Awal tidak selalu menjadi titik temu yang indah. Kiasan dalam lensa yang berkedut, menjadi tanda dari permulaan dia dan sepasang kisah.
.
.
.
Terkadang pagi mampu memberi warna gelap kepada sepasang mata yang terlalu malas untuk terbuka. Rasa dingin dan katupan yang rapat membuat sang empunya malas untuk beranjak. Tubuh memilih berlindung di balik selimut tebal, dibanding menantang hujan di bawah atap langit yang hitam.
Hari ini belum jauh berbeda dengan hari sebelumnya. Hujan masih menjadi sarapan pagi yang menyebalkan, juga seorang wanita tua yang begitu berisik dengan bibir gincu; persis seperi jalang di tempat remang.
Satu minggu sepertinya adalah hal yang buruk. Kemarin bahkan perasaan terlunta karena ketidakperdulian. Detik seperti menguji kekuatan mental ketika derit pada pintu memberi efek kejut pada si jantung.
"Bee, wake up!!" Jika dua menit lalu ia hanya mendengar derap langkah, saat ini lengkingan falseto sudah menerjang gendang telinganya. Gadis ini berdecak kesal di balik selimut berbulu. Memutar arah tubuh, ia kembali memejam lebih erat, sembari menulikan si telinga yang beberapa hari ini mulai kebal.
Gerakan kiri dan kanan yang dilayangkan pada tubuhnya pun diabaikan begitu saja. Ia tetap kekeh menikmati si malas, meski aura yang dikeluarkan oleh makhluk asing itu bagai kutuk seorang ibu. Gadis ini sebenarnya takut, tapi tetap berharap Tuhan akan berpihak pada kemalangannya.
"Astaga Bee, bangun!! Lihat jam, loe telat!!" Lagi, dan ia tetap tidak bergeming. Masa bodoh pada wanita tua itu!! Dia mengantuk dan Jesy akan selalu menjadi pengusik di pagi hari.
Semalam Ryu dan Akiko menyedot seluruh perhatiannya. Adu tangis dan tawa benar-benar memberi warna yang berbeda. Intinya, sepasang suami istri itu sukses membuat si mata terbuka hingga di pukul empat pagi. Jadi saat ini mata cantik itu begitu sulit untuk menantang para cahaya. Dan jika Jesy ingin mengomel, marahi saja kedua artis kesayangan itu, karena mereka yang membuat Bee malas untuk beraktivitas.
"Bangun, atau gue pastiin lu mandi susu dan air pagi ini!!" Sial!! Harusnya Lewi meninggalkannya seorang diri. Jesy tidak cocok berada di dekatnya. Mulutnya yang tajam sangat-sangat mengusik gendang telinga.
"Bee!!"
Menerjang kasar selimut tebalnya, Bee bangkit duduk, lalu menatap tajam manik sang kakak yang justru mengendik dan keluar begitu saja setelah berhasil membangunkannya. Medusa sialan!! Mengumpat sesaat, Bee mengacak rambutnya kasar. Wanita tua itu memang sangat menyebalkan.
Selain marah-marah Jesy berbakat menjadi siamang di hutan. Sikapnya yang dingin juga cocok untuk dijadikan seorang Kingkong yang buas. Dan satu hal lagi, jangan pernah bersantai jika tidak ingin telinga menjadi tuli.
"Mandi Bee!! Kakak tunggu di meja makan!!"
Bee mendengus mendengar jeritan menggelegar Jesy. Seantero rumah sudah seperti speaker aktif yang memantulkan suara. Memang dia pikir rumah ini hutan? Astaga!! Bee tidak habis pikir, bagaimana bisa Mark menyukai kakak sintingnya itu.
Jesy bukan seorang wanita yang hangat. Meskipun kecantikannya bak dewi yunani, tapi percayalah sikapnya tidak jauh berbeda dengan menyerupai iblis wanita. Memang ada kalanya wanita itu akan melembut, tapi untuk beberapa hari ini Jesy membuat harinya yang buruk semakin bertambah buruk.
