Search This Blog

Friday, February 28, 2025

Nastar Lembut Premium

Bahan A


  1. 150 gr salted butter wisjman
  2. 100 gr margarine
  3. 90 gr gula halus


Bahan B


  1. 3 kuning telur ukuran besar (setara 60gr)

Bahan C



  1. 250 gr tepung terigu low protein
  2. 150 gr tepung maizena
  3. 100 gr susu bubuk


Bahan Isian


  1. 1.2 kg nanas palembang
  2. 2 batang kayu manis
  3. 20 pcs cengkeh
  4. 250 gr gula pasir



Cara Membuat selai


1.  Potong dan kupas nanas.

2.  Potong memanjang biar memudahkan menggenggam nanas dalam proses parut, lalu parut dan masukkan ke dalam kuali.

3.  Masukkan cengkeh dan kayu manis, kemudian masak sampai air menyusut dengan api sedang, sembari terus diaduk perlahan.


4.  Saat air nanas sudah menyusut baru masukkan gula. Aduk rata.  Masak terus dengan menggunakan api sedang sembari terus diaduk.

5.  Hasil akhirnya akan menjadi kecoklatan, kering tidak berair lagi, tapi lembut lengket dan mengkilat.

Jangan terlalu  basah da kering. Usahakan selai kering namun sedikit basah.


6. Tunggu selai dingin lalu disimpan/di apply kedalam adonan.





-----------------------------------------------------------






Cara Membuat Nastar







  1. Kocok bahan A: butter, margarine dan gula halus, kurang lebih 6 menit menggunakan speed sedang.
    Kalau pakai stand mixer jgn lupa pake paddle attachment.


  2. Masukkan bahan B: kuning telur, kocok lagi sampai tercampur rata saja.

  3. Masukkan bahan C: tepung terigu, maizena, dan susu bubuk. Aduk rata, uleni sampai semua tercampur rata dan jadi adonan.

  4. Timbang adonan 10 gr.

    Timbang isian selai nanas 5gr.

    Pipihkan adonan dan isi dengan bulatan selai nanas. Lalu pulung sampai mulus dan tidak retak/bolong.

    Lakukan sampai adonan habis.

    Jangan lupa untuk preheat oven di suhu 150°C kurang lebih 15 menit sebelum nastar masuk oven.



  5. Bake di oven suhu 150°C selama 15 menit.

    Tergantung oven masing-masing.


  6. Sambil menunggu nastar di oven, siapkan olesan nastar, campur dan aduk rata bahan olesan.

  7. Keluarkan nastar dan olesi permukaan nastar dengan bahan olesan yang sudah dicampur rata / tidak bergerinjil.

    Lakukan sampai batch loyang tersebut selesai dioles, oles lagi untuk kedua kalinya dimulai dari butir nastar pertama, sampai habis.


  8. Bake lagi di oven suhu 150°C selama 15 menit.

    Tergantung oven masing-masing.


  9. Keluarkan dari oven jika sudah, istirahatkan di atas cooling rack dan tunggu dingin.

    Setelah tidak panas lagi baru tata dan simpan di toples bersih dan kedap.

  10. notes: jgn simpan nastar dalam keadaan hangat/panas supaya tidak keringatan dan tidak cepat bulukan.




Cara Membuat Sate Ayam Ala Madura

Siapkan ...

BAHAN :

  1. 500 gr ayam filet
  2. 1 sdt garam
  3. 1 sdt lada bubuk
  4. 1 sdm ketumbar bubuk
  5. 2 sdm kecap manis(sesuaikan)
  6. Bumbu oles:
  7. 2 sdm kecap manis
  8. 1 sdm margarin
  9. Kuah kacang simple:
  10. 1 bungkus bumbu pecel instan
  11. 100 ml air
  12. 3 sdm gula
  13. Sejumput garam
  14. Secukupnya penyedap
  15. 1 sdm maizena diencerken dgn 2sdm air
  16. Sambel kecap:
  17. 2 siung bawang merah
  18. 5 buah cabe rawit hijau
  19. 3 buah cabe rawit setan
  20. 1 buah tomat ukuran sedang, potong2
  21. 1 lembar daun jeruk, iris tipis
  22. Sejumput garam
  23. Sdt gula
  24. Secukupnya air
  25. Penyedap(boleh skip)






Cara Membuat

  1. 1

    Marinasi ayam selamat 15menit(ayam, ketumbar, lada, garam dan kecap)


  2. 2

    Siapkan bahan olesan. Lalu tusuk ayam menggunakan tusuk sate


  3. 3

    Panggang sate menggunakan teflon. Api kecil saja.. Bolak balik hingga matang kedua sisi. Juga jgn lupa dioles


  4. 4

    Campur semua bahan saus kacang(kecuali maizena).didihkan dan juga dikoreksi rasa. Jika sudah pas, masukkan larutan maizena.aduk aduk, Masak sebentar. Dan siap


  5. 5

    Siapkan juga bahan sambel kecap. Campur semua dan siap disajikan

Thursday, December 14, 2023

Crazy Relationship 2


"Fine!! Lakukan sesuka daddy. Tapi aku tidak akan pernah meninggalkan rumah ini."


Benar.


Ayahnya menjadi gila dan berusaha membuangnya. Shine berteriak keras. Menendang kaki ranjang, dan mengacak rambutnya frustasi. Malam berlalu terlalu cepat. Alcohol membuat otaknya menjadi tumpul. Ya Tuhan... Shine meringis frustasi. Berkat perubahan waktu kini semua impian menjadi sia-sia.


Shine memaki Hutson. Mengumpati pria itu hingga suaranya nyaris menghilang. Rasa haus mencekik tenggorokan. Tapi air saja tidak akan membuat keadaan kembali normal. Mengapa dirinya begitu bodoh malam itu. Mengapa tidak ia tinggalkan saja pria Asia itu berjalan di dinginnya malam, karena keteledoran kekasih bodohnya itu Javier berhasil menemukannya.


