah musim penghujan sehingga tidak akan ada terik matahari. Angin topan akan secara langsung merusak tanaman. Curah hujan juga akan menunjukkan persentase yang signifikan dibanding biasanya. Untuk beberapa minggu kota ini akan selalu berawan disertai hujan yang sering hingga tiga minggu.


Di waktu yang sama seorang gadis terus berlari-lari kecil menyusuri pinggiran jalan. Membiarkan roda-roda kendaraan yang berlalu-lalang menyipratkan genangan air keruh pada seragam putih sekolahnya. Shine berlari melewati atap-atap toko yang biasa ia singgahi. Sesekali nafasnya berhembus kasar, ketika tanpa sengaja aroma sedap makanan merayapi penciumannya. 


Hingga,


Srattttt 


Shine menghentikan langkahnya, lalu mengeram saat merasakan terpaan air kotor di wajahnya. Mengatur napasnya, Shine kemudian duduk di bangku keramik yang dingin, lalu mendekap erat tubuhnya menggunakan kedua tangan. 


Hujan memang hanya berupa rintikan kecil, namun berkat sapuan air kubangan kini tubuhnya mulai mengigil. Setidaknya flu akan segera menyerang jika ia tidak segera tiba di rumah dan mengganti semua pakaiannya. 


Bergerak perlahan, Shine menatap pergelangan tangannya. Ia menghembuskan nafas berat ketika manik matanya menangkap angka yang cukup sial.  Pukul enam sore.  Senja sudah lebih dulu muncul, dan sudah barang tentu akan cukup lama baginya menanti bus yang ia inginkan. Terlebih halte ini begitu sepi,— menunggu sendiri benar-benar terasa mengerikan.


"Menyebalkan! Ini karena mereka meninggalkanku. Ya Tuhan, ku mohon kutuk saja mereka menjadi lumut." lirihnya. Shine menggerutu seorang diri.  Ketika bulu-bulu halus disekitar lehernya meremang secara tiba-tiba, Shine menangis. 


Halte itu benar-benar terlihat menakutkan. Sekalipun berada tidak jauh dari sekolahnya, tidak banyak murid yang bersedia menunggu di sana.  Mengingat orang-orang sekitar pernah mengatakan jika bayangan hitam akan muncul saat seseorang menunggu seorang diri.  Dan Shine bersumpah ia sangat menyesal berteduh di bawah atap halte sialan ini.


"Astaga, ini mengerikan. Aku akan mengadukan Darien pada Adam."


 Shine menarik ingusnya kasar, lalu kembali mengisak kecil. Ia tidak menyadari seseorang tersenyum mendengar ucapan-ucapan konyolnya. 


"Mom, ini menakutkan." Bisik Shine semakin lirih. Ia membungkam bibirnya, ketika sekelebat bayangan melintas begitu cepat di belakang tubuhnya. 


Ini tidak lucu. 


Shine mencoba memalingkan kepalanya secara perlahan, namun— sial! Ia justru semakin bergidik manakala manik matanya tidak mendapati seorangpun duduk menunggu bersama dirinya. Beberapa bohlam bahkan mati dan hanya beberapa yang bercahaya redup. 


Shine semakin menutup rapat matanya. Terkutuklah orang-orang bodoh yang tidak becus memperhatikan fasilitas. Shine terus menyumpahi para manusia yang bahkan tidak terlihat dihadapannya.  Membuatnya telihat begitu bodoh, karena kenyataanya beberapa kendaraan masih sesekali melintasi jalanan.


"Tidak baik menggerutu seorang diri." 


Belum lagi hilang ketakutannya, Shine menjerit ketika sebuah suara menyapa indera pendengarannya. Entah dari mana datangnya, tapi pria itu sudah duduk manis tepat di sisi kanan tubuhnya.


"Sial! Mati saja kau di neraka!" maki Shine.