Bee menyambar handuk di di dalam lemari, kemudian masuk ke dalam kamar mandi dengan malas. Hujan masih terdengar memukul-mukul atap rumah. Angin yang berhembus kencang membuat Bee hanya membasuh tubuhnya singkat menggunakan air hangat, tanpa menggunakan limpahan busa di dalam bathub. Hari ini untuk pertama kalinya ia malas menikmati air dan busa vanila.
Lima menit, setelah mengguyur asal tubuhnya, Bee menghentikan curahan air, dan melenggang keluar; melupakan handuk yang tersampir di dinding putih. Mengabaikan tubuh polosnya tertiup angin dingin, Bee melangkah memasuki ruang ganti. Cuaca dan suasana hati yang buruk membuatnya ingin segera sampai di sekolah. Setidaknya Smart Brain akan membuatnya lebih baik tanpa celoteh menyebalkan Jesy.
Lima tahun menjadi waktu yang panjang setelah kematian Anne. Ada banyak perubahan yang ia rasakan. Selain Jesy mendadak sinting dan banyak bicara, ayahnya juga mendadak gila bekerja. Bee memandang seragam sekolahnya sendu. Ada rindu yang tidak tersampaikan di setiap inci seragam putih dan merah itu. Terakhir kali Anee memasangkan seragam sekolah, adalah ketika Bee menginjak sekolah menengah pertama.
Luka itu kembali terbuka. Bee meremas dadanya kuat. Rembesan yang mengalir memberi dampak sakit pada gerakan si detak jantung. Kapan terakhir kali ia menjerit? Bee lupa.
Nyatanya, waktu tetap menyiksa dalam kenangan. Bee mengusap permukaan pipinya lambat. Lagi, kenangan itu menikam sudut masa lalu yang sudah ia coba kubur dalam-dalam. Jesy mungkin cerewet, tapi itu membuat Bee lupa akan rasa sedih itu. Sejauh kaki melangkah, kepingan kerikil rasa sakit menyampir dalam pelupuk mata; mengukir luka yang tertutupi kebohongan.
Ini kali pertama Bee menangis sejak Anee pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan. Menyisir surai hitamnya, Bee menyungging senyum kecil. Jesy pernah mengatakan akan menggantikan posisi Anne, tapi Bee tidak suka. Bee suka Jesy yang hangat, bukan Jesy si medusa.
✴✴✴
"Kemarin malam Darrel datang, katanya mau ketemu kamu. Kenapa hanya di dalam kamar?" Seolah tuli, Bee mengabaikan pertanyaan sang kakak. Manik mata Jesy menatapnya dingin, dan Bee tahu Darrel sudah mengadukan hal yang tidak-tidak. Pria itu sehari saja tidak mengusik sepertinya akan mustahil.
"Bee, gue bicara sama loe!! Loe nggak bisu kan?" Sepotong sandwich yang baru saja akan dilahap sang bibir mendadak mengudara tanpa gerak. Bee menatap malas Jesy.
"Kris nggak bilang apa-apa. Darrel juga nggak kasih kabar." Meletakkan garpu kembali ke atas piring, Bee meraih gelas susunya. Membuat aroma vanila yang di sesap menyeruak hingga ke dalam pernafasan. Bee suka vanila; Anne pernah mengatakan vanila itu Bee dan Bee itu vanila. Seperti manusia susu yang manis.
Satu senyuman tersungging di bibir Bee. Jesy nampak bingung, namun setelahnya mengendik tidak perduli. Bee akan selalu bersikap aneh jika nama Darrel keluar menyapa gendang telinga.
"Bohong banget sih Bee. Kris bilang kamu nolak ketemu Darrel. Kenapa?" Jesy memang tidak selalu berada di rumah. Pekerjaannya sebagai desainer membuat waktunya tersita begitu banyak. Belum lagi rencana pernikahannya yang akan dilakukan tiga bulan lagi, semua membuat kepala Jesy nyaris meledak.
Tapi sekalipun ia tidak pernah berada di dekat sang adik, Jesy memiliki puluhan mata-mata. Salah satunya Kris,-–atau lebih tepatnya Kristina, asisten pribadi yang ditugaskannya menjaga Bee, saat ia tidak kembali hingga tengah malam. Wanita itu mengatakan sejak semalam Darrel,-–pria yang dekat dengan adiknya itu berulang kali datang untuk menemui adiknya. Namun gadis bersurai hitam itu justru menolak dengan alasan mengantuk. Sementara Darrel dan Jesy hapal tabiat buruk Bee yang tidak akan terpejam jika waktu belum menunjukkan pukul sepuluh.