Preventin seperti makam kecil di kaki bukit Lehaya. Kota itu bahkan tidak bisa menyembunyikan seorang gadis lebih dari dua malam. Javier juga terlalu cerdas. Shine sedikit menyumpahi kecerdikan kaki tangan ayahnya itu. Sekalipun tampan dan lembut, pria dengan bola mata berwarna biru itu sungguh tidak bisa diajak bekerja sama.


Seharusnya Shine patahkan saja lidah Javier. Setidaknya dengan begitu dia tidak mengatakan hal bodoh. Javier terlalu mudah takluk di bawah intimasi Dominic. Ayahnya hanya perlu menekan dengan kejam, maka siapa saja akan bicara tanpa kebohongan di dalamnya. Bahkan kekuasan Dominic cukup untuk membuat sulit para pemegam saham lainnya.


Shine menjatuhkan dirinya di atas sofa. Tidak ada seorang manusia pun menemui dirinya. Bangunan ini terasa begitu sunyi. Bahkan meski ia berteriak seperti orang gila, hanya angin saja yang menyahuti kegaduhan. Apa di tempat ini ia hanya seorang diri? Atau ruangan ini memiliki fasilitas penjaga suara.


Shine memijit dahinya. Menarik kulit ke kanan dan ke kiri, lalu memutar titik di atas kepala untuk meringankan rasa pusing. Marah membuat darah panasnya menggelora di dalam diri. Membuat tubuhnya gerah, dan jantungnya berpacu tidak terkendali. Shine ingin sekali mencekik ayahnya. Dominic keterlaluan.  Bagaimana bisa pria itu benar-benar melakukan ancaman bodoh? Memindahkan putrinya ke sebuah tempat tanpa meminta persetujuan, bahkan meski putrinya sedang tertidur lelap. Sial!


Tapi bukankah dirinya dalam keadaan mabuk? Itu berarti sebagian kesalahan ada pada dirinya. Shine memukul kepalanya kecil, lalu berdesis sakit. Tangan yang lembut bahkan terasa melukai saat ini. Braigle akan menangis jika mengetahui putrinya di campakan. Tapi mengingat kembali kelabilan wanita cantik itu, Shine tidak terlalu yakin ibunya akan membawa dirinya kembali disaat  Dominic masih mengeraskan keinginannya.


Braigle mungkin akan mengatakan hidup dengan baik dan berusaha menjadi wanita dewasa. Hidup mempermainkan kepercayaan dalam satu putaran waktu.


Ketika gadis ini kembali mengingat satu nama, Shine memejamkan matanya erat. Dominic bajingan! Jika pria itu benar-benar menyerahkannya kepada Shaun Arthur, Shine bersumpah akan mengirimkan misil kepada Dominic. Menghancurkan otak dungu ayahnya akan menjadi rencana menyenangkan.




Crazy Relationship 1

Menyenangkan bermain dengan waktu. Tapi tidak semenyenangkan ketika bermain denganmu.




************************************






Shine lupa kapan terakhir kali mimpi buruk menghampirinya. Kebohongan kadang kala menyerupai sesuatu yang nyata. Seperti ketika seorang gadis remaja terbangun dari tidur lelap, dan mendapati diri terbaring di atas ranjang tak dikenali. Dengan bola mata berpendar  panik memandang udara yang terlihat begitu berbeda. Panas, luas, dan sunyi? Shine mengerjakan matanya. Melemparkan picingan tajam ke seluruh sudut kamar.


Ia pasti tengah bermimpi kembali. Beberapa hari terakhir mimpi buruk kerap menghantui tidurnya. Membuat hatinya selalu merasa tidak nyaman. Namun tidak seburuk pagi yang baru saja tiba.


Shine mengusap wajahnya kasar. Ruangan ini benar-benar bukan kamar miliknya. Ia tidak pernah memiliki lemari besar berwarana hitam. Warna kesukaan seorang gadis muda ialah biru yang melukiskan ketenangan.


Satu lukisan besar memenuhi dinding ranjang. Gambar seorang pria tua dengan cambuk di kedua tangannya. Siapa? Wajah itu terlalu asing. Seingat otak cerdas Shine, Dominic hanya memiliki satu ayah. Pria pemarah itu tidak pernah memiliki ayah angkat, dan ayah mertuanya telah tiada sejak dirinya masih berbentuk benih kecil. Tidak mungkin Dominic menyembunyikan seorang pria di kediaman lain.


Tapi itu bisa saja terjadi, mengingat Dominic adalah manusia bengis yang haus kekuasaan.


Peluh mengalir di sepanjang tulang pipi Shine. Rambut dan sekujur tubuh gadis ini juga basah. Shine beranjak duduk. Kembali memandang sekitar. Berusaha mencari sesuatu yang otaknya kenali. Tapi sekali lagi gadis ini harus kecewa. Tidak ada satupun benda yang mengingatkannya akan rumah.


Kamar ini benar-benar begitu asing. Dari ukuran kamar yang begitu luas, Shine memperkirakan bangunan ini adalah kediaman mewah. Pilar besar membatasi beberapa ruangan. Lampu krystal di atas kepala bersinar terang. Sementara satu set meja dan sofa ditata sedemikian rupa, sehingga membuat nuansa kamar begitu elegan. 


Namun meski terlihat mahal dan berkelas, tempat ini terasa begitu mematikan. Panasnya udara bahkan mampu melelehkan seluruh kulit di tubuhnya.


Shine berdecak kesal. Kepalanya mendadak berdenyut sakit. Alam seolah tengah bergembira. Di luar kaca matahari nampak bersinar terik. Kicauan burung selalu indah di telinga. Tidak ada yang lebih baik dari nyanyian para pengepak awan. Tapi ketika lensa mata gadis ini menatap daun pintu, ia seolah disadarkan oleh waktu. Jika uang dapat menghilang kapan saja.


Tunggu?


Apa itu tadi? Menghilang?


Shine menggeleng keras.


Tidak.