Pria itu mengendik tidak perduli. Darien mengusap ringan surai Shine yang basah, lalu menyampirkan coat miliknya pada tubuh bergetar itu.  Jelas sekali udara yang dingin berkat gerimis membuat tubuh ringkih Shine menggigil kedinginan. Shine memiliki imune yang rendah, namun begitu malas menggunakan coat. 


"Jika aku mati kau akan menangis." 


Namun, baru saja ia akan menarik permen dari saku celananya, Shine sudah lebih dulu melempar coatnya, sembari berteriak marah.


"Bangga sekali kau. Menjauh dariku." 


Darien menarik napasnya, mengabaikan desisan tidak suka Shine. Ia memungut coatnya lalu memakaikan kembali benda tebal itu pada tubuh Shine, sembari tidak lupa mencengkram pundak Shine; memperingati gadis manja itu jika ia sedang tidak ingin dibantah. 


Setelah merasa Shine menyerah, Darien kembali membuka mulutnya. 


"Ku rasa tidak. Aku mengatakan yang sebenarnya, kau tahu?" 



"Terserah kau saja! Pergilah, jangan dekati aku."


"Astaga, ini tidak benar. Aku berharap mendapatkan ciuman manis, bukan justru diusir seperti ini." 


"Bermimpi saja sana! Jangan bicara padaku!" 



Darien tertawa geli. Ia kemudian berpura-pura membelalakkan matanya, bersikap seolah-olah terkejut dan tidak percaya. 


"Kenapa?" tanyanya kemudian, yang mau tidak mau membuat Shine semakin kesal. 


Raut wajah Darien benar-benar membuatnya ingin muntah.


"Kalian keterlaluan! Aku tidak mau bicara padamu." 


Sudut mata Shine kembali meneteskan air saat Darien justru tertawa dengan tidak tahu diri.  Merasa Darien hanya berniat menggodanya, Shine mengangjat tanganya lalu memukul keras dada bidang itu. 


"Kau menyebalkan. Pergi!!" isak Shine seball.


Darien semakin tertawa lebar. Ia menangkap jemari Shine lalu menggenggam jemari kuat. Mica dan Katarina memang memilih pulang lebih dulu. Tetapi tidak dengannya. Sejak tadi Darien berada di sekitar Shine. Sayangnya ia tidak sengaja tertidur dibalik dinding kelas, saat menunggu Shine keluar dari dalam kelas, sehingga Shine tidak menyadari kehadirannya. 


"Kau mengusirku? Setelah aku menunggumu begitu lama?" 


"Aku tidak memintamu untuk menungguiku!" 


"Baiklah-baiklah, aku minta maaf." 


"Kau jahat. Aku takut. Bagaimana bisa kalian melakukan ini padaku?" 


Dalam kurun waktu satu detik runtuh sudah segala pertahanan gadis itu. Shine mengisak semakin keras saat Darien memeluknya. 


"Kenapa kau menangis? Sejak tadi aku berada dibelakangmu. Kau yang tidak menyadarinya." 


"Kau yang tidak menyapaku."


"Itu karena kau sangat menggemaskan."


"Sinting!" 


Darien terkekeh. Shine selalu mampu menjawab semua kalimat-kalimatnya. 



"Kau memang menggemaskan, dan aku tidak bercanda." Ucap Darien serius. Lalu mengecup sayang rambut yang sedikit basah. 


Di balik dada Darien perlahan Shine tersenyum. Rasa yang dipendamnya selama empat tahun nyatanya mencuat begitu saja. Membuat detak jantungnya tidak terkendali. Terlebih ketika Darien mengecup lembut ceruk lehernya. 


Tuhan, jika saja ia mampu menjerit, maka Shine akan lakukan. Tapi tidak, Shine hanya mampu menutupi semburat merah muda yang muncul pada permukaan pipinya di balik dada bidang itu. Terlalu banyak untaian yang ia ingin utarakan. Namun kata itu "Persahabatan" kembali membawanya masuk ke dalam pusaran kewarasan. Dimana di sana dirinya selalu merafalkan kalimat bahwa ia mungkin berkhianat, dan biar angin dan hujan saja yang mengetahuinya. 