Jadi, apakah masuk akal jika Bee mengatakan Kris tidak mengatakan apapun? Stupid!! Bahkan orang bodoh pun tahu pukul tujuh adalah waktu bertamu yang baik hingga pukul sembilan malam. Jesy tidak tahu apa yang melatar belakangi kebohongan Bee, tapi demi apapun ia tidak suka adiknya itu mulai berbohong.
"Kakak kan tahu Darrel udah punya pacar. Adele nggak suka kalo Bee deket-deket Darrel." Pacar?? Jesy mengerutkan dahinya sejenak, lalu tersenyum menyadari kalimat bernada manja adiknya itu.
Oke, seminggu yang lalu teman dekat adiknya itu memiliki kekasih. Tapi apa yang salah?? Apa Bee cemburu?? Karena biar bagaimana pun selama tiga tahun belakangan hanya Darrel pria yang bertahan di sisinya. Jesy juga ingat, Bee berubah sejak ayahnya gila bekerja dan meninggalkan mereka. Saat itu adalah saat paling buruk.
"Loe cemburu? Katanya nggak suka."
Tiga setengah tahun lalu, gadis kecil bersurai hitam itu pernah mendekam di dalam rumah sakit selama satu bulan. Hingga Jesy terpaksa cuti kuliah untuk menemani Bee. Menghapus sepi sang adik hingga gadis bermata sipit itu mau kembali pulang. Butuh banyak perjuangan bagi Jesy untuk meluluhkan kekeraskepalaan Bee.
Ada banyak cerita yang harus ia kendalikan. Kebohongan-kebohongan yang harus ia rangkai untuk menenangkan kegusaran Bee. Jesy akui dirinya jauh lebih lemah, tapi lentera dalam kotak persegi sang ibu tidak membantu. Kehancuran Bee adalah kehancuran untuknya. Mark mengatakan biar saja Bee menyusul Lewi, tapi Jesy tidak bisa. Jesy butuh Bee untuk bertahan hidup, karena hanya Bee harta terakhir yang Anne tinggalkan.
Dan semua berubah setelah kedatangan Darrel. Entah karena apa, pria berkulit putih itu berhasil menghancurkan dinding ketakutan Bee terhadap lelaki, dan membuat adiknya itu kembali hidup. Kecuali satu minggu belakangan.
"Cemburu? Enggak!! Adele nggak suka kak!! Bee juga nggak suka!!" Jawaban itu tidak mengandung penolakan, dan Jesy tertawa memahami maksud sang adik. Bee terlalu polos di usianya yang memasuki tujuh belas tahun. Posisi terkecil yang dimilikinya membuat Bee tumbuh begitu manja.
Gadis itu tidak pernah marah, kecuali merajuk layaknya balita kecil; yang bagi Darrel adalah hal paling menggemaskan, tapi tidak untuk Jesy. Kehilangan sang ibu membuat Bee manja padanya dan Jesy menyesalkan itu. Ia takut kelak Bee sulit bergaul. Karena saat ini saja Bee hanya berteman pada Darrel dan Neil. Banyak orang menganggap Bee angkuh, meski sebenarnya gadis itu hanya sulit berbaur. Bee cenderung penakut pada seseorang yang tidak dikenalnya. Pertama kali mengenal Mark pun gadis menjerit histeris.
"Ya Darrel jangan dijauhin Bee. Dia kan nggak salah. Adelenya aja yang posesif." Jesy mengusap sayang kepala sang adik, kemudian menatap hangat memberi pengertian. Tujuh belas tahun bersama, Jesy selalu takjub melihat kepolosan adiknya itu. Bee akan selalu menanyakan apapun yang tidak mampu dimengertinya. Kecuali hal yang bersangkutan pada Darrel. Gadis itu begitu tertutup dan hanya akan menjawab tidak pada sebayak apapun pertanyaan.