Dominic tidak akan menjadi miskin semudah itu. Ayahnya adalah seorang pengusaha kaya raya. Pria itu memiliki banyak saham dan pulau pribadi. Belum lagi kapal pesiar, puluhan mobil mewah, hotel? Ya Tuhan,,,  Dominic tidak mungkin jatuh miskin hanya dalam waktu satu malam. Tapi dirinya berada di tempat yang asing. Sial! Shine tidak tahu harus melakukan apa.


Gadis ini berdiri kasar, mencengkram rambutnya kuat, lalu berjalan memutar-mutar; mencoba memulihkan semua ingatannya. Sesuatu pasti telah terjadi. Ia tidak mungkin terasingkan jika pelarian malam itu baik-baik saja. Kesintingan Dominic tidak akan menjadi kenyataan, jika seseorang tidak mencuci otaknya.


Malam, uang, mabuk,— Shine menghentikan langkah kakinya. Mata gadis ini menajam. Pola pelarian mulai tergambar jelas di otaknya hingga Javie berhasil menemukan persembunyian. Dan Shine tercekat ketika mengingatnya kebodohannya malam itu.


"Bukankah sudah daddy katakan untuk berhenti menghamburkan uang? Pakaian, tas, sepatu,— Ya Tuhan,,, apa lagi ini?!  Apa kau berniat membuat daddy bangkrut?!"


"Hanya beberapa brand terbaru. Ayolah,,,, jangan berlebihan begitu."


"Kau benar-benar ingin membuat daddy hancur?!"


"Tidak mungkin begitu. Aku pasti gila jika melakukannya. Ini hanya pengalihan pikiran, daddy. Para pengajar membuat kepalaku sakit. Mereka memintaku berlari di bawah matahari. Sungguh,,, Jadi aku perlu menyegarkan pikiran, agar esok hari hatiku membaik."


"Gadis nakal! Jika kau tidak mendebat apapun, para pengajar tidak akan menghukummu. Kau tidak seharusnya melampiaskan kesalahan kepada mereka."


"Penolakan macam apa yang membuat mereka bebas menyiksaku? Aku seorang mahasiswi, dad. Kau membayar mahal untuk memberi gaji."


"Lalu kau pikir kau berhak melakukan apapun? Dengar Shine, uangku tidak bisa membuatmu menjadi kurang ajar!"


"Daddy tidak mengerti! Tapi aku sulit berkonsentrasi. Aku tidak menyukai pilihan ini. Mungkin jika daddy memindahkan ke university lain aku bisa berubah."


"Harus berapa kali lagi kau menukar pendidikan? Apa belum cukup berpindah sebanyak sepuluh kali?! Daddy pikir kau benar-benar sudah gila!"


"Terakhir akan menjadi yang terakhir. Aku bersumpah... Daddy bisa memegang ucapanku kali ini."


"Baik jika itu kemauanmu. Kemasi semua pakaianmu, daddy akan mengirimkanmu kepada Arthur."


"What??? Tidak! Ayolah dad, Arthur pria yang arogan. Aku tidak menyukainya."


"Dan kau pikir daddy perduli?! Daddy hanya akan mengikuti keinginanmu saat ini. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut. Pergi dan pasti kau tidak meninggalkan apapun yang akan membuatmu kesulitan. "


"Fine!! Lakukan sesuka daddy. Tapi aku tidak akan pernah meninggalkan rumah ini."


Benar.


Ayahnya menjadi gila dan berusaha membuangnya. Shine berteriak keras. Menendang kaki ranjang, dan mengacak rambutnya frustasi. Malam berlalu terlalu cepat. Alcohol membuat otaknya menjadi tumpul. Ya Tuhan... Shine meringis frustasi. Berkat perubahan waktu kini semua impian menjadi sia-sia.


Crazy Relationship Prolog



Shaun Arthur tidak pernah berpikir jika diusianya yang menginjak dua puluh delapan tahun, ia justru harus menghadapi seorang gadis kecil nan pembangkang.


Dominicus mayer rekan kerjanya terlalu sinting. Menitipkan buah hati seperti menyerahkan sebuah permata. Dominic menyembunyikan fakta jika putrinya adalah seorang gadis bayaran. Dominic juga meminta Arthur untuk mengubah sikap nakal Shine yang kerap menghamburkan uang, dan sialnya Arthur sulit menolak


Shine bukan wanita dewasa. Dengan lingkar dada yang tidak lebih besar dari sebuah bola baseball, Shine gemar menggumbar ketidakseksiannya. Menggunakan pakaian terbuka, manja dan begitu banyak bicara.


Sejak hari dimana gadis itu menginjak rumahnya, Arthur tahu keberuntungan akan menjauh dari kehidupannya.


.
.
.
.


.
.
.
.


.
.
.
.
.
.
.
.












.
.
.
.
.
.
.
.
.






........









Mendekatlah, dan kau akan merasakan bara api melingkupi seluruh tubuhmu. 

Shaun Arthur/ 28 Tahun / Pemilik Seluruh Aset Monthana.





                               🔜🔚






Berjalanlah seperti kedua matamu terasa buta.

Shine Blessom Mayer  / 19 Tahun / Mahasiswi


Monday, August 16, 2021

Reality (Part 10)

 




Jangan kembali melalui jalan setapak, singgah laah sesaat untuk memulihka diri, agar kau tidak tersesat. — Shine 






**************************************



"Dia kembali." gumam Darien lirih. Bukan kepada siapapun, tapi lebih pada dirinya sendiri.


Dia kembali. 


Ya, gadis mungil bersurai hitam itu akan segera kembali. Kepala Darien nyaris pecah hanya karena mengingat itu. 


Kenapa Shine harus kembali? Dan kenapa harus ada seorang wanita menumpang di rumahnya? Darien mengacak rambutnya frustasi. 


Sharon. 


Nama itu entah mengapa begitu familiar ditelinganya. Darien yakin pernah mendengarnya. Tapi di mana? 