Sementara di tempatnya duduk, Darien semakin melebarkan senyumnya. Shine semakin mempererat pelukan di antara mereka. Darien memejamkan matanya, merasakan gemuruh yang tidak biasa kembali memenuhi detak pada jantungnya. Detakan itu lebih kuat, seolah ada dua jantung tengah berdetak di dalam tubuh yang sehat. Darien tahu ia telah salah, tetapi gadis itu selalu berada di dalam pikirannya. Berapa kali pun ia berusaha untuk menyerah, sebanyak itu juga hatinya menuntut untuk berjuang. 


Rasa itu hadir begitu saja. Saat ia sadar bahwa kemungkinan tidak berada dekat dengannya, Darien mencoba untuk menghapus rasa. Namun tentu saja semua tidak semudah yang ia bayangkan. Di setiap hari yang mereka lewati takdir seolah semakin mendekatnya pada Shine. Dan ketika rasa di hatinya kian tak terkendali, rasa ingin memiliki semakin membuncah.




****Cuowu de Ai****






Cabang maple itu tumbuh begitu padat. Ranting-ranting yang penuh ditumbuhi daun orange membuat pohon itu tampak anggun dipandang mata. Daun-daun sedikit berserakan di atas rumput-rumput hujau yang hampir menyerupai bentangan permadani yang indah. Katarina memungut sehelai daun, dan mempermainkannya di antara ruas-ruas jarinya yang lentik, lalu membuangnya kembali.


"Apa yang ingin kau sampaikan?" tanyanya. 


Angin yang berhembus menerbangkan anak-anak rambutnya. Membuat jemarinya sedikit kewalahan menghalau rambut yang menutupi mata. Kakinya masih melangkah, berderap sama dengan gadis di sisinya.


"Kau siap untuk mendengarnya?"


"Apakah ini sesuatu yang sangat penting?"


"Hmm," gumam Shine. 


"Apa? Katakanlah."


Shine menarik nafasnya dalam sebelum menatap Katarina ragu-ragu. Gadis itu memang sahabatnya, namun untuk mengungkapkan sesuatu Shine merasa seperti di tahan begitu kuat. Kenyataan yang ada di antara benang persahabatan selalu memaksanya untuk bertahan, belajar melupakan, dan tidak untuk menuntut. Tapi saat hati menjerit, sembilu luka menginginkan kejujuran untuk mengucap sebait kata. 


Sekali lagi Shine menghela nafasnya. Lalu kembali menatap langit.


"Aku,— menyukai Darien." ucap Shine lirih.



Entah itu nyata atau hanya sebuah khayalan, Katarina menghentikan langkahnya. Angin masih berhembus kencang. Rintik kecil hujan membuatnya sedikit membeku karena dingin. Apalagi kedua kaki mereka telanjang tidak menggunakan alas. Tapi biar saja, kaki akan senang menikmati hamparan rumput yang tajam.


"Ah, jadi kau menyukai Darien?" 


Untuk sesaat Katarina merasa bingung, namun setelah memandang wajah Shine pandangan Katarina kembali bertaut pada langit yang gelap. 


Shine mengangguk, "Aku memang bodoh." Lirihnya. Gerakan gemiricik daun mencubit sebagian hati Katarina. Shine, tidak seharusnya merasa kecil diri. Perasaan itu lumrah dirasakan seorang gadis bukan? 


"Siapa yang mengatakan kau bodoh? Kemarilah." 


Katarina menarik Shine mendekati bangku taman yang cantik. Ukiran kelinci dan rumput sangat padu pada titik-titik cat yang berwarna hitam. Katarina lalu menarik kedua sudut biburnya, tersenyum bangga. 