"Loe kan tahu Darrel gimana. Nanti kalo murka kakak nggak ikutan loh." tambah Jesy. Lantas terkikik saat Bee mencebik tidak terima. Siapa yang berani menantang kemurkaan Darrel? Bahkan Mark pun akan memilih mundur jika Darrel sudah memasang wajah pangeran iblisnya.
"Nggak bisa gitu dong kak!! Bee kan capek diganggu Adele!!" Entah Bee atau Adele yang bermasalah, yang jelas Darrel sudah mengultimatum Kris habis-habisan. Wanita itu bahkan bergidik ketika menceritakan kemarahan Darrel saat Bee menolak menemuinya.
"Kasih tahu Darrel, Bee." jawab Jesy. Ia meraih kunci mobilnya, kemudian menuntaskan air putih di dalam gelas, sebelum akhirnya membersihkan sudut bibir menggunakan tissue di atas meja.
"Bee pikirin deh. Tapi kakak jangan ember ya!!" Sekali lagi Jesy tersenyum lucu. Ember?? Sejak kapan ember bisa bicara? Tapi Jesy tetap mengangguk sembari menarik pergelangan tangan Bee. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Perjalanan mereka akan memakan waktu sepuluh menit jika jalanan tidak padat. Dan kesalahannya, ia justru lupa dan mengajak Bee bicara panjang lebar.
Kemungkinan terburuk Bee akan terlambat jika ia terus mengulur waktu. Senin adalah hari buruk anak sekolah. Para pekerjaan kantoran juga akan memenuhi jalan, persis seperti kerumunan semut. Jesy menghembuskan nafasnya berat melihat serangan hujan dan angin. Lalu menuntun Bee masuk ke dalam mobil. Nyatanya hujan tidak menyurutkan niat para manusia meski petir menggelegar. Tidak ada pilihan lain bagi Jesy. Terlebih ia juga tidak bisa meminta bantuan Darrel,–pria itu sudah memiliki jadwal lain yang memaksanya pergi terlebih dahulu sejak tiga puluh menit yang lalu.
Jadi sebelum Lewi memakinya, tanpa berpikir dua kali Jesy berlari memasuki pintu kemudi, kemudian mengemudikan mobilnya dengan cepat. Persetan pada jalanan yang licin!! Lebih baik ia menerima kemurkaan Mark dibanding harus menerima kemarahan sang ayah, karena membiarkan Bee terlambat dan mendapat hukuman di saat hujan badai.
✴✴✴
Rintikan hujan masih melingkupi penglihatan. Hembusan angin yang kencang menyibak helaian daun, membuat ranting mencokelat karena serapan air yang berlebih. Kelopak bunga berjatuhan di sekeliling pot. Jejak-jejak basah yang berada di sekitarnya menciptakan pola-pola abstrak seperti garis dan gelombang.
Di bagian timur, lapangan basket dipenuhi genangan air. Tidak terlihat para siswa-siswi berkerumun, namun sebagian memenuhi koridor dengan saling bercerita. Hujan selalu membawa dampak positif bagi mereka. Selain upacara akan selalu dibatalakan, para guru juga akan mendadak malas untuk mengajar.
Entah itu bisa dikatakan berkah atau musibah, para murid itu akan selalu bersyukur dengan datangnya hujan. Dari arah lain, seorang pria menajamkan lensa matanya. Dahinya bergerak mengerut tiap kali detik berirama pada si detak jantung. Seseorang yang asik berbicara di samping tubuhnya bahkan diabaikan begitu saja;seolah tidak berbicara padanya. Fokus itu terpaku pada satu titik, dimana seorang gadis nampak memantul-mantulkan langkahnya sembari tersenyum cerah. Sekotak susu juga terlihat sesekali berayun, lalu diseruput lambat.
Pria itu menyunggingkan senyum kecil. Selau seperti ini. Keadaan memaksanya bersikap datar untuk melindungi jati diri. Mungkin si bibir akan melontarkan kalimat laknat, namun hati itu menyimpan getar yang tak terlihat. Gadis di seberang sana masih memantul dengan riang. Dua puluh langkah lagi, dan ia yakin semua akan berakhir dengan perbincangan. Namun saat sang bibir siap menyapa, ia harus ikhlas mengumpat kesal, ketika gadis itu justru mengabaikannya begitu saja.
To Be Continue...
No comments:
Post a Comment