Tapi tunggu, haruskah ia menemui Shine? Tidak. Darien menggelengkan kepalanya kuat. Bagaimana pun juga Darien tidak pernah melupakan kejadian itu. Luka yang dimilikinya masih begitu terasa perih. Bertahun-tahun Darien menyembuhkannya, dan demi apapun Darien tidak siap jika harus kembali menatap wajah gadis itu.


"Hahh" 


Darien menghembuskan napasnya berat, ketika bola matanya bergerak menyusuri bingkai besar yang tertempel tepat di depan ranjang. Ada dia di sana, Mica dan juga Katarina. Mereka selalu berada disana. Tidak pernah tersentuh, dan Darien pun begitu. 


Katarina. Jantung Darien bergemuruh ketika memikirkannya. Darien tidak menyangka jika  sudah begitu banyak waktu yang dihabiskannya untuk menyendiri. Darien cukup merindukan wanita  itu. Katarina adalah sosok yang berada di balik bayang-bayangnya selama ini. Kataina cantik, lembut, dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Hanya saja, dulu wanita itu lebih dekat dengan Mica dibanding dengannya. Membuat Darien tidak memiliki interaksi yang lekat seperti kepada gadis di masa lalu itu. 


Darien kembali menatapnya. Sosok kecil yang selalu menghantui kehidupannya. Gadis itu bukan sosok wanita yang lembut, tetapi gadis pendek yang manja dan cerewet. Shine, nama itu tidak pernah hilang dari ingatan Darien. 


Apakah dia cantik? Ya dia cantik. Tapi menurut Darien itu hanya menurut pria-pria bodoh yang menggilai gadis mungil itu. Tidak dengan Darien. Karena Darien betahun-tahun berada di sisinya. Darien mengenali Shine begitu baik dari luar maupun dalam. Setidaknya, dulu setiap kali mereka bertemu Darien akan selalu memeluk gadis itu erat. Menghantarkan rasa sayangnya yang begitu besar. Mengukung tubuh Shine dalam jarak pandangnya, agar tidak ada seorang pria pun yang berani mendekatinya, lalu membawa Shine pergi dari hidup Darien. Tapi itu dulu! Sebelum Shine menghancurkan semua perasaannya


Berapa lama Darien merindukannya? Darien bahkan sudah lupa. Darien hanya ingat kehancurannya saat gadis itu memilih pergi meninggalkannya. Menyisahkan luka yang tidak pernah bisa terobati. 



Darien membencinya. Membenci Shine dengan seluruh hatinya. Seberapa jauh pun Tuhan menuntun mereka untuk kembali bertemu, hanya akan ada dendam untuknya. Cerita di masa lalu, Darien muak mengingatnya. 







*****





"Shine, kau di mana?!"


"Kenapa kau melakukan ini padaku? Kenapa?!!"


"Ku mohon kembali! Apa salahku?!"


"Kembali sialan!!!" 


Darien mengerang ketika sebuah memori menghantam keras alam pikirannya. Pria ini mencengkram kepalanya kuat-kuat. Berteriak keras, lalu membanting semua barang yang terlihat. Sebuah siksa di masa lalu tidak akan semudah membalik telapak tangan untuk melupakannya. Ketika jarum suntik ratusan kali menusuk kulit di tubuhnya, ketika tubuhnya harus diikat berminggu-minggu di sebuah ranjang, Darien tidak bisa melupakannya begitu saja. 


"Aku membencimu! Aku sangat membencimu!!" desis Darien. 


Ia bukan seorang manusia yang sempurna. Yang ketika sakit hanya akan menangis. Pria ini begitu lelah menanti. Darien begitu lelah menangis, dan tidak ada yang pernah mengetahuinya. 


"Jangan kembali! Jangan pernah kembali, karena aku membencimu." 


Dulu ketika ia tersenyum, Darien tahu selalu ada hari baik yang menantinya. Ketika sebuah daun menyapa bingkai jendela kamarnya, ia selalu tahu ada seseorang yang juga akan selalu menyapa kehidupannya. Tapi kini, ketika desisan-desisan menguap bersama manik mata yang memerah, Darien tahu ia kembali terluka. 


Setiap kata yang terlontar, semua itu bagai janji di gelap malam. Telunjuk pria ini mengacung begitu dingin, sebelum akhirnya berubah menjadi kepalan tangan. Dan dalam satu kali helaan nafasnya Darien meraih kenop pintu. Membukanya, lalu segera keluar untuk menjauh. 


Hana yang baru saja menyelesaikan kegiatan berbenahnya mengernyit heran, menatap kemunculan putranya yang muncul dari lantai dua. Ini masih cukup pagi bagi seorang direktur untuk kembali pulang. Tapi pria tampan itu justru muncul secara tiba-tiba dengan sikap yang kurang menyenangkan. Apalagi selama ini Darien tidak pernah pulang lebih cepat, sekalipun mereka memaksanya untuk acara yang penting. Bagi Darien waktunya terlalu berharga untuk di sia-siakan.  


"Kau tidak bekerja nak?" tegur Hana, saat Darien melangkah melewatinya. Namun Darien mengabaikannya begitu saja. Hana menghela napasnya. Sebagai seorang ibu yang juga mengandung Darien, Hana tahu ada sesuatu yang mengganggu putranya itu. 


Melangkah mendekati, Hana mengusap lengan kekar Darien. Wanita ini nampak cantik dengan balutan maron dress yang mencolok. Meski garis-garis halus tercipta di raut wajah tuanya, namun Hana masih terlihat mempesona.


"Tidak." jawab Darien singkat.


Darien melanjutkan kembali langkahnya dengan ringan. Membuat wanita tua itu kembali menghela nafas sedih. Hana telah terbiasa menghadapi perubahan sikap putranya itu. Darien memang akan selalu menjadi dingin dan tidak perduli apapun ketika sedang bermasalah. Tapi ada saat-saat dimana pria itu akan berbicara panjang. Tepatnya, ketika Darien akan mencemooh atau membicarakan hal yang penting.


Hana melangkah pelan. Namun teratur mengikuti setiap langkah Darien menuju kursi taman yang terletak di bawah pohon pinus. Tanah luas itu memang akan selalu pria itu kunjungi ketika suasana hatinya sedang buruk.