Katarina akui ia cukup terkejut mendengar pengakuan Shine,  namun Katarina bersumpah ia bahagia mendengar penuturan sahabatnya itu. Shine, tidak pernah jatuh cinta. Bukan karena tidak mau, tetapi karena manusia bernama Darien yang selalu berada di sisinya. Pria itu selalu menghalangi pria lain yang mencoba mendekati Shine. Jadi wajar bila pada akhirnya Shine melabuhkan hatinya kepada Darien.


"Kau tidak membenciku?" tanya Shine 


Katarina tertawa kesal, lalu mendorong kecil kepala Shine. "Bodoh! Aku sangat menyayangimu, jadi jangan berpikir aku mampu membencimu."


Jika Shine berpikir ia juga memiliki perasaan yang sama pada Darien, Shine salah. Katarina hanya menganggap Darien sebagai sahabatnya. Tidak lebih. 


"Tanganmu, menyebalkan Kat. Aku akan mengadukanmu pada Adam." 


Mereka duduk bersisian, namun Katarina semakin memperbesar tawanya saat Shine mengembungkan pipinya seperti ikan koi. Shine memang sangat manja. Katarina yakin jika Darien juga memiliki rasa yang sama, maka pria itu akan semakin menjaga Shine dengan berlebihan. 


"Kau selalu mengandalkan Adam. Itu tidak adil" gerutu Katarina. 


Shine tersenyum manis.  "Aku hanya bercanda." jawabnya riang.


"Kenapa?" tanya lagi, ketika Katarina justru berubah menjadi serius. 


"Bolehkah aku juga mengungkapkan sesuatu juga?"


"Tentu,." jawab Shine. 


Katarina nampak terdiam sesaat, kemudian menghela nafasnya berulang kali. Gadis itu terlihat begitu ragu. Membuat Shine khawatir.  Shine takut Katarina akan mengakui hal yang sama. Namun Shine memutuskan diam dan menunggu.


"Aku,— aku juga menyukai Mica." 



Shine membeku. Mungkin memang benar tidak akan ada persahabatan di antara pria dan wanita.  Namun sesaat kemudian Shine mengerjapkan matanya tudak percaya, sebelum akhirnya ia berteriak keras.


"APAAA??" 


"Kecilkan suaramu. Kau membuat pendengaranku rusak."  


Shine terkekeh malu. 


"Benarkah? Kau sedang tidak berencana menipuku kan?" tanya Shine antusias, yang mau tidak mau membuat Katarina menyesali keputusan sesaatnya.  Bagaimana jika Shine membocorkan perasaannya pada Mica? Astaga, Katarina tidak bisa membayangkannya. 



Jadi dibanding Shine membeberkan semuanya cepat-cepat Katarina menganggukkan kepalanya. Namun sekali lagi Shine menjerit-jerit tidak karuan, membuatnya kesal bukan main. 



"Astaga, astaga aku bahagia." 


"Kecilkan suaramu Shine. Kau membuat pendengaranku rusak." 


"Aku tidak perduli." jawab Shine angkuh. Melihat Shine tetawa-tawa seorang diri, Katarina menjadi bingung. Apakah sahabatnya menjadi gila karena pengakuannya? 


"Apa kau marah padaku?"


"Aku pasti sudah gila."


"Kau memang sudah gila." jawab Katarina cepat, lantas ikut tertawa. Membiarkan langit merekam semua kebahagian persahabatan mereka. 


Biarkan seperti ini. Nanti disaat yang lain, biarkan cinta yang memilih. Seorang manusia tidak mengetahui jalan hidupnya, dan putaran poros tidak akan selamanya menemani desau hembusan angin. Biarkan melodi itu mengalun untuk mengantarkan lagu-lagu kenangan. Karena kelak ketika musik telah berhenti, maka itulah yang akan menjadi akhir dari kisah mereka.