"Jika kau sedang memiliki masalah, kau bisa menceritakannya kepada ibu, Dar. Ibu akan dengan senang mendengarkannya." 


Sekali lagi Hana membuka percakapan. Ia duduk di sisi kiri Darien. Berpura-pura tidak melihat tatapan jengah yang dilayangkan oleh  putranya itu. 


Darien sendiri mendengus tidak terlalu perduli. Hana sangat mengganggu dengan bibirnya, dan itu tak jauh berbeda dengan si mungil. "Tidak."  Itu jawaban yang singkat. Tetapi Darien tidak perduli jika Hana akan tersinggung. Hatinya sedang kacau, dan Darien butuh waktu untuk sendiri.


Hana menghembuskan napasnya perlahan. Menariknya kembali dalam-dalam, mencoba mengisi udara pada dadanya yang menyesak. Hana tidak mengalihkan sedikit saja pandanganya. Ia tetap menatap hamparan tangkai bunga yang tesebar. Bunga-bunga cantik itu hasil pekerjaannya sendiri, meski kali ini tidak ada mekar yang menghiasi. Tapi setidaknya ada cemara-cemara mungil berdaun salju.


"Kau tau, ibu merasa kau begitu jauh. Kau berada di dekat ibu, tapi ibu tidak bisa menggapaimu." bisik Hana kecil.


Sudah lama Hana memilih diam untuk memendam keingintahuannya. Namun saat ini Hana tidak mampu lagi menanggung kesedihannya. Ada sengatan pedih di dalam dirinya, ketika masa kelam itu menghampiri kembali. Masa dimana ia harus merelakan sang putra hidup jauh darinya, dan menderita seorang diri. Ketika ia hanya bisa menangis dari balik putih kaca. Tanpa bisa melakukan apapun, meski hanya sekedar pelukan seorang ibu.


Darien yang mendegar perubahan suara Hana segera memalingkan wajahnya, dan terkejut ketika mendapati aliran bening mengalir begitu deras dari kedua manik mata renta itu. "Aku hanya lelah ibu. Berhentilah bersikap berlebihan. Aku tidak pergi ke mana pun." ucapnya lembut. Darien meraih wajah Hana.  Lalu mengusap tetesan air suci itu menggunakan ibu jarinya.


Membuat Hana semakin tidak mampu menahan isakannya. Hana berhambur memeluk tubuh Darien. Darien hancur, Hana tahu itu. Putranya hanya berpura-pura tegar dihadapan semua orang. Seberapa banyak pun Darien berbohong,  Hana akan selalu mengetahuinya. Karena ia ibunya, Hana tahu apa yang mengganggu putranya. 


"Maaf nyonya, putra anda mengalami gangguan jiwa. " 


Hana bahkan masih mengingat setiap kata yang dokter itu lontarkan. Jeritan-jeritan Darien. Tangisannya. Hana semakin mengeratkan pelukannya. Waktu itu Hana tidak mengira dapat menjalani kehidupannya. Hana hanya berpikir betapa kejamnya Tuhan menghukum Darien. Membuat putranya itu sakit sedemikian parah. 


Hingga pada saat itu, saat dimana Darien memilih bangkit dan berubah. Di sanalah Hana juga berdiri untuk melupakan segalanya. Tapi sebagai seorang ibu, Hana tahu Darien masih berkabung dalam lukanya. Hana selalu berharap untuk satu kali saja, ia ingin berguna dengan mengembalikan tawa Darien kembali. Tanpa melukai siapapun. 


"Jangan berbohong pada ibu. Apapun yang mengganggumu, katakan. Ibu selalu menemanimu sayang." 


Meski impian itu terlihat tidak mungkin untuk dilakukan, Hana benar-benar ingin membebaskan Darien dari rasa sakitnya. 


"Hmm, aku akan mengingatnya. Dan aku akan mengatakan apapun kepada ibu, jika aku sudah bisa mengendalikan diriku sendiri." jawab Darien. 


"Kau berjanji?" 


Darien mengangguk pasti.  Darien akan mengingatnya. Seberapa banyak pun kalimat yang Hana ucapkan, Darien tidak akan pernah melupakannya. Darien tahu Hana hanya merasa tidak berguna. Tetapi Hana tidak tahu, Darien hanya tidak siap untuk menceritakan kegundahannya. Karena Darien takut, takut Hana akan membencinya, seperti gadis itu. 


Darien merangkul erat pundak Hana. Lalu medaratkan kecupan kecil di pipi renta sang ibu. Akan ada masa dimana ia akan menangis dihadapan Hana, tapi tidak untuk saat ini.


Sementara Hana kembali tersenyum. Ia meraih tangan kiri Darien lalu meremasnya lembut. Menghantarkan jutaan cinta yang dirinya miliki. Dulu Darien adalah pria yang begitu lembut. Namun suatu kejadian membuat putranya itu kehilangan gadis yang begitu disayanginya. Kejadian itu membuat Darien hancur dan menjadi gila. Ketika Darien keluar dari pusat rehabilitasi, putanya itu telah berubah. Darien menjadi arogan, dingin dan keras kepala. Tidak ada yang berani membahas masa lalunya. Semua memilih merapatkan bibir agar luka itu tidak lagi terbuka. 


"Saat pernikahan Adam, bisakah kau membawa Katarina?"


Darien menatap Hana dengan sejuta kebingungan. Wanita tua itu mendadak terlihat aneh setelah menghentikan tangisannya.  Hana seperti sedang merencanakan sesuatu. 


Bukankah terdengar lucu jika tiba-tiba wanita tua itu menanyakan Katarina? Sementara selama ini mereka bersikap seperti tidak mengenal wanita itu. 


"Dia sahabatku ibu. Apakah ada alasan untukku tidak membawanya?"


Darrien melepaskan rangkulannya. Namun pandangannya masih terpatri di tempat yang sama. Gemerisik daun menyentuh pendengarannya dengan lembut. Membuat sesak yang mengganggu terhempas dan tidak bersisa. 


Hana mengalihkan tatapannya pada seekor camar yang hinggap di ranting pohon.  Camar kecil itu bersiul beberapa kali, sebelum akhirnya kembali pergi.  Itu sama seperti perjalanan masa muda Darien.Jika sebuah kepergian adalah kesalahan, maka kedatangan bisa menjadi sebuah pengorbanan. 


Hana tersenyum kecil. Ia mengetahi semua permasalahan yang terjadi masa lalu. Tetapi Hana hanya bisa menyimpannya di dalam hati.  Benar, Hana dan keluarganya membenci Katarina, karena gadis itu adalah sumber dari semua kesalahan, tetapi Hana tidak merasa pantas mengadilinya. Biar bagaimana pun gadis itu juga merasakan hal yang sama seperti mereka.  Kehilangan gadis di masa lalu. 


"Entahlah, kau jarang sekali membawanya ke tempat ini." 


Setidaknya berdusta bukan hal yang terlalu buruk. Ada sebuah janji yang harus ia tepati, dan Hana bukan wanita pembual murahan. Jika hanya sekedar untuk mengundang maka itu bukan masalah besar baginya. 


"Ibu, Katarina bukan seorang pengangguran. Gadis itu sibuk."  jawab Darien tenang. 


Namun kedua matanya menghindari tatapan selidik sang ibu. Bukan karena Darien takut. Darien hanya belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya.  Keluarga ini mengharapkan Shine memiliki hatinya, tapi Katarina dianggap sebagai perusak persahabatan hanya karena kedekatan mereka. 


"Apa kau tidak merindukannya? Kalian sudah lama tidak bertemu."


"Bagaimana aku bisa merindukannya, jika gadis itu selalu datang ke kantorku." 


Darien bahkan merasa Katarina seperti makhluk yang tidak kasat mata, yang selalu datang tanpa diundang. 


Hana mengangguk. "Baiklah jika seperti itu. Setidaknya kau tidak sendirian." 


Lalu tersenyum kecut saat Darien tersenyum lembut. Ada kalanya Hana merasa sedih saat menyadari Darien tidak lagi mengutamakannya. Hana menjulurkan tangannya mengusap kepala Darien. 




*****




Shine mengatupkan bibirnya dalam kuat-kuat. Sudah lima jam berlalu sejak pesawat meninggalkan landasan, tapi Shine tetap tidak memesan apapun. Hawa dingin yang merasuk cukup membuat bibir lembutnya sedikit mengering, tapi jika mengingat enam jam lagi ia akan tiba di Fuuto, Shine merasa seperti ia akan segera mati. 


Demi Tuhan, Merry benar-benar keterlaluan. Tujuh tahun lari bukanlah hal yang mudah untuknya. Bertahun-tahun ia berusaha bersembunyi agar tidak ada seorang yang menemukannya, namun Merry justru mengirimnya kembali. Sial! Jika saja Shine mampu menolak, maka ia akan menolak keinginan ibunya itu mati-matian. 


Tapi jika Merry telah mengancam, mengalah adalah pilihan yang terbaik sebelum wanita tua nan cerewet itu mengirimya ke Rusia.


"Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan? Melarikan diri? Bodoh! Itu benar-benar bodoh." gumamnya lirih. 


Shine terlihat seperti orang sinting yang berbicara seorang diri. Tapi persetan. Ia memesan VVIP class,  jadi ia hanya duduk seorang diri dan tidak akan ada orang yang mampu mendengar gumaman lirihnya. 


Shine kembali berpaling. Memandang hamparan awan yang begitu putih, lalu menghembuskan nafasnya sedih. Seandainya saja bisa, Shine ingin memeluk bongkahan awan, lalu mencurahkan semua tekanan yang ia rasakan. 


"Shine, apa kau tahu? Darien dan Katarina resmi berkencan." 


"Kau bercanda? Itu tidak mungkin. Darien dan Katarina tidak mungkin menutupi sesuatu dariku." 


"Tidak Shine, semua orang sudah mengetahuinya." 


Bersamaan dengan kalimat usang di masa lalu, setetes air mata lolos dari pelupuk mata Shine.  


Shine membiarkan hatinya mengeluarkan segala perasaan sakitnya. Penghianat akan tetap menjadi pecundang baginya. Shine hanya perlu bertahan. Enam bulan bukanlah waktu yang lama. Setelah itu ia akan menikah. 


Dan luka itu akan segera lenyap bersama dengan datangnya cinta yang baru.






<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3901966446423879"

     crossorigin="anonymous"></script>

<ins class="adsbygoogle"

     style="display:block; text-align:center;"

     data-ad-layout="in-article"

     data-ad-format="fluid"

     data-ad-client="ca-pub-3901966446423879"

     data-ad-slot="2773620573"></ins>

<script>

     (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

</script>



Reality (Part 9)

 Semua orang terkadang merasa seperti ingin berlari. Tetapi jika kita melakukan itu semua, maka tidak akan ada yang bisa dimulai.






******************************************




Desember, 2019



Sebenarnya sebuah perubahan jaman tidak mampu mengubah sebuah pemikiran yang sempit. Kadang kala sesuatu yang dirapalkan oleh otak itu sendiri, justru akan membawa manusia jatuh ke dalam sebuah lembah yang dapat juga disebutkan sebagi ketakutan. Manusia jelas mengetahui bahwa setiap pemikiran tidaklah akan selalu sesuai dengan kenyataan. Tahun-tahun yang terlewati pun jauh dari sebuah kenangan. Rasa sakit mungkin tidak akan pernah lenyap. Tapi setidaknya persahabatan lebih kuat dari sebuah pertemanan.


Saat ini dimana sesuatu mungkin tidak akan sama kembali seperti di masa lalu. Awan mulai redup bersamaan dengan sepasang manusia berbeda jenis yang duduk memenuhi Colio Cafe, yang jauh lebih lengang dibanding biasanya. Tempat bising ini mendadak sunyi setelah beberapa menit berlalu. Ada wanita muda menduduki kasir, bertubuh tinggi namun tidak terlalu putih. Seperti campuran Korea dan Thailand. Wanita itu tersenyum lebar tiap kali seseorang masuk, dan menimbulkan dentingan pada lonceng di atas pintu. 


Di luar jalanan masih terlihat padat. Kendaraan dan matahari mendadak tidak kompak, karena salah satunya telah lama menghilang. Butiran salju jelas tersebar di setiap pinggiran jalan. Menjadikan tumpukan putih menjadi lukisan pemandangan tersendiri bagi sepasang insan yang bergurau di sudut terujung ruangan. 


Kursi di sudut ruangan ini hanya berbentuk kayu jati lama. Namun di beberapa bagiannya tersampir beberapa kain penghias yang mempercantik setiap sisi-sisinya. 


Sejauh yang ia lihat, tempat ini tidak pernah berubah. Semua masih terlihat sama seperti dahulu. Ada kerinduan yang tidak tersampaikan dari balik bibir-bibir yang berucap. Hanya mata mereka saja yang mampu menyiratkan, jika mereka masih menginginkan perubahan. Meski sejujurnya kedua hati itu tetap dalam kebekuan. 


Gadis ini yang pertama mengangkat tangannya. Mengarahkan jemari untuk meraih cangkir berisikan cairan kecoklatan Coffe Latte kesukaannya. Membuat kepulan asapnya menebar, ketika bibirnya yang tipis mencecap dengan perlahan. 


Hoppang di atas meja menemani cangkir kopi seorang yang lainnya. Pria itu memiliki tinggi yang menjulang, serta proporsi tubuh yang bisa digambarkan seperti manusia kekurangan gizi. Kurus. 


Katarina menyimpan tawanya di dalam hati. Memandang secara tersembunyi sembari terus menikmati cangkir dalam genggamannya. Ah, ini waktu yang begitu lama. Seperti tahun-tahun yang terlewat dan mereka selalu seperti ini. Memesan hoppang namun akan selalu tersisa dua, karena sebagian akan berpindah pada perut seseorang. 


"Astaga Mica, hentikan. Ya Tuhan, kau tampak mengerikan." 


Ketika akhirnya jarum panjang bergerak turun ke angka enam, wanita ini mengeluarkan suaranya begitu nyaring. Hingga membuat pria itu tertawa senang. Oh shit! Seharusnya memang dirinya hanya diam saja dan memperhatikan. Kini ketika nada telah terlontar, Katarina yakin pria itu tidak akan pernah berhenti.


Mica bahkan tidak perduli ketika seluruh pengunjung melemparkan tatapan aneh pada dirinya. Bukan hanya itu, kue yang berbentuk bulat mirip bakpau itu bahkan kembali diraupnya, hingga kini lenyap tak bersisa. 


Katarina menggelengkan kepalanya gemas. Lalu segera meletakkan kembali gelasnya. Akan semakin banyak pertanyaan jika dirinya terus mengikuti kebodohan pria dihadapannya itu. 


"Ini terlalu lezat. Kau tahu? Aku kelaparan. Aku lupa menikmati makan siangku." 


Mica bersidekap ketika waktu kembali berputar. Angin musim dingin memang menyebalkan. Tapi setelan yang digunakan cukup aman untuk menjaga kestabilan suhu tubuhnya. Mica tersenyum lembut. Di masa lalu detik tidak memberi kesempatan baginya,  tetapi saat ini detik seolah menyadarkannya kembali kepada sesuatu yang juga pernah mereka alami bersama. Mica ingat untuk apa ia duduk tenang di sini. Banyak kenangan yang tertinggal di tempat ini, sehingga membuatnya memilih kembali ke tempat di mana mereka memulainya. 


"Lalu? Apa hubungannya denganku? Memangnya kau pikir aku tidak lapar?!" dengus Katarina. 


Mica mengeratkan jasnya, lantas tersenyum kembali. "Tentu saja itu berhubungan. Kau terlalu sedikit memesannya." balas Mica. 


Mica bergidik saat melihat butiran salju turun semakin banyak. Musim ini memang tidak menguntungkan untuknya, yang kurang menyukai udara beku. 


Jika saja setelah ini ia sakit, dan kekasihnya mengetahui itu, Mica yakin wanita itu akan menyembelihnya dengan menggunakan gunting rumput tetangga. 


Tapi apa boleh buat bukan? Jauh di lubuk hati yang terdalam Mica masih menyimpan banyak keraguan atas semua hal yang membuatnya memilih untuk bertindak dalam bayangan. Musim dingin hanya akan berlangsung selama tiga bulan saja, tetapi jikia ia hanya berdiam diri maka tidak akan ada yang berubah. 


"Apa itu sebuah pembelaan? Kau terdengar semakin bodoh, Mic." 


Ada kekehan ketika wanita ini mencibir. Katarina menatap sebal Mica yang tertawa tidak tahu diri. Mereka telah lama saling mengenal, dan bukan hanya berjalan bersisian. Ada banyak cerita dibalik sebuah masa lalu. Seperti potret usang merangkai sebuah kisah di dalam sebuah ingatan. Cara bicara pria itu juga tidak pernah berubah. Selalu saja membuat Katarina kesal, tapi juga  selalu menggelitik.


"Tidak, itu alasan sayang." jawab Mica. 


Mica tersenyum jahil, membiarkan bola matanya bergerak tak tentu arah. Menikmati wajah Katarina adalah anugrah, tetapi tidak akan selamanya akan sempurna. Wanita itu sangat baik. Seberapa lama pun mereka tidak bertemu, Mica tahu Katarina tidak pernah berubah.


Katarina hanya berdecih. "bodoh!" umpatnya. 


Ia melemparkan tissue kepada Mica, lalu memberengut pada sandaran kursinya. Sayang? Yang benar saja! 


Mulut Mica penuh dengan hoppang, namun bibir tebal itu tetap mampu merangkai kata-kata yang menyebalkan. Katarina kembali menyesap minumannya, namun secara sembunyi-sembunyi memandang Mica. 


Berbicara pada Mica memang harus menggunakan kewarasan yang maksimal. 


Mica tersenyum kecil. "Aku senang melihatmu baik-baik saja." Pandangannya tertuju lurus pada manik mata Katarina. 


Gadia itu tersenyum lembut, namun sebagaimanapun Katarina bersikap, Mica tidak bisa memungkiri jika telah banyak waktu yang merenggut semua kebahagaiaan mereka.


"Benarkah?" 


Katarina kembali meletakkan cangkir kopinya. gadis itu menghela nafasnya, berusaha melemparkan keraguan yang menyelinap, sejauh yang dirinya inginkan. Mata itu begitu indah, namun dengan jelas menyiratkan kesedihan. Lalu ketika retinanya menatap bola mata Mica, Katarina menyimpan air matanya. Ada hentakkan keras yang tidak pernah mampu ia hilangkan untuk pria itu. 


Pernyatan Mica tidak salah. Katarina bisa mengetahui bahwa pria itu memahami apa yang ia tidak mengerti.


"Hmm. Cobalah untuk bersikap terbuka. Kau tahu, aku bahkan merasa ada yang berbeda. Persahabatan ini, kita tidak lagi sama." 


Dan ketika kalimat itu terlontar, Katarina merasa terlempar begitu jauh, hingga ia seperti ia dipaksa mendarat pada hamparan pisau yang tajam. Begitu menyakitkan. 


Katarina juga bisa melihat, pancaran kebahagiaan yang Mica pancarkan beberapa saat yang lalu menghilang dalam sekejap. Kesepian begitu jelas terlukis pada manik mata pria itu.


Katarina menundukkan wajahnya penuh sesal.  Dulu jauh sebelum Tuhan menciptakan takdir menyedihkan mereka, mereka bersahabat hingga terlihat sulit untuk dipisahkan. Mereka selalu bersama seolah persahabatan itu diikat oleh tali yang tak terlihat. 


Namun sekarang? 


Mica bahkan tidak lagi sama. Ada sekat yang membatasi mereka. Memalingkan wajahnya, Katarina menatap hamparan salju yang tersebar. Ada beberapa mobil terparkir di ujung jalan. Asap putih yang mengepul cukup menghibur kesedihannya.


"Kau benar. Perpisahan itu mengubah segalanya. Kita seperti orang yang saling tidak mengenal."  lirih Katarina. 


Katarina mengigit bibir lembut. Ia tentu sadar bahwa semua yang terjadi dimulai dari bibirnya, dan berakhir juga karena dirinya. 


Sudah berapa lama mereka terpisah? Mungkin satu atau dua tahun. Entahlah, Mica juga tidak begitu mengingatnya. Hal terakhir yang pria ini ingat hanyalah kepergian Shine 7 tahun yang lalu. 


Hari dimana dirinya juga memutuskan untuk ikut pergi, dan hari dimana Kimbum menorehkan luka.


"Apa Shine berubah?" 


Katarina melanjutkan kalimatnya dengan nada berharap. Membuat tersenyum samar, sembari memandang kaca. 


Katarina berdecak. Mica tidak membuka suaranya, dan ia benci kebisuan.


"Apa dia berubah, Mic?" tanya Katarina lagi. 


Mica menggeleng, kemudian mengalihkan kembali tatapannya kepada Katarina.  


"Tidak ada yang berubah. Gadis itu tetap manja seperti tujuh tahun yang lalu. Dan ya, seperti yang kau tahu, Soeun sangat cerewet." 


Katarina terkekeh mendengar candaan Mica. Gigi putihnya terlihat berkilau berkat rekahan bibirnya yang semakin melebar. 


Gadis itu luar biasa cantiknya. Bahkan hanya dengan balutan T-Shirt ungu dan Jeans hitamnya gadis itu masih tampak begitu mempesona. Katarina juga tidak menggunakan polesan make up yang berlebihan. Mica hanya melihat segaris tipis lipstik berwarna pink yang berpadu dengan polesan bedak, yang sama tidak terlihat. 


Bolehkah Mica jujur? Ia menyukai Katarina yang seperti ini. Apa adanya dan tetap menjadi dirinya sendiri. Sayang, ia telah terikat pada seseorang. Mungkin jika ia masih seorang diri, Mica akan dengan sangat pasti menjadikan Katarina sebagai miliknya. 


"Kau membuatku menjadi rindu padanya." 


"Kau memang harus merindukannya. Tapi Darien sangat buruk. Aku membencinya." 


Lagi-lagi gadis itu tertawa. Katarina mengangguk setuju. Apa yang Mica katakan memang benar. Pria tampan yang memiliki tinggi maksimal itu memang begitu kaku dalam bersikap. Darien bahkan cenderung dingin, tegas, dan tidak perduli pada apapun. Tapi Katarina begitu mencintainya sejak tujuh tahun yang lalu, meski rasa itu hanya miliknya seorang. 


"Kau benar. Darien memang sangat keras kepala. Aku akan mencoba membujuknya." jawab Katarina.


Selama ini mereka cukup dekat, jadi Katarina yakin mampu membujuknya. Meski mungkin kelak pria itu akan sedikit memberang, tapi tidak masalah. Setidaknya hari itu akan berubah dengan cara yang ia pikirkan. 


Tidak akan selamanya luka itu membatasi jarak mereka. Dulu bahkan pria itu tidak mampu sekedar hanya untuk membenci. Jadi kini, ketika sebuah lonceng berdentang, Katarina memutuskan untuk mengembalikan semuanya.  


Mica mengangguk kecil. "Ku harap kau berhasil. Setidaknya setelah hari itu kita bisa berkumpul." jawabnya. 


Meski Mica masih sedikit ragu, tetapi senyum Katarina membuatnya memiliki harapan. 


Mica kemudian mengangkat jari telunjuknya, lalu mengarahkan pada Katarina yang mengangguk layaknya gadis kecil yang penurut. 


"Berjanjilah" lanjutnya.